Benarkah Klaim Titiek: Jokowi Lebih Gila dari Soeharto soal Makar?

24 Mei 2019 13:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Titiek Soeharto saat menghadiri aksi damai di depan Bawaslu. Foto: Andreas Ricky Febrian/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Titiek Soeharto saat menghadiri aksi damai di depan Bawaslu. Foto: Andreas Ricky Febrian/kumparan
ADVERTISEMENT
Pernyataan putri Soeharto, Titiek Soeharto, soal perbandingan rezim Jokowi dengan ayahnya menuai pro dan kontra. Titiek menyebut, era saat ini lebih gila dibandingkan dengan Orde Baru.
ADVERTISEMENT
“Masa semuanya dibilang makar, makar, makar. Ini apa? Dulu zamannya Pak Soeharto enggak kaya gini, kayaknya sekarang lebih gila lagi. Makar, makar apa sih?” kata Titiek saat ikut dalam aksi di depan gedung Bawaslu, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Selasa, (21/5) petang.
Titiek mengungkapkan hal itu terkait dengan pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang ditangkap polisi karena dugaan makar. Beberapa pendukung Prabowo yang ditangkap karena dugaan makar adalah Eggi Sudjana, Lieus Sungkharisma, dan eks Danjen Kopassus Mayjen (Purn) Soenarko.
“Dan itu Danjen Kopassus itu sudah berjuang (untuk negara), diperlakukan seperti itu,” kritik Titiek.
Untuk kasus ketiga orang itu, saat ini masih dalam tahap penyidikan. Proses persidangan belum berlangsung.
Politikus Partai Berkarya itu juga sempat menyoroti adanya surat perintah penyidikan dengan terlapor Prabowo Subianto. SPDP itu telah ditarik oleh pihak kepolisian.
ADVERTISEMENT
Ia merasa dengan berbagai kejadian itu, demokrasi tidak berjalan dengan baik. “Ini katanya demokrasi, kita sudah reformasi dan boleh keluarkan pendapat. Belum apa-apa sudah dibungkam,” tutur mantan istri Prabowo ini.
Apabila ditilik dari sisi historis, apakah pernyataan Titiek tersebut relevan?
Lipsus Terjerat Tuduhan Makar. Foto: Indra Fauzi/kumparan
Sebelum bicara soal era Soeharto, mari kita bicara sejenak soal kapan soal makar ini mulai eksis di Nusantara. Apabila kita sepakat, makar itu disamakan dengan pemberontakan atau kudeta terhadap pemerintahan yang sah, maka makar sudah terjadi sejak abad ke-12.
Pada tahun 1319, terjadi pemberontakan Kuti di Kerajaan Majapahit pada era Raja Jayanegara. Dikutip dari Historia, Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakertagama mengatakan, alasan pemberontakan karena komplotan Kuti yang tidak puas dengan penobatan Jayanagara.
ADVERTISEMENT
“Padahal Kuti bagian dari tujuh orang dharmaputra yang dibentuk ketika Kertarajasa Jayawardhana atau Wijaya berkuasa,” tulisnya.
Nah, kita coba langsung lompat ke inti permasalahan, era Orde Baru. Kala itu, isu makar baru muncul pada 1976.
Dia adalah Sawito Kartowibowo, yang ditangkap karena tuduhan makar. Ia diciduk karena meminta Soeharto menyerahkan kekuasaannya pada mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Sawito merupakan PNS Departemen Pertanian yang juga menantu dari Kapolri pertama RI Soekanto Tjokrodiatmojo. Nah, kasus Suwito ini terbilang unik.
Dikutip dari tulisan Bung Hatta sendiri, “Demokrasi Kita”, Sawito mengaku memperoleh wangsit setelah bertapa di Gunung Muria. Wangsit itu berisi agar Soeharto ditekan supaya menyerahkan jabatannya secara damai kepada Hatta.
ADVERTISEMENT
“Bahkan ia sampai mengumpulkan tanda tangan pendukung para “tokoh sepuh” selain Hatta, yaitu mertuanya sendiri R.S. Soekanto Tjokrodiatmojo, kemudian Kardinal Justinus Darmojuwono (Ketua Majelis Wali Gereja Indonesia), Buya Hamka (Ketua Majelis Ulama Indonesia), dan T.B.Simatupang (Ketua Dewan Gereja Indonesia),” tulisnya.
