Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
ADVERTISEMENT
Segelas kopi panas disesap perlahan oleh Suratmin di ruang tamu rumahnya di kawasan Pejaten Timur, Jakarta Selatan. Sembari menghisap rokok kretek, bapak dua anak itu duduk santai menonton tayangan televisi.
ADVERTISEMENT
Malam itu, Kamis (25/4), seperti biasa Suratmin beristirahat untuk melepas lelah usai seharian bekerja. Namun belum habis satu batang rokok dihisap, Suratmin dikejutkan dengan sebuah berita di televisi yang mengabarkan status ketinggian air di Bendungan Katulampa, Bogor, berada di level Siaga 1. Tinggi Muka Air (TMA) sudah mencapai 220 centimeter.
Suratmin seketika berdiri, dia memberitahukan istri dan kedua anaknya untuk segera meninggalkan rumah. Barang-barang seperti surat berharga, pakaian secukupnya hingga alat-alat elektronik secepat mungkin di evakuasi ke rumah warga yang dianggap aman untuk penitipan sementara.
“Kita patokanya Katulampa. Kalau normal nggak banjir, kalau sudah Siaga 1 sudah lah kita pasti kena (banjir),” tutur Suratmin, Senin (6/4) kepada kumparan di rumahnya.
Bagi Suratmin, status Siaga 1 Katulampa adalah sebuah pertanda bahwa sembilan jam setelah itu, kawasan rumahnya yang berada di pinggir Sungai Ciliwung akan diterjang banjir. Bila sudah begitu, mengungsi adalah satu-satunya pilihan agar bisa selamat dari musibah musiman.
ADVERTISEMENT
“Kita mengungsi sementara di masjid atas yang nggak pernah terkena banjir,” ucapnya.
Betul saja, sembilan jam berlalu, air mulai masuk ke dalam rumahnya yang berjarak sekitar 30 meter dari pinggir Sungai Ciliwung. Ketinggian air saat itu mencapai 3 sampai 4 meter hingga menutupi atap rumahnya. Beruntung saat itu tak ada korban jiwa, seluruh barang-barang juga sudah diamankan sebelum banjir datang. Selang enam jam kemudian, air pun kembali surut.
Waktu surut inilah menurut Suratmin yang paling merepotkan. Sampah bawaan banjir berupa plastik hingga pakaian bekas bergelantungan di atas atap rumah mereka. Belum lagi lumpur hingga kayu-kayu besar yang masuk ke dalam rumah. Butuh tenaga ekstra untuk membersihkan itu semua.
ADVERTISEMENT
“Sampah itu lengket dia di atap dan di mana-mana, sampai genteng,” kata Suratmin.
Sejak tahun 1993 Suratmin sudah tinggal di bantaran Sungai Ciliwung. Banjir bukan lagi cerita baru baginya. Ia sudah terbiasa, seberapa pun besar banjir yang datang ia punya cara sendiri untuk bertahan. Hanya saja katanya, semakin ke sini, intensitas banjir semakin sering . “Kalau dulu itu sekali lima tahun, sekarang belakangan malah tiap tahun dan cuaca sekarang juga tidak tertebak” ujar Suratmin
Suratmin merasa pergantian beberapa kepala daerah di Jakarta tak juga memberikan dampak penanganan banjir yang lebih baik. Warga merasa kecewa terhadap pemerintah yang tak kunjung berhasil menanggulangi banjir. “Masalah banjir ini kan memang berat ya, jadi memang gimana ya sudah lumrah.” tambahnya.
Senasib dengan Suratmin, Lidia (39) warga Pejaten Timur, Jakarta Selatan menceritakan pengalamannya dikepung banjir. Bagi Lidia tahun 2007, 2015 hingga 2019 adalah bencana banjir besar yang tak akan pernah dilupa. Tahun 2015 ia bahkan harus rela mengungsi di area kuburan umum selama dua minggu. Saat itu rumahnya digenangi air sampai bagian atap. Tempat pengungsian seperti sekolah dan masjid sudah dipenuhi oleh ribuan warga yang rumahnya terendam air.
Meski tak ada nyawa dan barang berharga yang hilang karena sudah antisipasi sebelumnya, namun seringkali bagian rumah miliknya rusak diterjang banjir.
ADVERTISEMENT
“Ini tembok sebelah kirinya dulu rusak dibawa air, makanya sekarang ini belum diplester” ujar Lidia kepada kumparan di rumahnya.
Tak hanya bagian dinding, atap hingga lantai rumah milik Lidia juga rusak dan terdapat sisa-sisa sampah yang terbawa Banjir.
