Kumplus Horor- Teror Lampor

Aku Diculik Lampor (1)

29 Oktober 2021 18:02 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Namaku Sunar. Aku tinggal di sebuah desa kecil di Temanggung, Jawa Tengah. Yang akan kuceritakan padamu adalah peristiwa yang kualami belasan tahun lalu—pengalaman aneh, menyeramkan, dan masih menjadi misteri buatku sampai saat ini.
Saat itu aku masih kelas 3 SD. Aku masih ingat, hari itu aku takut sekali. Ayahku murka setelah memergokiku merokok. Memang, tinggal di lingkungan yang mayoritas penduduknya menggantungkan hidup sebagai petani tembakau membuatku begitu mudah mendapatkan rokok. Tapi, tentu saja, orang tua mana yang tak mengamuk jika melihat anaknya yang masih kecil mulai mengepulkan asap dari mulut dan hidungnya?
Saking takutnya, aku berlari sekencang mungkin menuju ujung desa. Tepat di antara hutan bambu yang menghubungkan desaku dan desa tetangga, terbentang area pemakaman kampung yang cukup luas. Tak jauh dari pintu masuknya, di bawah rimbunan pohon, berdiri sebuah pondok kecil tempat keranda dan alat-alat pemakaman diletakkan. Kami menyebutnya cungkup.
Cungkup ini tak luas. Hanya sekitar 3x3 meter. Di keempat sisinya, berdiri tiang penyangga beton yang dicat putih dan tembok yang tingginya tak sampai satu meter. Semua orang bisa melihat bagian dalam tempat ini dari jauh, apalagi di siang hari. Tapi entah kenapa, aku tetap berlari ke sana dan bersembunyi di balik tembok, duduk di bawah keranda.
Aku tak tahu berapa lama aku berada di sana. Hanya, saat itu, rasa-rasanya memang rasa takut di hatiku sedikit berkurang. Aku jadi lebih tenang dan malah mengantuk. Semilir angin dan gemeresik daun yang bergesekan membuatku tertidur lelap.
Pemakaman yang rimbun dan teduh membuatku tenang dan mengantuk. Foto: Salman Al Fanny/kumparan
“Ngapa kowe nang kene?” — Ngapain kamu di sini?
Samar-samar aku terbangun. Aku melihat sepasang kaki. Dari suaranya, aku menduga ia adalah nenek-nenek. Dia membelakangiku dan aku hanya bisa melihat rambut putihnya disanggul dan dihias tusuk konde.
“Kabur, Mbah. Takut dimarahi ayah.”
“Mbok kowe tak jak dolan, ayo.” — Sini kamu kuajak main saja, ayo.
Aku mengangguk setuju. Sejujurnya, aku juga tidak tahu mengapa aku langsung mengiyakan. Satu-satunya yang kupikirkan: aku tak mau ditemukan orang tuaku. Sayup-sayup aku mulai mendengar suara warga desa memanggil-manggil namaku.
Nenek itu mengajakku naik ke atas keranda. Dia duduk di depanku, persis seperti sedang naik motor. Pelan-pelan keranda itu melayang, membubung tinggi dan melaju melewati desa. Aku bisa melihat beberapa warga wara-wiri di bawah kami.
Kami terus terbang ke arah selatan, keluar dari gerbang desa dan melewati pematang sawah di sebelah SMP negeri paling dekat dari rumahku. Kami terus melaju menuju Gunung Sumbing. Sesekali aku mencoba melihat wajah sang nenek, namun gagal. Setiap aku berusaha melihat, ia selalu menengok ke arah lain, menghindari tatapanku.
Kami terbang melewati desa-desa menuju kaki Gunung Sumbing. Foto: Salman Al Fanny/kumparan
Aku menghentikan usahaku saat keranda yang kami naiki mulai melayang rendah di sebuah desa yang ada di kaki gunung. Kami mendarat tepat di cungkup desa itu. Awalnya, dari atas, hanya terlihat area pekuburan luas. Namun begitu kami mendarat, semuanya berubah menjadi pasar.
Pasar ini terlihat seperti pasar pada umumnya. Banyak kios yang menjual berbagai jenis dagangan. Orang-orang berlalu lalang seperti biasa. Mereka berjual-beli dan tawar-menawar. Sama sekali tak ada makam-makam yang tadi kulihat dari atas.
