Banyak Perusahaan Tolak WFH dan Warga Bandel, Jokowi Masih Tak Mau Lockdown?

25 Maret 2020 9:13 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Joko Widodo tinjau Rumah Sakit Darurat COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran. Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo tinjau Rumah Sakit Darurat COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran. Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Virus corona di Indonesia sudah dalam tahap amat serius; 686 positif, 55 orang meninggal, lebih banyak dibanding pasien sembuh sebanyak 30 orang. Belum ada opsi lockdown, baik di Jakarta --angka penularan tertinggi-- maupun negara.
ADVERTISEMENT
Penularan terjadi begitu cepat tanpa ada data riwayat perlintasan pasien. Risiko penularan semakin besar, orang-orang masih banyak berkumpul dan tak menjaga jarak satu sama lain (physical/social distancing).
Ada dua alasan: warga memang sulit diatur atau tekanan pekerjaan. Banyak perusahaan yang enggan melakukan kebijakan bekerja dari rumah (work from home), dan masih banyak para pekerja yang mengandalkan penghasilan harian (pedagang, sopir angkutan umum, ojek online).
Presiden Jokowi dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan beserta pimpinan daerah lainnya telah meminta warga untuk tinggal, belajar, dan bekerja di rumah. Tak boleh ada kerumunan, untuk memutus --setidaknya mengurangi-- angka COVID-19.
Sayangnya, seruan itu tak sepenuhnya berhasil. Warga masih bandel keluar rumah untuk makan ke restoran, memanfaatkan "study from home" dengan berkumpul bersama teman-teman, dan perusahaan masih mempekerjakan pegawainya. Ini tentu sangat berbahaya.
Mobil ambulans di RSPI Sulianti Saroso, Jakarta Utara, Jumat (13/3). Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
"Kantor kami tidak memberlakukan WFH atau pengurangan jam kerja, karena menurut owner kami WFH hanya untuk karyawan pemalas," kata Rosa, nama disamarkan-red, kepada kumparan.
ADVERTISEMENT
"Di kantor kami tidak ada WFH, karena kata direktur kami ini propaganda dan issue yang dibuat pemerintah agar kita takut. Sekalipun kita WFH kita tidak menerima gaji," kata Hery, pekerja lainnya.
Beberapa negara sudah mengalaminya dan akhirnya memutuskan untuk lockdown agar warga tertib, tak bisa keluar rumah. Paling tidak memutus akses transportasi antarkota. Orang-orang dilarang keluar kecuali dalam keadaan darurat seperti membeli makanan atau ke apotek.
Tercatat banyak negara sudah lockdown; China, Italia, Inggris, Prancis, Spanyol, Malaysia, bahkan Afrika Selatan.
Untuk Indonesia, Jokowi menegaskan tidak akan lockdown. Dalam rapat terbatas bersama gubernur, Jokowi mengatakan, opsi lockdown di negara-negara lain tak bisa disamakan dengan Indonesia.
"Ada yang tanya kepada saya kenapa kebijakan lockdown tidak kita lakukan. Perlu saya sampaikan bahwa setiap negara memiliki karakter berbeda-beda, budaya berbeda, memiliki kedisiplinan berbeda. Oleh sebab itu kita tidak memilih jalan itu," ucap Jokowi dalam ratas online, Selasa (24/3).
Petugas mencuci kereta di Stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta, Rabu (4/3). Foto: ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
"Kebijakan mereka apa, hasilnya apa, semua dari Kemlu lewat Gugus Tugas yang ada terus kita pantau setiap hari, sehingga di negara kita yang paling pas adalah physical distancing, menjaga jarak aman itu paling penting," bebernya.
ADVERTISEMENT
Namun penilaian Jokowi berbeda dengan usulan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Menurut Ketua Satgas COVID-19 IDI, Zubairi Djoerban, pihaknya setuju jika lockdown diterapkan untuk menekan penularan.
IDI memahami pemerintah alergi dengan istilah lockdown. Maka, tak masalah Jokowi tak menggunakan istilah lockdown, tapi penerapannya sama, yaitu membatasi bahkan mengisolasi warga di rumah.
"Artinya yang penting adalah kan sudah disarankan bekerja dari rumah, sekolah-sekolah sudah ditutup. Jadi menurut saya istilahnya karena mungkin agak alergi dengan istilah lockdown ya, ganti saja dengan yang lain," tuturnya.
"Itu istilah lain saja, lockdown kecil lah. Jadi kalo lock down bagus, tidak lockdown asal isunya sama aja ya enggak apa-apalah," imbuh Zubairi.
Seekor kucing beradi di depan Museum Fatahillah di kawasan Kota Tua, Jakarta, Selasa (24/3). Foto: REUTERS/Willy Kurniawan
Desakan serupa juga diungkapkan berbagai politikus, salah satunya Politikus Demokrat Didik Mukrianto.
ADVERTISEMENT
"Dalam kondisi demikian, seharusnya untuk menjamin keselamatan masyarakat, pemerintah jangan ragu-ragu untuk mengambil sikap tegas untuk melakukan lockdown daerah-daerah tertentu yang dianggap masif dan tidak terkendali penyebaran virusnya," kata Didik.
Begitu pula yang disampaikan Waketum Gerindra Fadli Zon. "Pak Jokowi, jangan buang-buang waktu menunda lockdown karena nanti akan lebih banyak korban jatuh," kata Fadli dalam surat terbukanya.
Tak asal Lockdown, pemerintah harus penuhi kebutuhan warga
Keputusan lockdown memang menjadi simalakama untuk kondisi Indonesia saat ini. Jika memilih lockdown, pemerintah harus menanggung biaya rakyat dan berdampak pada ekonomi negara, namun jika wilayah terus dibuka, penularan virus akan semakin meningkat dan nyawa rakyat terancam.
Sehingga, jika pemerinta menginstruksikan dan mengisolasi wilayah, kebutuhan pangan seluruh warga harus terjamin.
ADVERTISEMENT
Tanggung jawab pemerintah selama lockdown tercantum dalam UU RI Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Pasal 4
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat melalui penyelenggaraan Kekarantinaan
Pasal 6
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap ketersediaan sumber daya yang diperlukan dalam penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan.
Pasal 8
Setiap Orang mempunyai hak mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama Karantina.
Pun tak lockdown, perketat aturan
Dengan situasi dan kondisi saat ini, sudah saatnya pemerintah menerapkan aturan tegas bagi mereka yang tidak kompak menekan penularan; warga yang bandel keluar rumah bahkan pulang kampung, perusahaan yang tak mau work from home dan memaksa pegawainya untuk kerja di kantor.
ADVERTISEMENT
Beberapa negara, meski tak lockdown, ada yang memberikan denda dan sanksi kepada warganya yang masih nekat keluar rumah.
Kadiv Humas Polri, Irjen Pol M Iqbal, mengatakan, warga yang melarang dan melawan petugas saat penertiban dapat dipidanakan. Pelaku akan dijerat 3 pasal sekaligus dengan masa hukuman maksimal 1 tahun penjara. Masyarakat berharap aturan ini efektif dijalankan.
“Kami akan proses hukum dengan Pasal 212 KUHP, barangsiapa yang tidak mengindahkan petugas yang berwenang yang melaksanakan tugas bisa untuk kepentingan bangsa dan negara, dipidana. Kami tambahkan pasal 216 dan 218,” kata Iqbal di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (23/3).