Anggi Goenadi

Anggi Goenadi, Tinggalkan Puncak Karier Demi Berdayakan Anak Difabel

29 November 2019 13:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Anggi Goenadi, pendiri Inkubator Bisnis. Foto: Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Anggi Goenadi, pendiri Inkubator Bisnis. Foto: Dok. Pribadi
ADVERTISEMENT
Karier tinggi tak serta merta membuat Anggi Valentinata Goenadi puas dengan segala pencapaian hidup. Pekerjaan di perusahaan multinasional dengan gaji yang serba mencukupi ia relakan begitu saja demi memberdayakan anak berkebutuhan khusus atau difabel di Kota Bontang, Kalimantan Timur.
Anggi Goenadi (kiri), pendiri Inkubator Bisnis. Foto: Dok. Pribadi
Semua itu bermula pada tahun 2012 kala mertua Anggi wafat meninggalkan Sekolah Luar Biasa Permata Bunda. Mau tak mau ia melanjutkan bisnis sosial milik keluarga tersebut sambil meneruskan pekerjaannya sebagai general manager di perusahaan penghasil Amonium Nitrate Emulsion.
ADVERTISEMENT
Beberapa bulan pertama Anggi datang ke SLB, jiwanya merasa tak ada di sana. Ia sendiri menganggap bisnis yang diwariskan oleh keluarganya itu tak masuk akal. Karena saat itu materilah yang menjadi tolok ukur dalam kesuksesan hidup Anggi.
Kegiatan produksi di Inkubator Bisnis. Foto: Dok. Pribadi
“Secara hitung-hitungan tidak profitable, memang saya dulu ke arah materi. Karena ngurusin anak-anak itu kan high cost, yang bayar SPP di sekolah itu juga bisa dihitung jari, itu 3-4 orang sementara 30-an sisanya enggak ada yang bayar SPP malah dikasih fasilitas berlebih,” katanya kepada kumparan, Kamis (7/11).
Pandangan ayah tiga anak ini berubah saat berinteraksi dengan seorang difabel tuna rungu bernama Rizky Erfanda. Rizky sempat curhat dengan Anggi perihal kegalauannya setelah lulus SLB, mau ke mana setelahnya?
ADVERTISEMENT
“Coba, berapa banyak anak-anak yang lulus SLB, berapa banyak orang yang punya kegalauan yang sama kayak dia? Kalau di Indonesia mungkin sudah berapa juta yang sampai sekarang belum punya akses, diterima di masyarakat, khususnya untuk masalah pekerjaan,” ujar Anggi.
Karena itu, Anggi memutuskan mundur dari pekerjaannya tahun 2013. Meskipun, ia sempat ditolak 4 kali saat mengajukan surat pengunduran diri. Setelahnya, Anggi punya orientasi baru dalam hidup, yakni membantu anak-anak difabel.
Mendirikan Inbis
Meninggalkan segala kemapanan, Anggi sempat dianggap sinting teman-temannya sendiri. Kalau ditanya apa yang dikerjakannya setelah resign, ia hanya menjawab sedang mengelola Inbis (Inkubator Bisnis).
Inbis adalah sejumlah lini usaha yang didirikannya untuk memberdayakan anak-anak difabel setelah lulus SLB. Awalnya, Inbis punya 5 lini dengan mempekerjakan 12 karyawan difabel. Usaha tersebut di antaranya bisnis walpaper, cuci motor, kaos, hingga merchandise.
ADVERTISEMENT
“Saya niatin begini, kalau orang nganggap teman-teman disabilitas tidak matang, tidak siap untuk ada di masyarakat, kita akan mematangkan dia di inkubasi kewirausahaan,” kata penyandang penghargaan Guru Berjasa dari Pemprov Kalimantan Timur itu.
Anggi melakukan pengarahan kepada Tim Produksi (Tuli/Tuna Rungu) Inkubator Bisnis Permata Bunda. Foto: Dok. Pribadi
Layaknya kapal yang berlayar di lautan, Inbis juga sempat diterjang badai kebangkrutan pada tahun 2016. Anggi dan istrinya sampai harus menjual aset pribadi untuk menyelamatkan usaha tersebut.
