Kolor Ijo-Crime Story-kumplus

Buaser, si Kolor Ijo dari Probolinggo (1)

12 November 2021 14:25 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sekilas, tak ada yang aneh dari sosok Buaser Nur Hatip. Pria paruh baya asal Probolinggo itu punya beberapa lini bisnis. Ia tak hanya mengelola selepan (penggilingan) padi dan jagung, tapi juga memproduksi pupuk kandang. Sejak 2004, usahanya malah bertambah satu lagi: videografi.
Menurut anak Buaser, usaha videografi ini cukup besar. Ada sekitar 15 orang karyawan yang mereka miliki. Buaser pun hampir setiap malam keluar rumah untuk mengurus rekaman hajatan orang.
Warga Desa Pohsangit Lor, tempat tinggal Buaser, tak pernah menaruh curiga. Apalagi Buaser tak pernah menunjukkan gelagat aneh. Di mata para tetangga, ia terhitung orang yang ramah dan ringan tangan.
Namun siapa sangka, Buaser diam-diam punya rahasia kelam.
Ilustrasi: Pixabay
Sabtu, 18 Januari 2014. Waktu baru menunjukkan pukul 1 dini hari. Buaser membuka pintu rumah dan mengeluarkan sepedanya. Sebelum berangkat, ia tak lupa membawa beberapa peralatan: celurit, obeng, senter, dan sebo (masker/kupluk ninja dari bahan rajutan).
Setelah menutup pintu rumah, Buaser segera mengayuh sepeda menuju Kelurahan Ketapang, Kecamatan Kademangan. Ada satu rumah yang sudah ia awasi sejak dua hari belakangan. Malam ini, Buaser sudah yakin dan siap betul untuk beraksi.
Saat sudah dekat dengan tujuan, bapak dua anak itu memarkirkan sepedanya di persawahan, lalu lanjut berjalan kaki. Setelah sampai, ia mencoba masuk dengan mencongkel jendela depan rumah. Dari celah itulah ia menggapai gagang pintu depan dari dalam dan membuka kuncinya. Begitu pintu terbuka, Buaser masuk dengan santai.
Ilustrasi: Shutterstock
Buaser berniat untuk mencuri saja. Ia masuk ke kamar paling depan dan mengambil dua buah ponsel, dan tiga ponsel dari ruangan lainnya. Niat Buaser mulai berubah saat ia masuk ke kamar tengah. Kamar tempat seorang gadis bernama Mia tengah tertidur lelap.
Pintu kamar itu tak terkunci. Begitu melihat Mia, nafsu birahinya muncul. Dari mencuri, tiba-tiba tujuannya berubah menjadi yang lain. Buaser mengeluarkan celuritnya. Ia menempelkannya ke leher Mia, dan membangunkan gadis itu.
“Ojok rame-rame. Lek awakmu mbengok, tak pateni.” — Jangan berisik. Kalau kamu teriak, kubunuh.
Buaser lalu memerintahkan Mia untuk bangun sambil membawa selimut garis-garis hitam-putih yang ia pakai.
Buaser yang kehausan sempat mengambil sebotol air kemasan di meja televisi di depan kamar Mia. Tangan kirinya menggenggam botol itu, sementara tangan kanannya tetap mengalungkan celurit ke leher Mia.
Ilustrasi: Abil Achmad Akbar/kumparan
“Dudukno aku, endi omahe wong seng sugih.” — Tunjukkan padaku, di mana rumah orang kaya di sini.
Mia menurut. Ia dan Buaser berjalan menuju sebuah rumah yang tak jauh dari sana. Awalnya Mia berniat membawa Buaser ke rumah “orang kaya” yang ia tahu. Namun di tengah jalan, Buaser justru menggiringnya ke tempat lain.
Keduanya berjalan melewati perumahan, menuju area persawahan. Di sebuah ladang jagung, mereka berhenti. Buaser meminta Mia jongkok dan menyerahkan selimut yang ia bawa. Selimut itu lalu disobek menjadi tiga bagian: dua untuk mengikat tangan dan kaki Mia, dan satu lagi dihamparkan begitu saja di tanah.
Setelah mengikat korbannya, Buaser meletakkan celurit yang ia bawa dan mulai melepas satu per satu pakaian Mia. Ia meminta Mia merebahkan diri di atas potongan selimut. Setelah menanggalkan semua pakaiannya, Buaser menjalankan aksi bejatnya.
Ilustrasi: Indra Fauzi/kumparan
“Wong pesisir butuh koen.” — Orang pesisir butuh kamu.
Mia masih ingat kata-kata yang dibisikkan Buaser di telinganya saat itu. Namun ia tak pernah tahu apa maksudnya.
Ia berusaha mempertahankan diri agar tidak diperkosa dengan cara menekuk kakinya. Namun usahanya itu gagal. Buaser lebih kuat.
Di sisi lain, Mia takut. Ia tak berani berteriak minta tolong karena ia sadar bisa dihabisi kapan saja. Satu-satunya yang ia pikirkan saat itu adalah bagaimana caranya agar bisa selamat.
Ilustrasi: Shutterstock
Aksi laknat itu berlangsung sekitar tiga menit. Sesudahnya, Buaser memotong ikatan di tangan Mia dengan celurit dan meminta gadis itu kembali memakai pakaian.
Ia juga menyuruh Mia segera pulang dan membawa barang bukti yang tersisa: sisa-sisa selimut dan celana dalam.
Sesuai perintah Buaser, Mia tertatih-tatih pulang ke rumah. Ada bercak darah di selimut dan celana dalam yang ia bawa. Tangan dan kakinya juga masih perih akibat bekas ikatan yang kuat.
Begitu sampai rumah, Mia langsung masuk dari pintu belakang yang sedikit terbuka.
Ibu Mia, Suyatmini, kebetulan bangun hendak salat subuh. Ia kaget melihat anaknya masuk. Terlebih, ada darah mengalir dari paha putrinya. Mia pun bercerita ada pencuri masuk ke rumah, dan ia baru diperkosa oleh pencuri itu di kebun jagung.
Suyatmini bergegas melapor ke Polres Probolinggo Kota. Polisi kemudian datang untuk memeriksa rumah Mia dan mengambil sampel sidik jari dari botol air kemasan yang sempat diminum si pencuri. Tak hanya itu, seorang ahli sketsa wajah juga didatangkan dari Surabaya.
Hasilnya, nama Buaser Nur Hatip, warga Desa Pohsangit Lor, muncul.
Yang lebih mengagetkan, Mia bukan satu-satunya korban. Buaser juga bertanggung jawab atas kasus pemerkosaan terhadap puluhan perempuan lain selama sepuluh tahun. Dialah si kolor ijo.
***
Reporter: Abdul Jalil
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten