
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Salah satu contohnya ialah Akta Jual Beli yang tak kunjung diurus pengembang. Seperti misalnya contoh kasus di bawah ini:
Saya membeli rumah secara KPR dan sudah berlangsung selama dua tahun. Lalu, ketika saya ingin melunasi, belum ada proses AJB. Pihak developer sudah dihubungi tapi selalu beralasan dan mundur terus, sedangkan dalam akad kredit tertulis selambat-lambatnya AJB adalah 1 tahun. Apakah dalam kasus ini dapat dikatakan bersalah? Apa yang dapat dilakukan untuk mendesak developer menyelesaikan proses AJB?
Berikut jawaban Nawawi Bahrudin, S.H., M.H., pengacara yang tergabung dalam Justika:
Sebelumnya kami turut prihatin atas masalah yang menimpa Anda, tetapi kami juga mengapresiasi kemampuan Anda untuk membeli rumah. Hal ini merupakan salah satu perwujudan hak dalam konstitusi Negara kita, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28 huruf H Undang-Undang Dasar 1945 yaitu pada (ayat) 1 yang berbunyi "Tiap manusia berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan".
ADVERTISEMENT
Berdasarkan keterangan Anda, dapat diasumsikan bahwa Anda sudah melaksanakan kewajiban sebagai konsumen sebagaimana yang diperjanjikan dalam akad kredit. Masalah yang terjadi adalah pengembang (developer) selalu menunda-nunda untuk memenuhi kewajibannya membuat AJB yang seharusnya dilakukan paling lambat 1 (satu) tahun sejak akad kredit.
Patut diduga, bahwa pengembang (developer) menunda-nunda pembuatan AJB, karena memang pengembang (developer) telah menjual satuan lingkungan perumahan atau Lisiba, tetapi belum menyelesaikan status hak atas tanahnya.
Dalam posisi yang demikian, kami berpandangan Anda merupakan konsumen yang beritikad baik dan telah memenuhi kewajiban sebagai konsumen sebagaimana diatur UU Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pasal 5 ayat (b) beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Oleh karena itu, sepatutnya mempertahankan posisi itu dengan cara menempuh penyelesaian secara persuasif mengedepankan musyawarah kekeluargaan dalam sebuah perundingan.
ADVERTISEMENT
Bila upaya perundingan tidak memenuhi harapan, Anda dapat melakukan upaya untuk memulai proses hukum dengan cara memberikan teguran/somasi yang isinya meminta pengembang (developer) untuk melaksanakan kewajibannya sampai batas waktu yang anda tentukan. Biasanya, teguran/somasi dilakukan sebanyak 3 kali, untuk sekali lagi membuktikan Anda sebagai konsumen yang beritikad baik, memberikan kesempatan waktu yang cukup agar pengembang (developer) memiliki cukup waktu memenuhi kewajibannya.
Seandainya pengembang (developer) tidak juga memenuhi kewajibannya, maka Anda berhak melakukan upaya hukum baik secara perdata dengan cara mengajukan gugatan dan melaporkan secara pidana kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia..
Dalam mengajukan gugatan, Anda bisa melakukannya melalui lembaga penyelesaian sengketa pelaku usaha-konsumen yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau ke peradilan umum atau biasa dikenal dengan Pengadilan Negeri.
ADVERTISEMENT
Di peradilan umum, gugatan diajukan karena terjadinya wanprestasi atau ingkar janjinya pihak pengembang (developer). Dalam gugatan ini, Anda bisa menuntut ganti rugi dan juga bunga berupa hilangnya keuntungan yang sudah diperkirakan atau dibayangkan oleh kreditor seandainya tidak terjadi wanprestasi.
Berdasarkan hukum pidana, pengembang (developer) dapat pula dijerat dengan Pasal 9 ayat (1) poin K Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berbunyi, “Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklan-kan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti”.
Bagi pelaku usaha yang masih melanggar ketentuan pasal 9 tersebut dapat dipidana dengan pasal 62 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen yang menyatakan, “Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)”.
ADVERTISEMENT
Dalam pelanggaran yang termasuk dalam pasal 62 dapat dikenakan hukuman penjara atau denda materil dan imateril serta hukuman tambahan. Untuk hukuman tambahan, dijelaskan dalam pasal 63 yaitu, “Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa: (1) perampasan barang tertentu; (2) pengumuman keputusan hakim; (3) pembayaran ganti rugi; (4) perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen; (5)kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau (6) pencabutan izin usaha.
Ancaman pidana lain bagi developer yang menjual satuan lingkungan perumahan atau Lisiba yang belum menyelesaikan status hak atas tanahnya juga diatur dalam Pasal 137 jo Pasal 154 UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman, yaitu pidana penjara 5 tahun dan denda maksimal Rp 5.000.000.000 (lima miliar rupiah).
ADVERTISEMENT
Selain sanksi denda, developer tersebut juga dapat dijatuhi sanksi administratif sebagaimana terdapat dalam Pasal 150 UU Perumahan. Sanksinya mulai dari peringatan tertulis, pencabutan izin usaha, hingga penutupan lokasi.
Artikel ini merupakan kerja sama kumparan dan Justika