ASEAN Tunjuk Menlu II Brunei Jadi Utusan Khusus untuk Myanmar

5 Agustus 2021 2:11 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Luar Negeri Kedua Brunei Erywan Pehin Yusof. Foto: Brendan McDermid/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Luar Negeri Kedua Brunei Erywan Pehin Yusof. Foto: Brendan McDermid/REUTERS
ADVERTISEMENT
ASEAN pada Rabu (4/8) resmi mengangkat Menteri Luar Negeri II Brunei, Erywan Yusof, sebagai utusan khusus untuk menyelesaikan krisis pascakudeta Myanmar.
ADVERTISEMENT
Penunjukan Erywan dilakukan tiga bulan setelah berlangsungnya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Jakarta, 24 April. KTT itu membahas solusi untuk perdamaian Myanmar.
Pengangkatan utusan khusus adalah salah satu poin dari five-point consensus yang tercapai dalam pertemuan tersebut.
Dikutip dari Reuters, Erywan bertugas mengakhiri kekerasan di Myanmar dan membuka ruang dialog antara pihak militer dan pemerintah oposisi.
Tak hanya itu, menurut keterangan resmi ASEAN yang dirilis usai Pertemuan Menlu-menlu ASEAN, Erywan juga akan mengawal berjalannya pemberian bantuan kemanusiaan, meski rincian soal ini masih belum dibeberkan.
Suasana pertemuan KTT ASEAN yang dihadiri oleh kepala negara ASEAN dan perwakilan di Gedung Sekretariat ASEAN Jakarta, Sabtu (24/4/2021). Foto: Setpres-Muchlis Jr/HO ANTARA FOTO
Para Menlu ASEAN, dalam keterangannya, meminta Pusat Koordinasi ASEAN untuk Bantuan Kemanusiaan (AHA Centre) segera mulai menyusun pedoman kebijakan untuk bantuan tersebut.
Menurut Associated Press, Erywan merupakan satu dari setidaknya empat kandidat yang dicalonkan oleh ASEAN. Myanmar disebut lebih memilih calon dari Thailand. Tetapi, pilihan final jatuh ke diplomat asal Brunei ini.
ADVERTISEMENT
Menlu RI, Retno L Marsudi, dalam pertemuan tersebut mengatakan, Erywan akan segera melaksanakan tugasnya dan memperoleh “akses penuh terhadap seluruh pihak” di Myanmar.
Sejumlah pejabat ASEAN mengungkapkan adanya kekhawatiran atas pemilihan Erywan sebagai utusan khusus.
"Erywan harus memastikan dirinya tak menjadi 'pion' dalam permainan junta militer, di mana mereka memanfaatkan ASEAN untuk memperoleh pengakuan internasional sembari melanjutkan kepemimpinan yang penuh penindasan," ujar delegasi Thailand pada Parlemen ASEAN untuk HAM, Kasit Piromya, pada Rabu (4/8).
Para pengunjuk rasa yang mengenakan helm meneriakkan slogan-slogan saat mereka berdiri di belakang barikade di Sanchaung, Yangon, Myanmar, Rabu (3/3). Foto: Reuters
Krisis Myanmar dimulai ketika militer menggulingkan pemerintahan Penasihat Negara Aung San Suu Kyi pada 1 Februari lalu.
Semenjak militer mengambil alih kekuasaan, demonstrasi antikudeta rakyat pecah hampir di seluruh penjuru wilayah Myanmar. Bentrok antara kedua pihak pun tak terbendung.
ADVERTISEMENT
Menurut sejumlah organisasi hak asasi manusia di Myanmar, setidaknya 900 demonstran tewas dibunuh junta militer.
Korban jiwa dari pihak kepolisian dan militer juga semakin bertambah dengan berkembangnya pemberontakan kelompok bersenjata, baik di kota-kota maupun perdesaan.
Kondisi Myanmar semakin diperburuk dengan meroketnya kasus COVID-19, menyebabkan sistem layanan kesehatan negara tersebut kewalahan.