Kami tak turun dari keranda, hanya melihat-lihat sekeliling sebentar. Aku juga baru sadar, keranda ini tak disangga apa pun. Ia terbang layaknya pesawat. Entah ia mengandalkan kekuatan mistis sang nenek, atau aku saja yang tak bisa melihat sosok-sosok yang menggotong keranda ini.
Kami terus terbang menyusuri jalan menuju desa lainnya. Foto: Salman Al Fanny/kumparan
“Ayo, tak jak nang nggon liyane.” — Ayo, kuajak ke tempat lain.
Lagi-lagi aku tak menolak. Kami terbang tinggi menuju arah selatan, ke kaki Gunung Sumbing, ke desa yang letaknya lebih tinggi dari desaku. Sepanjang jalan, kami hanya diam. Aku sesekali masih berusaha mencuri lihat wajah sang nenek. Tapi selalu gagal. Aku hanya bisa melihat sanggul dan tusuk kondenya.
Kami berhenti di cungkup desa berikutnya. Sama seperti di desa sebelumnya, saat mendarat, tiba-tiba area itu sudah berubah. Hanya, kali ini yang kulihat bukan pasar, melainkan perumahan.
Nenek itu mengajakku turun dari keranda dan berjalan-jalan ke perumahan itu. Dia menyapa seorang ibu warga sekitar. Tak ada yang spesial dari perempuan itu. Ia terlihat seperti ibu-ibu pada umumnya saja.
“Dik, mau ini? Ada ketan goreng,” kata ibu itu sambil mengulurkan sepiring gorengan.
“Emoh, aku wis wareg kok, wis wareg.” — Tidak mau, aku sudah kenyang, kataku.
Ibu itu tak memaksa. Setelah nenek dan ibu itu mengakhiri obrolan, kami kembali ke keranda dan terbang kembali ke cungkup desaku. Saat itu hari sudah gelap. Aku menduga, kami pergi selama tiga jam, karena aku kabur dari rumah saat masih sore, dan saat kukembali belum tampak terlalu malam.
Setelah berkeliling, kami kembali ke cungkup tempatku bersembunyi. Foto: Salman Al Fanny/kumparan
Kami duduk-duduk di atas keranda. Diam. Aku masih mendengar warga desa memanggil-manggil namaku, tapi aku tak mengatakan apa-apa. Seorang tetangga bahkan sempat masuk ke cungkup dan mencariku di dalam bangunan. Ia menggeser-geser ember yang ada di bawah keranda.
Namun ia mengabaikanku, seolah-olah aku tak ada di depan matanya. Setelah menggeser-geser benda di bawah keranda, memastikan aku tak ada di sana, ia pergi dan lanjut memanggil namaku. Padahal, jelas-jelas aku duduk di atas keranda. Aku juga bisa melihat warga lain yang berlalu-lalang di area pemakaman, mondar-mandir di depan cungkup. Tapi sepertinya, entah kenapa, mereka tak bisa melihatku.
“Samang kok kabur, piye?” — Sampeyan kok kabur ini kenapa?
Nenek itu mengajakku mengobrol. Saat aku mencoba melihat wajahnya, ia menunduk.
“Wedi meh bali, Mbah. Samar diseneni bapak ro mbokne.” — Takut mau pulang, Nek. Khawatir nanti dimarahi bapak dan ibu.
Kami mengobrol banyak saat itu. Bisa dibilang, aku menceritakan banyak hal kepadanya. Tiba-tiba aku mendengar azan dari masjid desa yang letaknya tak terlalu jauh dari area pemakaman.
Foto: Salman Al Fanny/kumparan
Ash shalaatu khoirum minan naum!
Hatiku mencelos. Azan Subuh! Aku ingat betul, saat kabur dari rumah, matahari masih bersinar terang. Aku juga yakin bahwa perjalanan dan obrolanku dengan nenek ini tak mungkin memakan waktu lebih dari tiga jam.
Tapi ini sudah subuh! Artinya aku sudah pergi lebih dari setengah hari.
Aku buru-buru turun dari keranda, berlari keluar kuburan menuju rumahku. Saat mendengar azan, satu-satunya yang terlintas di pikiranku adalah pulang. Aku terus berlari menuju rumah yang dipadati warga. Mereka menatapku lega, tapi tak ada satu pun wajah yang kukenal.
Seorang wanita menghampiri dan memelukku. Ia mengaku sebagai ibuku. Tapi aku tak mengenalinya. Semua orang di tempat ini, yang mengaku sebagai ayah, ibu, kakak, adik, dan teman-temanku… tak ada satu pun yang kuingat.
Siapa orang-orang ini? Aku di mana?
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten