Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Subuh-subuh, potongan tubuh tanpa kepala ditemukan di samping Jembatan Banjir Kanal Timur, Cakung, Jakarta Timur. Tak ada yang tahu siapa pemilik potongan tubuh tersebut.
Sehari setelahnya, Sabtu, 9 Januari 2010, tak jauh dari Banjir Kanal Timur ditemukan kantong plastik putih mencurigakan di Sungai Rawa Teratai Cakung. Warga yang ketakutan melaporkannya ke Polsekta Cakung untuk diperiksa. Saat kantong dibuka, potongan kepala bocah menyembul dari dalam.
Potongan-potongan tubuh itu lalu diperiksa di Rumah Sakit Kepolisian Pusat RS Sukanto. Berdasarkan hasil pemeriksaan tim forensik, diketahui bahwa potongan tubuh itu berasal dari tubuh satu anak laki-laki berusia enam sampai sembilan tahun. Lewat tes DNA, polisi juga mengantongi identitas korban bernama A, anak biologis dari Indra dan Nur Hamidah.
Siapakah pembunuh A? Bagaimana bocah semuda A bisa menjadi korban pembunuhan sadis? Untuk menemukan jawabannya, mari kita mundur ke satu hari sebelum potongan tubuh A pertama kali ditemukan.
A adalah pengamen yang biasa beraktivitas di angkutan kota sekitar Pulo Gadung. Sebenarnya ia masih punya keluarga, namun ia biasa menginap bersama sesama pengamen di sebuah rumah kontrakan di Gang Masjid, Pulo Gadung, Jakarta Timur. Rumah itu adalah milik Baekuni, biasa dipanggil Babe.
Hari itu, 7 Januari 2010, pagi-pagi A datang ke lapak kecil tempat Babe berdagang rokok di depan Pulo Gadung Trade Centre. A datang hanya untuk menyapa karena kebetulan ia sudah lama tidak mampir main ke tempat Babe.
“Di rumah aja, Beh,” jawab A saat ditanya soal keberadaannya selama ini. Setelah mengobrol sebentar, ia pergi mengamen hingga siang hari dan kembali ke tempat Babe berdagang.
Saat kembali, A langsung dipangku oleh Babe. Rambutnya dielus-elus dan disisir lembut dengan jari oleh pria yang saat itu berusia 50 tahun. Kebetulan saat itu anak-anak pengamen yang ditampung di kontrakan Babe lainnya, DS, AP, dan WK sedang berada di sekitar sana.
Babe lalu memanggil bocah-bocah itu dan meminta mereka menjaga dagangannya. Kepada bocah-bocah itu, Babe mengaku ingin mengajak A ke Gedung PTC sebentar. Namun, Babe membawa A ke rumah kontrakannya.
Sesampainya di kontrakan Babe, A dimandikan terlebih dahulu. Babe kemudian membuatkan mi instan dan teh manis untuk A. Sementara A makan siang, Babe duduk dan menonton televisi.
Setelah selesai makan, A lalu berdiri di samping tempat tidur. Babe yang melihatnya lalu ikut berdiri dan mengunci pintu. Babe kemudian mengajak bocah yang belum 10 tahun itu berhubungan badan, namun A menolak.
Marah karena penolakan A, Babe mengambil tali rafia yang ada di bawah rak baju di dekatnya dan langsung menjerat leher A dari belakang. Tali tersebut ia pegang erat dengan tangan kiri, sedang tangan kanannya mendorong dan menekan kepala A.
Lima menit kemudian, tubuh A jatuh lemas. Bocah pengamen itu tewas kehabisan oksigen.
Melihat A sudah tewas, Babe lalu membawa tubuhnya ke kamar dan meletakkannya di atas kasur dalam posisi tengkurap. Ia lalu melepas semua pakaian A lalu mencabuli tubuh A yang sudah tak bernyawa.
Setelah melakukan aksinya, Babe sempat kembali ke tempatnya berdagang di depan PTC. Kepada DS, AP, dan WK yang masih di situ, Babe mengaku mendadak kedatangan tamu dari Tangerang. Untuk itu, ketiga bocah itu diminta untuk menjaga dagangan Babe sedikit lebih lama.
