Amnesty International: Penangkapan Ketua Adat di Kalteng Langgar HAM

28 Agustus 2020 12:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Direktur Internasional Amnesty Indonesia, Usman Hamid di Polda Metro Jaya, Selasa (9/7). Foto: Raga Imam/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Direktur Internasional Amnesty Indonesia, Usman Hamid di Polda Metro Jaya, Selasa (9/7). Foto: Raga Imam/kumparan
ADVERTISEMENT
Amnesty International Indonesia menanggapi kasus penangkapan ketua adat masyarakat Kinipan, Kalimantan Tengah, bernama Effendi Buhing yang videonya beredar di media sosial. Effendi ditangkap atas dugaan pencurian di lahan sawit.
ADVERTISEMENT
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyatakan penangkapan Effendi merupakan bentuk pembungkaman. Pembungkaman atas upaya pembelaan hak masyarakat adat yang selama ini belum dilindungi secara maksimal.
"Penjemputan paksa Effendi tidak dibenarkan. Siapa saja berhak mendapat bantuan hukum dan tidak boleh menerima perlakuan semena-mena,” ujar Usman dalam keterangannya, Jumat (28/8).
“Negara harusnya berperan melindungi dan menghormati hak setiap warga yang menyampaikan aspirasi. Penangkapan para pegiat HAM seperti Effendi karena upaya mereka melindungi hak asasi jelas bentuk pelanggaran HAM,” lanjutnya.
Penangkapan (ilustrasi). Foto: Antara/Idhad Zakaria
Usman pun mendesak polisi segera membebaskan Effendi dan para warga lainnya yang ditangkap dalam perkara itu. Ia meminta Pemerintah mengedepankan interaksi dan aktif mengambil langkah-langkah nyata untuk melindungi masyarakat adat dari segala bentuk perampasan hak-hak mereka.
ADVERTISEMENT
"Dialog dan pengakuan akan hak masyarakat adat atas tanah juga menjamin keterlibatan masyarakat adat dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi hak dan kesejahteraan mereka,” ucap Usman.
“Kami juga meminta pemerintah pusat dan daerah untuk selalu melindungi masyarakat adat dari paksaan apa pun dalam pengambilan keputusan dan tidak mengambil keputusan yang bertentangan dengan keinginan masyarakat adat, bukan malah mengkriminalisasi mereka dan orang-orang yang membela hak masyarakat adat,” sambungnya.
Usman menyatakan, berdasarkan informasi yang diterima Amnesty International Indonesia, Effendi ditangkap secara paksa. Effendi, kata Usman, menolak dibawa ke kantor polisi tanpa pengacara.
Usman menyebut ada 5 masyarakat adat Kinipan, selain Effendi, yang ditangkap polisi karena masalah konflik tanah dengan perusahaan kelapa sawit, PT. SML. Mereka yakni Riswan (pemuda adat), Yefli Desem (pemuda adat), Yusa (tetua adat), Muhammad Ridwan, dan Embang.
ADVERTISEMENT
Usman yang mendapat keterangan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyatakan, permasalahan tanah di kampung adat Kinipan berawal pada 2012.
Saat itu, PT SML muncul dan mendapat penolakan dari masyarakat setempat. Izin pelepasan hutan dan Hak Guna Usaha yang diterima perusahaan itu membuat masyarakat adat protes, dan berusaha mempertahankan wilayah adat mereka. Selama ini, masyarakat adat Kinipan berusaha melindungi kayu ulin yang ada di hutan setempat.
Ilustrasi perkebunan kelapa sawit Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi
Usman menyatakan kasus Effendy serupa dengan yang dialami masyarakat adat Pubabu, NTT, yang menolak rencana pembangunan di hutan adat mereka. Usman menyebut, aparat keamanan datang ke daerah pengungsi masyarakat adat tersebut dan meneror perempuan dan anak-anak. Beberapa anak dibawa ke kantor Brimob dan diintimidasi.
ADVERTISEMENT
"Dari bulan Januari hingga 27 Agustus 2020 ini, Amnesty mencatat adanya 29 pembela hak masyarakat adat yang mendapat serangan baik berupa penangkapan, kekerasan fisik, dan intimidasi," ucapnya.
"Hak-hak masyarakat adat sudah diakui dalam hukum HAM internasional maupun hukum nasional. Hak kolektif masyarakat adat, terutama untuk memiliki, mengembangkan, mengontrol dan menggunakan tanah adatnya diatur dalam Pasal 27 Kovenan Internasional untuk Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR)," tutupnya.