news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Akbar Tandjung soal GBHN: Jangan Sampai MPR Jadi Lembaga Tertinggi

4 September 2019 17:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Akbar Tandjung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (31/10/2018). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Akbar Tandjung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (31/10/2018). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Wakil Ketua Dewan Kehormatan Partai Golkar, Akbar Tandjung, tak setuju dengan usulan kembali mengembalikan GBHN melalui amandemen UUD 1945 jika usul ini berujung pada kembalinya MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
ADVERTISEMENT
Sebab, jika MPR menjadi lembaga tertinggi negara, maka pengangkatan dan pemberhentian Presiden akan menjadi wewenang MPR.
“Yang saya mengkhawatirkan, kita bicara GBHN dalam konteks menjadikan MPR ini lembaga tertinggi negara. Itu yang saya memang, baiknya kita jangan menjadikan MPR lembaga tertinggi negara,” kata Akbar dalam diskusi mengenai GBHN di Sofyan Hotel, Jakarta Pusat, Rabu (4/9).
Padahal, kata Akbar, rakyat selama ini sudah berdaulat dengan pemilihan umum secara langsung. Menurut dia, bukan tidak mungkin mekanisme pemilihan presiden melalui MPR akan mendapat resistensi besar dari masyarakat.
“Nanti bisa lagi pemilihan presiden itu melalui MPR. Sedangkan rakyat kan sudah di posisi mereka dengan kedaulatan, termasuk dalam menentukan pemilihan presiden,” kata Akbar.
ADVERTISEMENT
Sebagai senior partai Golkar, Akbar memastikan akan meminta pengurus partainya mencegah upaya menghidupkan kembali GBHN jika tujuannya untuk menjadikan MPR lembaga tertinggi negara.
“Ya kalau misalnya saya nanti dimintai pendapat itu akan saya sampaikan seperti itu ke internal Partai Golkar. Kalau misalnya hanya haluan negara GBHN, tapi dia menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi, ya itu yang harus kita cegah,” kata Akbar.
Akbar menambahkan jika pembahasan GBHN hanya terkait pembangunan negara yang berkesinambungan hal itu sah saja. Sebab, program jangka panjang yang ditetapkan oleh pemerintah bisa disepakati bersama MPR. Dengan begitu, maka ada pengawasan dari MPR terkait implementasi pembangunan nasional.
“Jadi sebetulnya, bagaimana program-program jangka panjang yang ditetapkan oleh pemerintah. Katakanlah Presiden SBY, Bu Mega, Pak Jokowi, itu bagaimana supaya program-program itu diformalkan dengan melibatkan juga institusi katakanlah MPR. Di situ nanti DPR kan juga akan ikut mengawasi, apakah itu dilaksanakan atau tidak. Kan begitu,” kata Akbar.
Wakil Ketua MPR, Ahmad Basarah. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Sementara itu, di kesempatan yang sama, Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah mengatakan Indonesia butuh haluan negara. Menurut dia, GBHN kembali dibutuhkan karena tidak ada kesinambungan pembangunan nasional setiap kepala daerah atau presiden yang baru terpilih.
ADVERTISEMENT
Basarah menilai, setiap kepala daerah atau presiden yang baru terpilih cenderung memiliki visi misi pembangunan yang berbeda dengan pendahulunya. Selain itu, mereka juga tidak memiliki kewajiban untuk meneruskan rencana pembangunan dari pimpinan sebelumnya.
Oleh sebab itu, dibutuhkan GBHN sebagai sebuah pedoman.
“Artinya presiden yang baru terpilih tapi partainya berbeda ketika muncul ego sektoral. Misalnya: ngapain saya melanjutkan pembangunan yang dibuat Pak Jokowi, kita juga punya blue print sendiri," tutur dia.
"Akhirnya yang terjadi pembangunan daerah, provinsi, kabupaten, kota seperti yang diibaratkan Ibu Mega itu seperti tari poco-poco, maju mundur,” tutup Basarah.