Busyro: Negara Sedang Bergeser dari Demokrasi ke Korporatokrasi

1 Agustus 2017 19:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Busyro Muqoddas (Foto: Wandha Nur/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Busyro Muqoddas (Foto: Wandha Nur/kumparan)
ADVERTISEMENT
Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Busyro Muqoddas, memberikan pandangannya tentang konsep demokrasi saat ini. Menurutnya, konsep itu sedang bergeser ke format baru, yauti Korporatokrasi.
ADVERTISEMENT
"Sekarang pelan-pelan bergerak dari demokrasi ke negara yang menuju suatu format baru, walaupun formatnya tidak ada penegasan, tetapi arahnya ke korporatokrasi," kata Busyro dalam sambutannya di acara pembukaan Sekolah Antikorupsi oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) di Balai Kartini, Jakarta Selatan, Selasa (1/8).
Korporatokrasi adalah sebuah istilah yang merujuk kepada perusahaan-perusahaan besar yang mendominasi, bahkan 'mengendalikan' pemerintahan. Busyro menuturkan, hal itu dapat dilihat dari beberapa indikator.
"Indikator itu adalah proses tata kelola negara sampai sekarang ini lebih banyak dan semakin banyak ditentukan oleh peran-peran private sector, kelompok atau kekuatan bisnis," ujar Busyro.
Menurutnya, konsep itu akan salah jika 'berkuasanya' korporasi di pemerintahan bukan berdasarkan profesionalitas, melainkan karena faktor 'suap'.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi suap dalam kardus. (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi suap dalam kardus. (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
"Jadi, akan salah jika itu --jangankan punya landasan filosofi di dalam menjalankan bisnisnya, yang terjadi justru kekuatan bisnis besar itu memperoleh proses penguatan bisnisnya. Bukan karena profesionalisme tata kelola bisnisnya, tapi lebih banyak ditimbulkan oleh faktor suap," ujar Busyro yang tidak menyebutkan wilayah atau daerah korporatokrasi yang dimaksudkannya.
Namun, besarnya kekuatan bisnis tertentu, kata Busyro, semakin miris karena ditentukan dengan faktor 'pelicinan' di dalam penegakkan kepada kekuasaan atau daerah tertentu. "Sehingga menimbulkan kelompok bisnis yang tidak berkeberadaban, mengejar kepada sistem rente," kata dia.
Indikator selanjutnya, lanjut Busyro, yaitu kekuatan bisnis yang memerlukan mitra dari kekuatan politik. Busyro mengatakan, biasanya mereka--para penguasa korporat itu--akan melalui proses pendekatan kekuasaan ke negara, ke politik, dari pusat bahkan ke daerah.
ADVERTISEMENT
"Dengan demikian, maka negara lebih banyak diatur oleh kekuatan bisnis yang mengalami krisis etika bisnis dan keadaban bisnis yang memunculkan oligarki bisnis, lalu terjadilah 'perselingkuhan'," ujarnya.
Perselingkuhan yang dimaksud, adalah terjadinya simbiosis antara kekuatan bisnis 'hitam' dan 'putih' dengan kekuatan politik transaksional. "Dan perselingkuhan itu berubah menjadi oligarki bisnis dengan politik," tutur Busyro.
"Ketika mereka semakin dominan masuk pada proses politik dan bisa menduduki atau meraih posisi jabatan politik di kementerian dan lembaga pusat maupun daerah, maka otomatis birokrasi negara itu ditentukan oleh oligarki ini," sambungnya.
Busyro berpendapat, jika korporatokrasi itu tidak dikontrol, Undang-undang Dasar 1945 sebagai landasan negara tentunya akan terancam. "Kalau ini enggak dikontrol, jangankan bicara atau ngomongin korupsi, yang terjadi nanti negara ini formatnya tetap berbasis pada rule of law UUD 1945 pasal 1 ayat 3, tapi praktiknya adalah negara yang bukan berbasis rule of law, melainkan berbasis para peran-peran oligarki," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi demokrasi (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi demokrasi (Foto: Pixabay)
Belum lagi, ketika 'perselingkuhan' itu terjadi secara permanen. Busyro mengungkapkan, tata kelola negara terancam akan mengalami problem intransparansi dalam melakukan tindakan pengambilan keputusan. "Itu termasuk ketidakjujuran yang dilegalkan," kata Busyro.
"Demokrasi kalau tertutup, korupsi pasti berkembang subur. Ibaratnya adalah kolam yang airnya kumuh, di dalam air kumuh itu maka ikan lele akan berkembang dengan cepat, yaitu koruptor itu sendiri," kata dia.
Busyro menuturkan, meluruskan demokrasi dapat semudah melihat pembukaan UUD 1945. Di situ, kata Busyro, jelas tercantum bagaimana mengatur sistem tata kelola negara berdasarkan konsep konstitusionalisme.
"Di situ sudah ada 5 sila, berkali-kali saya baca, di sana ada 4 paragraf dan ada nilai dasar, minimal tiga, yaitu liberasi, humanisasi dan transendensi," ujarnya.
ADVERTISEMENT
"Tiga nilai dasar ini apakah banyaknya sudah menjadi nilai dasar yang kemudian diproseskan dalam proses semua aspek. Kalau sudah, Seberapa jauh persentasenya dibanding kesengajaan atau pembiaran, bahwa nilai-nilai itu sengaja dibiarkan saja sehingga yang terjadi adalah produk daerah yang menimbulkan masalah," kata dia.
Busyro Muqoddas, mantan wakil KPK. (Foto: Marcia Audita/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Busyro Muqoddas, mantan wakil KPK. (Foto: Marcia Audita/kumparan)
Busyro pun memberikan beberapa contoh. Misalnya, tentang pengelolaan tambang yang tidak melaporkan ke pemerintah, atau mafia hutan dari perusahaan swasta tertentu. "Izin tata kelola yang transaksional. Lalu pengusaha yang punya ratusan hektar di Indonesia sementara sawah sudah bergeser ke tanah industri," ujarnya menjabarkan beberapa contoh.
"Pertanyaannya, adakah Perda yang mengubah lahan hijau itu berdasarkan demokratisasi atau tidak? Kawasan hijau di Bandung misalnya, didirkan gedung dan lain-lain yang menyebabkan banjir. Apakah Perda itu melibatkan masyarakat sipil? Kalau dilibatkan sungguh-sungguh, itu proses demokratisasi berarti tidak berjalan fair," tutupnya.
ADVERTISEMENT