Beda Sikap PDIP dan Jokowi soal Amandemen UUD 1945

7 Desember 2019 7:31 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Joko Widodo memberi sambutan saat meresmikan pabrik baru polyethylene (PE) CAP di Cilegon, Jumat (6/12/2019). Foto: ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo memberi sambutan saat meresmikan pabrik baru polyethylene (PE) CAP di Cilegon, Jumat (6/12/2019). Foto: ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman
ADVERTISEMENT
Presiden Joko Widodo telah menolak amandemen UUD 1945 karena dianggap jadi melebar ke poin-poin lain. Dua wacana yang ditolak Jokowi seperti menambah masa jabatan presiden menjadi tiga periode dan mengubah sistem pemilihan presiden menjadi dipilih oleh MPR.
ADVERTISEMENT
Reaksi Jokowi ini terbilang tak biasa. Klimaks, marah sudah di ubun-ubun, memuncaklah amarahnya.
Ya, Jokowi dinilai sudah mencapai puncak dari emosinya dari wacana-wacana melebar dalam amandemen UUD 1945. Dengan harapan seluruh pihak tunduk dan taat pada aturan yang sudah berlaku.
Akan tetapi, reaksi berbeda ditunjukan PDIP sebagai partai pengusungnya. PDIP memang mendukung penolakan Jokowi terhadap masa jabatan tiga periode. Namun, tidak bagi upaya menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan negara (GBHN).
Presiden Joko Widodo memberi sambutan saat meresmikan pabrik baru polyethylene (PE) CAP di Cilegon, Jumat (6/12/2019). Foto: ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman
“Meski PDI Perjuangan terdepan di dalam mengusulkan amandemen terbatas guna menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi dan memiliki kewenangan di dalam menetapkan haluan negara, namun presiden dan wapres tetap dipilih secara langsung dengan pembatasan masa jabatan maksimum dua periode," kata Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dalam keterangannya, Selasa (3/12).
ADVERTISEMENT
Menurut Hasto, amandemen UUD 1945 untuk menghidupkan GBHN tetap diperlukan sebagai modal membangun negara yang lebih baik. Ia yakin lewat GBHN, Indonesia dapat lebih makmur, berdaulat, dan berdikari dalam pembangunan masa depan.
"Haluan negara adalah road map yang bersifat strategi dan mengandung arah bagaimana penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk melipatgandakan kemampuan produksi nasional. Kemudian, bagaimana pengembangan industri strategis dari hulu ke hilir, dan tata perekonomian Indonesia yang membangun kedaulatan bangsa di bidang energi, pangan, keuangan, pertahanan dan lain-lain," beber Hasto.
Hal senada juga diungkapkan Wakil Ketua MPR dari Fraksi PDIP Ahmad Basarah. Ia justru menyayangkan pernyataan Jokowi yang tegas menolak amandemen UUD 1945.
"Sebenarnya Pak Jokowi tidak harus menyampaikan pernyataan yang cenderung emosional menyikapi soal dinamika wacana dan rencana amandemen terbatas UUD 1945 untuk menghadirkan kembali haluan negara," kata Ketua DPP PDIP Bidang Luar Negeri itu, Jumat (6/12).
ADVERTISEMENT
Menurut Basarah, wacana amandemen UUD 1945 merupakan aspirasi yang ditampung secara umum dan bukan wilayah partai politik saja. Apalagi, kini sudah menjadi rekomendasi MPR periode 2019-2024.
"Seharusnya Mensesneg (Pratikno) selaku pembantu Presiden urusan kenegaraan, dapat membuka komunikasi dan koordinasi politik yang baik. Terutama dalam fraksi-fraksi di MPR, kemudian bahan-bahan masukan itu dilaporkan ke Presiden. Sehingga Presiden mengerti urgensi, mengerti kembali haluan negara lewat amandemen terbatas UUD 1945," ungkap Basarah.
"Berikanlah kesempatan MPR untuk bekerja, jangan kemudian sudah divonis tak perlu lagi amandemen terbatas ini," imbuhnya.
Ia juga meminta Pratikno lebih banyak berkoordinasi dengan publik maupun MPR. Sehingga dapat mengetahui pandangan masing-masing fraksi, yang kemudian dijadikan masukan untuk Jokowi.
Presiden Jokowi sebelumnya menegaskan sebaiknya tidak perlu amandemen UUD 1945. Menurutnya, meski awalnya amandemen UUD 1945 hanya terkait GBHN, namun poin amandemen pasti akan berubah ke poin-poin lain.
ADVERTISEMENT
"Apakah bisa yang namanya amandemen berikutnya dibatasi untuk urusan haluan negara? Apakah tidak melebar ke mana-mana. Sekarang kenyataannya seperti itu kan," kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Senin (2/12).
"Jadi lebih baik tidak usah amandemen," lanjutnya.