Anggota Komisi VI Pertanyakan Upaya Menko Atasi Masalah Usai Larangan Ekspor CPO

27 April 2022 3:00 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Rapat Gabungan Komisi IV, Komisi VI, dan Komisi VII DPR RI dengan Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian, dan Menteri ESDM yang dibatalkan karena Menteri Perdagangan berhalangan hadir, Kamis (17/2). Foto: DPR RI
zoom-in-whitePerbesar
Rapat Gabungan Komisi IV, Komisi VI, dan Komisi VII DPR RI dengan Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian, dan Menteri ESDM yang dibatalkan karena Menteri Perdagangan berhalangan hadir, Kamis (17/2). Foto: DPR RI
ADVERTISEMENT
Anggota Komisi VI DPR, Deddy Yevri Hanteru Sitorus, menyatakan pihaknya mempertanyakan langkah yang akan ditempuh pemerintah pasca Presiden Joko Widodo melarang total (moratorium) ekspor crude palm oil (CPO)
ADVERTISEMENT
Politikus PDIP tersebut mempertanyakan di mana Menko Perekonomian dan menteri terkait yang seharusnya memberi kejelasan secara tuntas kepada publik terkait langkah-langkah yang sedang dilakukan pemerintah sebagai kelanjutan kebijakan tersebut.
“Ini Pak Menko, Kemenperin dan Kemendag pada ke mana, mereka kan pelaksana teknis yang harus bertanggung jawab. Menko harus bergerak cepat dan dalam waktu singkat. Khususnya memutuskan kebijakan yang akan ditempuh dan memberikan kepastian,” tutur Deddy, Selasa (26/4).
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menjawab pertanyaan wartawan terkait peluncuran situs resmi Kartu Prakerja. Foto: ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
Deddy mengatakan, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan pihak lain yang terkait dan ditugaskan harus mulai melakukan komunikasi publik tentang masa depan industri sawit sehingga tidak muncul kekacauan yang berkepanjangan di lapangan.
Pasalnya, Deddy mengaku telah menerima laporan terkait kerugian akibat ketidakjelasan langkah pemerintah selanjutnya. Berdasarkan laporan yang diterimanya, buah sawit produksi petani mulai ditolak oleh pabrik kelapa sawit (PKS) karena terbatasnya kapasitas penampungan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, imbuhnya, petani juga kewalahan karena harga TBS yang merosot tajam, sehingga tidak mampu menutup biaya produksi mereka.
Menurutnya, apabila permasalahan tersebut tidak kunjung diselesaikan maka akan mengancam produktivitas sawit petani dan membuatnya turun drastis di tahun depan.
“Sementara bagi pengusaha besar yang usahanya terintegrasi dari kebun, PKS, pabrik minyak goreng hingga distribusi tidak mengalami kerugian yang berarti. Saya khawatir sebab petani sudah mulai menjerit, apabila harga terus jatuh maka kemampuan mereka membeli pupuk juga hilang,” terang legislator asal Dapil Kalimantan Utara itu.
“Jika itu terjadi maka bisa dipastikan produktivitas sawit petani akan turun drastis tahun depan, sebab sawit sangat sensitif terhadap pemupukan,” imbuhnya.
Ilustrasi minyak goreng. Foto: Getty Images
Untuk itu Deddy menyarankan agar pemerintah segera mengatur kebijakan tata niaga yang baru. Mulai dari penetapan harga TBS, harga CPO hingga harga minyak goreng curah dan kemasan.
ADVERTISEMENT
Dia juga mengusulkan agar pemerintah kembali menetapkan keharusan DMO minyak goreng curah dan kemasan, dengan mengatur rujukan harga keekonomian (DPO) dan HET.
“Jadi acuannya bukan harga internasional yang memicu kelangkaan barang di pasar dan harga tinggi di tingkat konsumen,” tuturnya.
“Persoalan menentukan harga itu adalah persoalan hulu yang harus dibereskan terlebih dahulu. Komponen pembentuk harga TBS, CPO dan minyak goreng harus dirumuskan secara tepat dan benar,” kata Deddy.
Penetapan DMO itu juga harus melalui kriteria yang tepat dan proporsional. Jadi, tidak mungkin disamakan antara produksi petani kecil dengan petani besar. Selain itu, pemerintah juga dapat menugaskan BUMN atau BUMD untuk menyerap sawit produksi petani dan pengusaha kecil untuk diolah menjadi minyak goreng curah dan kemasan.
ADVERTISEMENT
Pemerintah bersama BUMN dan BUMD bisa membangun pabrik minyak goreng di sentra-sentra perkebunan sawit rakyat yang juga bertanggung jawab melakukan proses distribusi atau bersama dengan Bulog.
“Harap diingat, produksi sawit rakyat dan kebun skala kecil hingga sedang itu jumlahnya mencapai sekitar 30% dari total produksi nasional. Hal ini akan memberikan kepastian di tingkat petani dan usaha kecil,” ungkap Deddy.
Deddy juga menilai ada sejumlah skenario yang bisa diambil pemerintah. Misalnya dengan menugaskan BUMN seperti PTPN dan RNI, untuk secara khusus memproduksi minyak goreng curah, yang kebutuhannya mencapai 200 juta liter per bulan atau sekitar 1,6 juta ton per tahun. Sisanya ditutup melalui produksi sawit rakyat yang diolah oleh sinergi BUMN-BUMD di daerah-daerah. Ini terutama menyangkut kebutuhan rumah tangga yang berada di kisaran 3,4 juta ton per tahun.
ADVERTISEMENT
“Pemerintah tinggal pilih, kebijakan mana yang akan diambil. Tetapi kebijakan mana pun yang akan diambil harus diputuskan sesegera mungkin,” tegas Deddy.
“Saat ini semua menunggu terutama petani sawit kecil dan bahkan konsumen diseluruh dunia. Kalau berlarut-larut dan tidak ada kejelasan dalam sebulan ini, saya menganggap Menko gagal total dan harus dievaluasi bersama semua menteri di bawah koordinasinya,” pungkas Deddy.