Anggota Komisi III Dukung Pedoman Jaksa Agung soal Pecandu Narkotika Direhab

8 November 2021 20:03 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Anggota komisi III DPR RI Fraksi NasDem, Taufik Basari. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Anggota komisi III DPR RI Fraksi NasDem, Taufik Basari. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Anggota komisi III DPR Taufik Basari mendukung adanya Pedoman Jaksa Agung terkait penanganan perkara narkotika. Pedoman itu mengatur bahwa penanganan perkara korban hingga pecandu narkotika akan diarahkan untuk direhabilitasi.
ADVERTISEMENT
Ketentuan itu termuat dalam Pedoman Jaksa Agung No.18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika melalui rehabilitasi dengan pendekatan keadilan restoratif.
Dalam Pedoman itu, Tersangka yang dijerat Pasal 127 ayat (1) UU Narkotika dapat dilakukan rehabilitasi secara medis atau sosial.
Ada tiga kualifikasi tersangka yang dapat dilakukan rehabilitasi, yakni penyalah guna narkotika, korban penyalahgunaan narkotika, dan pecandu narkotika. Namun ada syarat-syarat yang harus dipenuhi.
Bila bersedia direhabilitasi, maka tersangka harus membuat surat pernyataan yang nantinya akan diproses oleh jaksa penuntut umum. Setelah selesai rehabilitasi, maka tersangka itu tidak akan dibawa ke pengadilan untuk disidang.
Ilustrasi pengguna narkoba. Foto: Getty Images
Bila tersangka tidak bersedia direhabilitasi, maka ia akan disidangkan untuk dituntut.
Menurut Taufik, penanganan perkara narkotika penting dilakukan dengan pendekatan rehabilitasi kepada pengguna dengan mempertimbangkan aspek kesehatan. Sehingga tidak selalu berujung pada penyelesaian hukuman.
ADVERTISEMENT
Ia menilai Pedoman Jaksa Agung yang mulai berlaku pada 1 November 2021 itu bertujuan untuk optimalisasi penyelesaian penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi. Yakni dengan pendekatan keadilan restoratif sebagai pelaksanaan asas dominus litis Jaksa sebagai pengendali perkara.
"Dalam konteks pecandu, penyalah guna, dan korban penyalahgunaan narkotika pedoman ini memberikan panduan yang cukup terang. Meski demikian setidaknya ada 3 metode yang tetap harus dilaksanakan dalam penanganan narkotika seperti supply reduction (mengendalikan peredaran), demand reduction (mengurangi permintaan) dan harm reduction (menyembuhkan pengguna)," kata Taufik dalam keterangannya kepada wartawan, Senin (8/11).
Politikus NasDem ini menilai bahwa dalam persoalan narkotika berlaku hukum ekonomi. Maksudnya ialah bila hanya melakukan pengendalian peredaran dengan penegakan hukum dengan tidak diikuti dengan mengurangi permintaan atau memperkecil pasar, maka persoalan narkotika masih akan terus menjadi masalah.
Ilustrasi anak muda terjerat kasus narkoba. Foto: Shutterstock
Pengendalian dengan melalui penegakan hukum dinilai memang bisa mengurangi peredaran narkotika. Namun, ia menilai hal itu tetap membuat permintaan tetap tinggi. Hal itu pula yang membuat harga narkotika juga tinggi yang menggiurkan sehingga bisnis gelap tetap berjalan.
ADVERTISEMENT
"Hal ini terjadi karena pasarnya terus ada dan membuat permintaan akan terus tinggi. Karena itu pasarnya harus diminimalkan dengan cara menyembuhkan pengguna narkotika. Tidak ada gunanya memidana pengguna jika setelah menjalankan pidana yang bersangkutan masih menjadi pengguna dan masih terus menjadi pasar bagi pengedar dan bandar," terang politisi NasDem ini.
Oleh karena itu, Taufik menilai pendekatan rehabilitasi kepada pengguna harus dilakukan sebagai bagian dari strategi penanganan narkotika yang komprehensif. Pendekatan ini menurutnya, selain akan berdampak positif terhadap penanggulangan narkotika, juga akan berkontribusi membantu mengurangi masalah kelebihan penghuni lapas. Mengingat, kasus narkotika adalah penyumbang terbesar masalah overcrowding di lapas Indonesia.
Taufik mengatakan bahwa masalah overcrowding tidak bisa dibebankan kepada Kemenkumham atau Ditjen Pemasyarakatan saja di bagian hilir. Akan tetapi harus menjadi tanggung jawab bersama mulai dari Kepolisian, Kejaksaan dan bahkan peradilan.
ADVERTISEMENT
Pedoman Jaksa Agung dinilai merupakan bentuk perwujudan tanggung jawab Kejaksaan Agung untuk turut membantu menyelesaikan persoalan overcrowding di lapas-lapas Indonesia.
"Sekali lagi saya apresiasi semangat dari kejaksaan dengan adanya pedoman ini sebagai bagian dari upaya mengubah kultur punitif dalam budaya hukum Indonesia yang senang menghukum dengan landasan keadilan retributif dan semangat pembalasan. Sistem pemidanaan modern saat ini sudah berubah menjadi sistem yang korektif, rehabilitatif dan restoratif. Kita harus dukung bersama,” pungkas Taufik Basari yang akrab disapa Tobas itu.