Tak ingin menelantarkan karyawan difabel yang bergantung kepadanya, Anggi kembali menata program yang lebih baik bagi usahanya. Proyeksi bisnis sosialnya kini untuk membuat anak-anak difabel mandiri, bukan sekadar memberdayakan.
Perekrutan karyawan dimulai dengan penjaringan lulusan SLB atau warga disabilitas yang berada di usia produktif. Mulanya mereka akan diberikan pelatihan yang melibatkan penilaian psikologi selama setahun penuh di berbagai bidang lini usaha Inbis.
Anggi melakukan pengarahan kepada Tim Produksi (Tuli/Tuna Rungu) Inkubator Bisnis Permata Bunda. Foto: Dok. Pribadi
Kemudian, calon karyawan Inbis akan melalui proses pemagangan di lini usaha tertentu sesuai minat dan bakatnya selama setahun. Mereka sudah mulai mendapat fee magang dan kemampuan profesional. Setelahnya mereka bisa direkrut sebagai karyawan di lini usaha Inbis atau mitra usaha.
ADVERTISEMENT
“Jadi selama mereka bekerja 3-4 tahun, mereka bekerja dapat penghasilan. Tapi kita kasih bekal mereka untuk kewirausahaan. Goal akhirnya, mereka diinisiasikan untuk usaha masing-masing,” ujar penerima penghargaan tertinggi Indonesia SDG’s Awards tahun 2017 dari Kementerian PPN itu.
Anggi bersama Kelas Bahasa Isyarat Komunitas Tuli Genap, Bontang. Foto: Dok. Pribadi
Rizky adalah salah satu lulusan SLB Permata Bunda yang sudah menjalankan bisnis merchandise secara mandiri hasil binaan Inbis. Kini, ia juga mempekerjakan warga disabilitas serupa seperti dirinya.
“Usahanya mereka yang jalankan dan itu yang jamin sustain. Selain usaha nambah, ini juga akan merekrut adik-adiknya lagi yang di bawahnya tuh. Contohnya Rizky sudah punya karyawan 4,” sebutnya.
Usaha sosial Anggi kian berkembang. Tahun 2018, total omset lini usaha Inbis mencapai Rp 2,08 miliar. Kini, sudah ada 12 usaha yang dijalankan dengan memberdayakan 53 warga difabel. Total penerima manfaat dari SLB dan Inbis hingga 5.917 orang.
Anggi (tengah) saat mengikuti Leadership Training Beswan Djarum. Foto: Dok. Pribadi
Pergelutan Anggi dengan usaha sosial dan rela meninggalkan karier ia akui tak lepas dari pengalaman yang ia dapatkan saat menempuh studi di Fakultas Hukum di Universitas Brawijaya. Sebagai peraih Djarum Beasiswa Plus saat kuliah, Anggi didorong dan dilatih untuk melakukan community empowerment (pengabdian masyarakat).
ADVERTISEMENT
“Jadi kita dikasih satu project, jadi anak-anak Beswan dibekali selama setahun, kita turun ke lapangan, cari project yang kira-kira belum kesentuh. Orang-orang lain belum nyentuh, pemerintah belum sentuh, tapi kita bisa langsung ke sana. Meskipun yang kita lakukan kecil, tapi bisa berdampak besar,” ujar Beswan Djarum angkatan 24 ini.
Anggi (Kanan) menjadi peserta Lomba Karya Tulis Beswan Djarum 2009. Foto: Dok. Pribadi
Dengan menjalankan usaha Inbis, Anggi punya mimpi bisa mewujudkan kehidupan inklusif. Ia berharap masyarakat sekitar menganggap warga difabel sama seperti masyarakat pada umumnya dan dihargai hak-haknya untuk mendapat pekerjaan dan pengakuan masyarakat.
“Banyak pegiat difabel di semua daerah saya yakin, masalah-masalah di setiap SLB itu hampir sama semua, satu pesimis, dua masih suka jual cerita sedih, jual iba. Itu yang kita tentang. Adik-adik difabel ini sudah cukup dengan problem mereka, keterbatasan mereka. Mereka sudah harus showing of dengan karyanya dengan prestasinya, enggak lagi ngomongin, ah si ini kasihan,” tutupnya.
Anggi melakukan pengarahan kepada Tim Produksi (Tuli/Tuna Rungu) Inkubator Bisnis Permata Bunda. Foto: Dok. Pribadi
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten