Beragam Pendapat Ahli soal Kasus Corona Saat Ini

20 Juni 2021 7:30 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mural yang mengajak warga untuk memakai masker di tengah pandemi COVID-19 di Surabaya. Foto: Juni Kriswanto/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Mural yang mengajak warga untuk memakai masker di tengah pandemi COVID-19 di Surabaya. Foto: Juni Kriswanto/AFP
ADVERTISEMENT
Kasus corona di Indonesia melonjak tajam dalam beberapa pekan terakhir. Hal ini tak lepas dari libur lebaran pada pertengahan Mei lalu.
ADVERTISEMENT
Bahkan kasus corona bertambah 12 ribu dalam sehari pada Kamis (17/6). Berbagai daerah mulai terjadi transmisi varian baru corona.
Kondisi penularan corona yang meningkat pesat membuat sejumlah ahli menyampaikan kekhawatirannya. Berikut kumparan rangkum:
Suasana di depan IGD RSUD Soewondo Pati. Foto: Dok. Istimewa
Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI), Masdalina Pane, mengatakan kondisi peningkatan kasus corona sudah diingatkan sejak lama.
Masdalina menyatakan kenaikan kasus corona terjadi 9 minggu lalu sebelum puasa dan lebaran, meski angkanya masih di bawah 5.000 per hari.
"Ini sebenernya kenaikan kasus bukan terjadi 2-3 minggu saja, sudah terjadi 9 minggu, dan ini minggu ke 10, sebelum puasa, mulai dari (bertambah) 3.000, 4.000 terus saja. ini naik, tapi naik sedikit," jelas Masdalina.
Petugas memeriksa berkas pasien COVID-19 saat tiba di IGD Rumah Sakit Darurat Penanganan COVID-19, Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, Kamis (10/9). Foto: Galih Pradipta/Antara Foto
ADVERTISEMENT
Masdalina menilai penambahan kasus harian yang mencapai 12 ribu pasien pada 17 Juni sebagai fenomena gunung es. Menurutnya, transmisi corona di bawah masih terus terjadi.
"Dari 9.000 naik ke 12 ribu, naik, apa maknanya? kalau itu disebut iceberg phenomenon (fenomena gunung es), sementara transmisi terus berjalan ke bawah, itu yang harus dimonitor dengan terukur," jelasnya.
Atas kondisi ini, ia mendorong pemerintah menutup segala celah transmisi, termasuk penanganan pintu dari/ke luar negeri guna mengantisipasi penularan varian baru corona. Menurut Masdalina, karantina orang-orang yang dari luar negeri harus diperpanjang hingga 2 pekan.
Petugas kesehatan melakukan tes Antigen kepada warga dari Pulau Madura saat penyekatan di akses keluar Jembatan Suramadu, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (12/6/2021). Foto: Didik Suhartono/ANTARA FOTO
Masdalina menyoroti prosedur testing yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan di mana orang yang berkontak erat dengan pasien COVID-19 dilakukan tes pada hari pertama.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, hal itu tidak efektif, kecuali bagi orang bergejala. Ia menilai testing pada kontak erat sebaiknya dilakukan pada hari kelima.
"Kalau tidak bergejala dilakukan hari ke 5, ketika virus masuk ke tubuh kita, alat tidak serta merta mampu secara cepat mendeteksi. Ad waktu yang dibutuhkan, WHO menyarankan 5 sampai 6 hari pasca kontak erat," tuturnya.
Ia juga menekankan, pada waktu menunggu dilakukan tes itu, orang yang melakukan kontak erat tidak boleh melakukan mobilisasi dan terus menjalankan protokol kesehatan.
Infografik: 5 Gejala Umum Varian Corona Delta India. Foto: kumparan
Kemunculan varian Delta virus COVID-19 memperparah penanganan pandemi di Indonesia.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyebut, varian ini, meski sama menyerang pernapasan, tetapi memiliki tingkat perburukan lebih cepat daripada varian biasa.
ADVERTISEMENT
Lebih bahaya lagi, varian ini juga bisa mempengaruhi janin bagi ibu yang tengah mengandung.
"Iya betul berpengaruh terhadap janin, atau lagi menyusui berpengaruh kepada anak yang menyusui," kata Ketua IDI, Daeng M. Faqih.
Varian ini juga cepat menjangkiti anak muda. Menurut catatan IDI, banyak anak muda yang datang ke rumah sakit dan telah bergejala berat.
"Mungkin yang bergejala ini anak muda kurang menyadari jadi datang ke rumah sakit sudah gejala berat. Gejala berat itu angka kesembuhan akan lebih kecil," ucap Daeng.
Mural tentang pandemi COVID-19 Foto: Dhemas Reviyanto/Antara Foto
IDI menyoroti pasien tanpa gejala (OTG) yang harus mendapat perhatian lebih dalam pengendalian dan penanganannya.
Menurut IDI, OTG yang bernapas saja berpotensi mengeluarkan droplet corona.
ADVERTISEMENT
"Virusnya sudah ada. Bahkan para pakar juga mengatakan dia (OTG) bernapas sudah mengeluarkan (droplet)," ujar Daeng.
Daeng menambahkan, pemeriksaan bagi OTG harus dilakukan secara berkala meskipun mendapat hasil tes negatif.
"Kalau dia OTG itu sudah berpotensi menular, kalau nilainya (hasil tes swab) negatif, jangan langsung dilepas. PCR pertama negatif, kedua harus diperiksa lagi. Karena OTG ini berat, ke mana-mana membawa virus," ucapnya.
Ilustrasi virus corona di Bali. Foto: Nyoman Hendra Wibowo/Antara Foto
Kasus harian corona Indonesia melonjak dipicu ditemukannya sejumlah varian baru dan libur lebaran. Di sisi lain, Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan menerapkan PNS Work From Bali (WFB) untuk pemulihan perekonomian.
WFB ini dinilai berisiko terhadap tingkat penularan corona di Pulau Dewata. Terlebih, saat ini kasus harian corona di Bali cukup landai. Pada awal Juni 2021 saja, di bawah angka 70 kasus.
ADVERTISEMENT
Ahli Virologi Prof. Dr. drh. I Gusti Ngurah Kade Mahardika mengatakan, setidaknya ada empat syarat utama yang harus dipenuhi agar pelaksanaan WFB berjalan aman.
Pertama, capaian vaksinasi di Bali telah mencapai 70 persen dari jumlah penduduk berisiko atau 18 tahun ke atas. Sebab, berdasarkan data Pemprov Bali, cakupan vaksinasi dosis kedua masih 20 persen atau 715 ribu orang dari target 3 juta penduduk.
Kedua, PNS yang ke Bali harus sudah divaksin. Ketiga, syarat administrasi perjalanan bebas COVID-19 wajib berbasis PCR. Terakhir, kasus corona harus terkendali.
"Work From Bali itu bisa diterapkan kalau 70 persen sudah divaksinasi dan mereka masuk ke Bali sudah divaksinasi dan PCR negatif. Ini yang belum," kata dia
ADVERTISEMENT