Nyatanya, Babe kembali ke kontrakannya untuk membereskan mayat A. Dengan sebilah golok, ia memotong tubuh A menjadi empat bagian. Potongan-potongan tubuh A lalu dimasukkan ke kantong plastik ukuran besar yang kemudian disimpan ke dalam dus bekas air mineral. Sementara itu, kepala A dibungkus dengan kaos dan dimasukkan ke kantong plastik putih.
Setelah rapi, Babe lalu kembali ke PTC untuk menjemput dagangannya dan tiga anak jalanan yang ia asuh. Ia baru kembali ke rumah pukul 9 malam bersama DS, AP, dan WK. Saat itu kardus dan kantong berisi potongan tubuh A belum dibuang dan hanya ia letakkan di bawah meja di luar rumah.
Pada Jumat, 8 Januari 2010, sekitar pukul 3.00 WIB, Babe diam-diam keluar rumah untuk membuang tubuh A. Bungkusan berisi kepala A diletakkan di pinggir Jembatan Warung Jengkol Pulogadung. Sedangkan kardus berisi potongan tubuh A dibawa ke Cakung untuk dibuang di dekat Jembatan Banjir Kanal Timur.
Dua jam kemudian, seorang saksi bernama Abdi Alfri Boy Hutahayan menemukan kardus berisi potongan tubuh A.
Predator Serial
A rupanya bukan satu-satunya korban Babe. Putusan Mahkamah Agung No. 493 K/PID/2011 bahkan mencatat Babe sudah menjalankan aksi serupa sejak 1993. Namun ada juga yang menyebut korban pertama Babe adalah bocah bernama ARS yang tewas di tahun 1998.
ARS adalah bocah yang dikenal oleh Babe di Terminal Kampung Melayu. Di sana, Babe mengajak ARS untuk ikut dengannya ke kampung halaman istri kedua Babe di Kuningan, Jawa Barat.
Sesampainya di Kuningan, Babe tak langsung membawa bocah itu ke rumah istrinya. Ia mengajak ARS bermain hingga malam di Pasar Kuningan. Babe kemudian malah membawa ARS ke sungai di Ciwaru.
Di tempat itu tiba-tiba ARS ditenggelamkan ke sungai hingga meninggal. Setelah tak bergerak lagi, tubuh ARS diangkat untuk diperkosa, lalu ditinggalkan begitu saja di pinggir sungai.
Tempo.com edisi 30 Januari 2010 mencatat, paling tidak ada 14 bocah berusia enam sampai dua belas tahun yang dibunuh dan disetubuhi oleh Babe. Empat di antaranya tercatat dalam putusan MA sebagai korban yang dibunuh dan dimutilasi: A, AD, R, dan AAR.
AD adalah bocah pengamen yang ditemukan Babe di Kawasan Industri Pulogadung di pertengahan 2007. Ia diajak main ke kontrakan Babe, lalu dibunuh dan dimutilasi karena menolak saat diajak berhubungan badan.
Korban selanjutnya adalah R, pengamen di Stasiun Jatinegara, yang dibunuh dan dimutilasi pada Januari 2008. Lima bulan setelahnya, Babe kembali beraksi. Kali ini korbannya adalah AAR, pengamen di Pulogadung yang memang kerap datang menginap di rumah Babe.
Akibat perbuatannya, awalnya Baekuni diberi hukuman seumur hidup pada 6 Oktober 2010 oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Ia lalu mengajukan banding di Pengadilan Tinggi Jakarta dan malah diberi hukuman mati pada 18 Januari 2011.
Pengacara Baekuni, Rangga Rikuser, langsung mendaftarkan memo kasasi ke Mahkamah Agung. Namun Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi Baekuni karena ia dianggap bersalah telah membunuh 14 anak dan memutilasi empat di antaranya.
Meski keputusan hukuman mati itu sudah final sejak April 2011, namun hingga Desember 2021 eksekusi Baekuni masih belum dilakukan. Menurut pengakuan pihak keluarga, Baekuni saat ini masih berada di LP Cipinang dan masih kerap menelepon mereka beberapa waktu sekali.