Akibat kasus ini, Sawito divonis 8 tahun penjara dan hak politiknya juga untuk menjadi PNS dicabut. Namun pada tahun 2000, melalui Keppres No 93/2000, Presiden Abdurrahman Wahid memberikan abolisi dan rehabilitasi kepadanya, sehingga Sawito dipulihkan hak-haknya sebagai seorang WNI dan PNS.
Soeharto, Presiden ke-2 Indonesia. Foto: John Gibson/AFP
Selain Suwito, ada beberapa nama lain yang terjerat kasus makar di era Soeharto. Mereka adalah HM Sanusi (1986), Husein bin Ali al-Habsyi (1991), dan Arifin Panigoro (1998).
ADVERTISEMENT
HM Sanusi merupakan inisiator dari Negara Islam Indonesia (NII). Ia divonis 20 tahun penjara karena mengancam membunuh Soeharto.
Seluruh rencana makar eks mantan Menteri Perindustrian Tekstil dan Kerajinan Rakyat itu dibahas dalam forum pertemuan Badan Pembelaan Masjidil Aqsa yang diketuai Sanusi.
“Awal pembicaraan makar itu pertama kali dibahas awal Desember 1981. Jika berhasil, Sanusi telah menyiapkan pengganti Soeharto yang disebut Lima Gumpalan Politik,” tulis Majalah Tempo edisi 13 September 1986.
Lima Gumpalan Politik itu adalah Nasabri (Nasional Agama ABRI), Posko ABRI, Lembaga Soekarno-Hatta, Badan Pekerja Petisi 50, serta Lembaga Kesadaran Berkonstitusi.
Sementara itu Husein ali al-Habsyi dihukum seumur hidup karena mencanangkan menggulingkan rezim Soeharto. Dia juga terlibat dalam upaya meledakkan Candi Borobudur pada 21 Januari 1985.
ADVERTISEMENT
Sembilan bom meledak di candi bersejarah itu. Ledakan pertama terdengar pukul 01.30. Sedangkan ledakan kesembilan terdengar pukul 03.30. Sembilan stupa dan dua patung Buddha rusak.
Candi Borobudur. Foto: Shutter Stock
Lain lagi cerita Arifin Panigoro. Pada Februari 1998 dituduh makar setelah menghadiri diskusi Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan di Hotel Raddison Yogyakarta..
Namun tak lama kemudian, Arifin dilepas karena tak terbukti bersalah.
Di era Soeharto, juga terjadi beberapa penangkapan aktivis yang pro-demokrasi. Hal ini terjadi menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1997 dan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 1998.
Selama periode 1997/1998, setidaknya ada puluhan aktivis yang hilang. Satu orang ditemukan meninggal, sembilan orang dilepaskan, dan belasan lainnya hingga hari ini tidak jelas rimbanya.
ADVERTISEMENT
Nama-nama yang hilang antara lain Widji Tukul, Herman Hendrawan, Petrus Bima Anugrah, Dedi Hamdun, dan Novel Al Katiri.
Widji Tukul adalah sastrawan yang kerap melontarkan kritiknya melalui puisi dan sejenisnya. Sementara Herman dan Petrus adalah mahasiswa Universitas Airlangga yang lantang menyuarakan penentangan terhadap Soeharto.
Dedi dan Noval merupakan pengusaha dan aktivis PPP. Pada 1997, mereka aktif dalam kampanye Mega-Bintang. Keduanya dilaporkan hilang pada 29 Mei 1997.
Akibat serangkaian penangkapan dan penghilangan ini -- ditambah krisis ekonomi -- gelombang massa untuk meminta Soeharto turun muncul. Hingga akhirnya, Soeharto yang berkuasa 32 tahun lengser pada 21 Mei 1998.
Setelah itu, di era Reformasi, DPR dan pemerintah membuat UU yang membatasi masa jabatan presiden hanya sampai 10 tahun.
ADVERTISEMENT