Tak banyak memang yang dilakukan warga sekitar untuk mengatasi banjir. Sebagian menyiasatinya dengan membuat rumah bertingkat. Namun bagi warga dengan kondisi ekonomi ke bawah, solusi ini amatlah berat.
Meski warga sudah terbiasa, tetap saja banjir yang datang akan membawa wabah penyakit. Lokasi pengungsian yang tidak sehat membuat anak-anak gampang diserang penyakit seperti diare dan gatal-gatal. Stok bantuan makanan dan obat-obatan sering sekali menjadi bumerang saat banjir datang. Bantuan tak terdistribusikan merata membuat sesama pengungsi saling iri.
ADVERTISEMENT
Daerah Rawajati, Kalibata, Jakarta Selatan salah satunya. Saat banjir musiman tiba, mereka mengungsi di tepi bahu jalan sambil berharap adanya bantuan makanan.
“Kalau nasi bungkus memang ada, tapi kadang ada yang enggak dapat, ada yang dapat karena mencar kita mengungsinya. Misalnya bantuan ada di sini nge-drop di sini , di sana bisa nggak dapat gitu kan,” ujar Lani warga RT 05 RW 05, Rajawati.
Saat banjir tahun 2015 lalu, Lani masih ingat betul betapa susahnya ia dievakuasi, padahal saat itu dia sedang hamil tua mengandung anak pertamanya. Kondisi gang yang hanya berukuran kurang lebih 1 meter membuat warga kesulitan melakukan evakuasi.
Empat jam sebelum perkiraan air tiba di Rawajati, Lani akhirnya bisa dievakuasi. Ia tertatih-tatih digotong oleh warga sekitar. Meski mengaku tak merasa takut namun kondisi tersebut begitu melelahkan baginya.
ADVERTISEMENT
Meski sering menjadi langganan banjir, Lani menyebut beberapa warga memilih bertahan di rumah masing-masing meski ketinggian air sudah mencapai 3 sampai 4 meter. Warga di sana memiliki trik tersendiri untuk menghadapi banjir. Hampir di setiap rumah warga, tidak ada kursi sofa dan tempat tidur berkaki. Hanya tersedia alas tidur gulung dan juga televisi yang ada di ruang tamu. Begitu ada informasi banjir akan tiba, barang elektronik seperti kulkas, televisi, mesin cuci di evakuasi ke masjid terdekat.
“Soalnya dulu pernah punya, banjir datang sudah rusak semua. Lemari aja lemari plastik gitu loh bukan dari kayu kayu biar bisa cepat diangkat,” ucapnya.
Setiap tahunnya, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta mempublikasikan daftar kelurahan rawan banjir. Daftar itu didasarkan pada data banjir lima tahun terakhir dan kondisi fisik wilayah masing-masing.
ADVERTISEMENT
Data terbaru yang diterbitkan BPBD DKI tahun 2019, bulan Januari hingga April, ada 76 dari 262 kelurahan di Jakarta terdampak banjir dengan ketinggian 10 sampai 250 centimeter. Jumlah pengungsi mencapai 1.539 jiwa, dan dua orang meninggal dunia.
Penyebab banjir berasal dari curah hujan yang sangat lebat di hulu, di Tangerang, Banten dan adanya banjir air laut atau rob.
Upaya mitigasi bencana banjir juga sudah dilakukan oleh Pemprov DKI yakni dengan melakukan normalisasi sungai dan waduk, pembuatan drainase vertikal hingga pembersihan sungai.
Selain itu ada juga pembuatan regulasi penanggulangan bencana, memberikan informasi peringatan dini kepada masyarakat di wilayah yang memiliki potensi banjir melalui media sosial dan SMS blast hingga melakukan pembinaan dan edukasi kepada masyarakat. Namun sayang, terkadang ada warga yang susah untuk dievakuasi.
ADVERTISEMENT
“Kendala yang paling dominan adalah warga yang enggan untuk segera dievakuasi atau menunggu air tinggi,” kata Kepala Pusat Data dan Informasi BPBD DKI Jakarta, M Ridwan.
Meski banjir terus menerjang, warga tak berhenti berharap agar pemerintah lebih serius memperhatikan nasib mereka. “Pengennya sih enggak banjir lagi, tapi kayaknya itu klise lah cuma janji-janji doang. Ya mungkin karena kerja mereka banyak karena nggak ngurusin kita aja dia mungkin,” ucap Lidia.
Simak ulasan lengkap jurus Anies mengatasi banjir di Jakarta dengan ikuti topik Anies Membendung Banjir