Ilustrasi kotak suara di Pemilu Amerika Serikat

Beda Sistem Pemilu di Amerika Serikat dengan Indonesia

28 Oktober 2020 19:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kotak suara di Pemilu Amerika Serikat. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kotak suara di Pemilu Amerika Serikat. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Setiap empat tahun sekali Amerika Serikat (AS) menggelar pemilu. Meski negara demokrasi terbesar, namun penyelenggaraan Pemilu AS bisa dibilang unik, bahkan jauh berbeda dengan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pemilihan tentu dilakukan di seluruh negara bagian. Namun hasil akhir yang menentukan siapa yang menjadi presiden tidak berdasarkan suara populer (terbanyak secara nasional). Sosok Presiden AS akan ditentukan dengan sistem elektoral. Lantas apa itu sistem elektoral?

Mengenal Sistem Elektoral

Warga menggunakan masker mengisi surat suara pemilihan Presiden Amerika Serikat di Ottawa, Illinois, Amerika Serikat. Foto: REUTERS / Daniel Acker
Selama ini, masyarakat Negeri Paman Sam tak secara langsung memilih presidennya. Pun dalam Pemilu AS 2020, mereka tak akan memilih kandidat dari Partai Republik Donald Trump-Mike Pence maupun kandidat dari Partai Demokrat Joe Biden-Kamala Harris.
Masyarakat AS hanya memilih orang-orang yang diberi mandat untuk menentukan kemenangan salah satu kandidat. Orang-orang ini biasa disebut dengan electors atau anggota dewan pemilih.
Mereka akan tergabung dalam sebuah lembaga konstitusional bernama electoral college. Total ada 538 electors yang mewakili setiap negara bagian, terdiri dari anggota DPR/partai (435 orang), senat (100 orang), dan perwakilan dari ibu kota Washington D.C (3 orang).
ADVERTISEMENT
Jumlah electors setiap negara bagian pun berbeda, disesuaikan dengan jumlah penduduk, senat, dan anggota DPR. Semakin banyak maka jatah electors semakin banyak pula. Jumlah electors terbanyak adalah California sebanyak 55, sementara yang sedikit adalah Delaware, Alaska, hingga Wyoming, sebanyak 3 electors.
Seorang pria membersihkan bilik privasi di TPS, saat pemungutan suara awal di New York City, AS, Minggu (25/10). Foto: Andrew Kelly/REUTERS
Usai 538 electors terpilih, dilakukan pemilihan presiden. Biasanya digelar pada Desember. Minimal salah satu capres harus mendapatkan 270 suara dari total electors untuk memenangkan pemilihan.
Tentunya, para electors ini sudah memiliki sikap politik yang sama dengan masing-masing capres karena kesamaan partai. Lain cerita jika ada kasus membelot ke kandidat lain.
Infografik Perjalanan Hidup Donald Trump. Foto: kumparan
Selain itu, masyarakat sejumlah negara bagian juga memiliki kecondongan sikap politik ke satu partai.
Misalnya, California selama ini merupakan blue state karena masyarakatnya condong ke Partai Demokrat. Sementara, North Carolina dan sejumlah negara bagian selatan adalah red state karena condong ke Partai Republik.
ADVERTISEMENT
Karena kondisi ini, hasil pemungutan suara biasanya sudah dapat diketahui dan hampir pasti. Biden akan menang telak di California, begitu pula dengan Trump menang di North Dakota.
Presiden AS Donald Trump dan calon presiden dari Partai Demokrat Joe Biden dalam debat kampanye presiden 2020 pertama mereka di kampus Klinik Cleveland, di Case Western Reserve University di Cleveland, Ohio, AS. Foto: Reuters
Keuntungannya, kandidat capres tak akan bersusah payah menarik simpati masyarakat di negara bagian yang sudah pasti "warnanya". Namun lain hal di negara bagian yang masih "abu-abu".
Negara bagian yang masih belum jelas ini biasa disebut swing state yang akan diperebutkan kandidat capres karena sangat berpengaruh dalam sistem elektoral.
Negara bagian yang dianggap swing state adalah Colorado, Florida, Iowa, Michigan, Nevada, New Hampshire, Pennsylvania, Ohio, Wisconsin dan Virginia.
Infografik Perjalanan Hidup Joe Biden. Foto: kumparan
Kemudian ada mekanisme Winner Takes All atau mekanisme penghitungan sapu bersih di sejumlah negara bagian, kecuali Maine dan Nebraska.
ADVERTISEMENT
Sistem ini hanya menganggap suara elector terbanyak kandidat capres. Sementara yang kalah suaranya akan hangus begitu saja, meski selisih suaranya sangat tipis.

Berbeda dengan Pemilu di Indonesia

Calon presiden petahana Joko Widodo beserta istrinya Iriana Widodo mencoblos di TPS 008, Gambir, Jakarta, Rabu (17/4). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Tentu, sistem elektoral pemilu AS ini berbeda jauh dengan sistem pemilu di Indonesia. Jelas, masyarakat Indonesia terlibat langsung, memilih dan menentukan siapa yang cocok menjadi presiden.
Penentuan kemenangan kandidat capres di Indonesia berdasarkan hasil pemungutan suara nasional yang diperoleh masing-masing kandidat. Untuk menang, kandidat capres harus mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara, dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi.
ADVERTISEMENT
Aturan ini tertuang dalam Pasal 416 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Namun aturan ini oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dianggap tak berlaku jika kandidat capres hanya dua orang.
ADVERTISEMENT
MK dalam putusan nomor 50/PUU-XII/2014 menegaskan jika pemilu hanya diikuti dua kandidat capres, maka yang terpilih adalah yang memperoleh suara terbanyak. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945, sehingga tidak perlu dilakukan putaran kedua.
Pasangan calon presiden Prabowo-Sandi bersama Pasangan calon presiden Jokowi-Ma'ruf Amin saat acara Deklarasi Pemilu Damai, Jakarta, Minggu (23/9/2018). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Selain itu, pemilu di Indonesia juga diadakan setiap lima tahun sekali oleh KPU, bukan empat tahun seperti AS. KPU di Indonesia juga bertugas mempersiapkan seluruh proses pemilihan.
Sementara KPU di AS hanya bersifat mengawasi pendanaan kampanye. Proses pemilu di AS diselenggarakan masing-masing negara bagian --sesuai sistem federal.
Kemudian, pencalonan presiden di Indonesia ditentukan dengan adanya ambang batas (presidential threshold) yang harus diperoleh partai. Sementara pencalonan presiden di AS cukup melalui konvensi partai.
Ilustrasi gedung DPR RI. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Dalam Pasal 222 UU Pemilu dijelaskan partai atau gabungan partai yang bisa mengajukan kandidat capres harus memenuhi syarat perolehan suara minimal 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional.
ADVERTISEMENT
Sayangnya ambang batas ini memiliki kekurangan, karena jika semakin tinggi maka hanya partai-partai besar yang bisa mengajukan kandidat capres. Selain itu, jumlah kandidat capres pun menjadi semakin sedikit.
Ketentuan ini juga dianggap berseberangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang memberikan hak bagi partai atau gabungan partai tanpa ada ambang batas.
----------------------------------
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten