BNPT: Pelibatan Civil Society Moderat Ampuh Lawan Radikal Terorisme

20 November 2020 11:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigjen Pol. R. Ahmad Nurwakhid, SE, MM, dalam sarasehan ‘Meneguhkan Moderatisme Islam: Pencegahan Radikalisme Terorisme di Kalangan Dosen dan Mahasiswa Muhammadiyah’ di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Kamis (19/11). Foto: Dok. BNPT
zoom-in-whitePerbesar
Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigjen Pol. R. Ahmad Nurwakhid, SE, MM, dalam sarasehan ‘Meneguhkan Moderatisme Islam: Pencegahan Radikalisme Terorisme di Kalangan Dosen dan Mahasiswa Muhammadiyah’ di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Kamis (19/11). Foto: Dok. BNPT
Pelibatan civil society atau ormas Islam dalam meningkatkan moderatisme Islam sangat ampuh untuk mendukung penanggulangan terorisme di Indonesia. Karena itu, pelibatan civil society menjadi vital dalam membantu pemerintah melaksanakan program penanggulangan terorisme, terutama dalam fase pencegahan.
Pernyataan itu diungkapkan Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigjen Pol. R. Ahmad Nurwakhid, SE, MM, dalam sarasehan ‘Meneguhkan Moderatisme Islam: Pencegahan Radikalisme Terorisme di Kalangan Dosen dan Mahasiswa Muhammadiyah’ yang digelar Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) di Yogyakarta, Kamis (19/11).
“Saya sangat berterima kasih dan mengapresiasi kegiatan yang digelar bersama Muhammadiyah, meneguhkan moderatisme Islam,” ujar Ahmad Nurwakhid.
Dalam pernyataannya, ia yakin dengan penguatan moderatisme Islam oleh ormas-ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan ormas Islam moderat lainnya, akan menjadi kekuatan yang luar biasa dalam melawan radikal terorisme.
“Kalau NU dan Muhammadiyah kembali ke khittah akan membuat negara ini menjadi baldatun thoyyibatun warobbun ghofur (negeri yang tentram, subur, aman, nyaman dan damai),” imbuhnya.
Penanggulangan radikal terorisme tidak bisa hanya tanggung jawab institusi negara atau pemerintah, tetapi harus dilakukan segenap elemen bangsa. Sebab terorisme adalah musuh bersama dan extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa, sehingga penanggulangannya harus dilakukan secara bersama-sama berupa pelibatan segenap elemen masyarakat, civil society yaitu ormas moderat seperti NU, Muhammadiyah, dan lain-lain untuk membangkitkan silent majority.
“Artinya apa? Mayoritas bangsa Indonesia ini adalah moderat tetapi banyak diam makanya disebut silent majority, sementara kelompok radikal terorisme itu sedikit tetapi mereka berisik dan pola radikalisasi menggunakan media,” tegasnya.
Nurwakhid menjelaskan, semua elemen bangsa harus bersama-sama melakukan kontra radikalisasi, baik kontra narasi, kontra ideologi, maupun kontra propaganda, juga dengan menggunakan media. BNPT juga terus meningkatkan fungsi koordinasi dengan melibatkan Kementerian/Lembaga, dan dalam hal ini BNPT telah melakukan MoU dengan 38 K/L terkait.
“Tinggal kita optimalkan ke depan. Tentu saja kami berkomitmen untuk selalu melibatkan elemen masyarakat civil society moderat dalam menanggulangi radikal terorisme,” tandasnya.
Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigjen Pol. R. Ahmad Nurwakhid, SE, MM, dalam sarasehan ‘Meneguhkan Moderatisme Islam: Pencegahan Radikalisme Terorisme di Kalangan Dosen dan Mahasiswa Muhammadiyah’ yang digelar Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) di Yogyakarta, Kamis (19/11). Foto: Dok. BNPT
Selain ormas Islam, Nurwakhid menilai, mahasiswa, akademisi, dosen, guru juga sangat signifikan dalam memberikan moderasi umat. Pasalnya, radikal terorisme yang mengatasnamakan agama bukan monopoli agama tertentu, tetapi ada di seluruh agama, sekte, kelompok.
Ketika bicara masalah radikal terorisme di Myanmar, korbannya justru umat Islam, yang diakibatkan provokasi dan adu domba oknum biksu Buddha. Kemudian lanjutnya, ketika berbicara India dan Sri Lanka, di sana ada Macan Tamil, tentu bukan beragama islam, tentu oknum beragama Hindu. Di Selandia Baru juga terjadi pembunuhan umat Islam yang dilakukan oleh oknum di luar agama Islam.
“Radikal terorisme mengatasnamakan agama, biasanya dimonopoli oleh agama yang menjadi mayoritas di suatu wilayah. Jadi kalau di Indonesia mayoritas Islam, otomatis tersangka, terpidana, terdakwa terorisme di Indonesia, beragama islam. Tapi sekali lagi tidak ada kaitannya antara terorisme dan agama,” tegasnya.
Menurutnya, terorisme mengatasnamakan agama, terutama Islam adalah fitnah bagi Islam. Karena umat Islam yang dirugikan dan justru memecah belah umat karena bertentangan dengan prinsip rahmatan lil alamin sekaligus memunculkan islamofobia (ketakutan kepada Islam).
Ia menjelaskan, radikal terorisme mengatasnamakan agama adalah musuh agama dan musuh negara. Musuh agama karena bertentangan dengan nilai-nilai agama dan musuh negara karena bertentangan dengan institusi hukum maupun konsensus nasional.
“Radikal terorisme mengatasnamakan agama di sini adalah gerakan politik mengatasnamakan agama untuk mengambil alih kekuasaan dan mengganti sistem serta ideologi negara. Mereka bertentangan dengan konsensus nasional dalam konstitusi, yaitu Pancasila, UUD 45, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI,” urai Direktur Pencegahan BNPT tersebut.
Terkait penanggulangannya, Ahmad Nurwakhid mengatakan, ada dua program penanggulangan terorisme yang dilakukan BNPT yaitu pencegahan dan penindakan. Sesuai Undang-Undang (UU) tentang Terorisme yaitu UU Nomor 5 Tahun 2018 yang dikuatkan dengan PP Nomor 77 Tahun 2019, di situ mengamanahkan pencegahan.
Pencegahannya sendiri dilakukan dengan menggunakan tiga strategi yaitu kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi (kontra narasi, kontra propaganda, dan kontra ideologi), dan deradikalisasi
“Itu bicara pencegahan, tetapi penanggulangan radikal terorisme tidak bisa hanya di hulu saja tapi juga harus sampai hilir. Hilirnya ada penegakan hukum, yang paling berkompeten adalah Polri dalam hal ini Densus 88 Anti Teror. Sehingga sekali lagi penanggulangan radikalisme terorisme harus dilakukan secara holistik, dari hulu pencegahan (kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi) dan hilirnya yaitu penegakan hukum atau law enforcement,” pungkasnya.