Azyumardi Azra: Integrasi BRIN Malapetaka untuk Riset dan Inovasi Indonesia

7 Januari 2022 19:09 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Azyumardi Azra Foto: Antara
zoom-in-whitePerbesar
Azyumardi Azra Foto: Antara
ADVERTISEMENT
Integrasi sejumlah lembaga riset ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) terus menuai sorotan. Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra, menilai integrasi antara Lembaga Pemerintah Nonkementerian (LPNK) ke BRIN berdampak buruk bagi kehidupan riset dan inovasi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Saya sudah berapa kali bicara soal BRIN. Kesimpulannya, BRIN yang integrasi berbagai LPNK (Lembaga Pemerintah itu malapetaka untuk riset dan inovasi Indonesia. Karena dengan likuidasi, terjadi dekonstruksi kelembagaan dan SDM-nya jadi tercerai berai,” kata Azyumardi dalam seminar daring yang diselenggarakan Narasi Institute, Jumat (7/1).
Ia mengatakan, BRIN seharusnya berfungsi sebagai lembaga koordinasi dan sinergi sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek). Sedangkan upaya integrasi hanya akan menambah beban BRIN dan menunjukkan sifat sentralisasi.
“Lain dengan misalnya kembali ke UU Sisnas Iptek yang 2019 itu. Kalau BRIN hanya sebagai koordinasi, lembaga sinergi, kalau itu saya setuju. Tapi kalau integrasi maka BRIN akan jadi bayang-bayangnya lebih panjang dari badannya. Kapasitas dia tidak memadai untuk tangani semua,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
“Ini baru lima, ada sekitar 64 litbang di kementerian dan LPNK lain yang macam-macam, belum lagi BRIDA (Badan Riset dan Inovasi Daerah). Maka saya kritik ini gejala yang menonjol di pemerintah sekarang, resentralisasi,” lanjutnya.
Azyumardi juga menyoroti berbagai permasalahan yang muncul akibat integrasi ini. Seperti terdapat 11.500 pegawai di berbagai lembaga penelitian yang menganggur, dipecat tanpa pesangon, dan diberi opsi yang sulit dilakukan peneliti.
“Di Eijkman, di BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi), di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) sekitar 11.500-an yang nganggur. Ini yang saya sebut malapetaka kemanusiaan,” paparnya.
“Dipecat tanpa pesangon dan diberikan alternatif yang tidak mungkin ditempuh para peneliti. Misal disuruh kuliah lagi, apa bisa? Itu tidak mudah, padahal lembaga-lembaga penelitian kalau masih ada, butuhkan kualifikasi,” lanjutnya lagi.
ADVERTISEMENT
Begitu pula dengan banyak jabatan di BRIN yang dijabat pelaksana tugas (Plt) hingga tingginya keterlibatan pejabat. Ia pun pesimistis Presiden Jokowi dapat membenahi persoalan-persoalan tersebut.
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional, (BRIN), Laksana Tri Handoko. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
“Coba saja, sekarang di BRIN semua Plt. Iklan di media sosial, BRIN cari pejabat-pejabat untuk isi itu. Jadi ini patut kita sesalkan. Riset dan inovasi apa yang bisa dilakukan kalau orangnya kocar kacir? Saya kira akan terus berlanjut dan sisa Jokowi 3 tahun akan susah menata kembali lembaga-lembaga penelitian-penelitian kita di bawah BRIN ini,” ungkap Azyumardi.
Karena itu, Azyumardi mendorong agar BRIN kembali kepada fungsi asalnya, yakni sebagai lembaga pusat sinergi dan koordinasi. Bukan justru mengintegrasikan keseluruhan lembaga penelitian ke dalam BRIN.
"Apa yang harus kita lakukan? Ya, kembalikan BRIN sesuai UU Sisnas Iptek sebagai pusat sinergi atau koordinasi, karena kita harus akui ada kompetisi di antara LPNK, itu ada. Kembalikan pada fungsinya,” tegasnya.
ADVERTISEMENT
Ia juga mengusulkan agar ada klasterisasi dalam internal BRIN sehingga fokus penelitian menjadi terarah. Setidaknya ada empat klasterisasi yang diusulkan, yakni klaster Balitbang, pemda, perguruan tinggi, dan centre of excellence.
“Saya usul juga BRIN bisa buat klaster, setidaknya empat. Pertama, klaster balitbang. Jadi, balitbang kementerian jadi klaster penunjang riset dan langkah-langkah kebijakan. Misal kalau IKN (Ibu Kota Negara) pindah, litbang Kemendagri kaji. Jadi jangan ditaruh semua di bawah BRIN,” usul dia.
“Klaster kedua pemda, klaster ketiga perguruan tinggi. Tapi harus direformasi juga karena perguruan tinggi kita juga sudah kehilangan otonomi dan kebebasan akademik. Terakhir, klaster centre of excellence. Jadi, lembaga yang memang digenjot pemerintah untuk riset termasuk dalam hal ini misal BPPT, LAPAN, BATAN diefisienkan, tetapi jangan dibubarkan,” tandas Azyumardi.
ADVERTISEMENT