news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Catatan ICW soal Setahun KPK di Bawah Firli Bahuri dkk dan UU Baru

23 Desember 2020 18:41 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto: Helmi Afandi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto: Helmi Afandi/kumparan
ADVERTISEMENT
Sudah setahun KPK berada di bawah kepemimpinan Komjen Firli Bahuri dkk yang dilantik pada 20 Desember 2019. Telah setahun pula KPK bekerja di bawah UU baru yang disahkan tak lama sebelum pimpinan jilid V itu dilantik.
ADVERTISEMENT
Setahun kepemimpinan Firli Bahuri dkk di KPK menyisakan sejumlah catatan bagi Indonesia Corruption Watch (ICW). Dalam pemantauan ICW selama 1 tahun terakhir, dinilai ada penguatan semu yang terjadi di KPK.
Hal itu tidak terlepas dari pemilihan Pimpinan KPK Jilid V hingga hadirnya revisi UU KPK Nomor 19 Tahun 2019.
"Kami tiba pada kesimpulan bahwa seluruh rentetan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR menguatkan tapi hanya sekadar semu saja," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam diskusi secara daring di Facebook ICW, Rabu (23/12).
Kurnia Ramadhan, peneliti ICW. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Adapun catatan ini dari hasil kajian bersama dengan Transparency International Indonesia (TII). Pertanyaan besar yang ingin dijawab di kajian tersebut, kata Kurnia ialah bagaimana kinerja KPK dalam satu tahun terakhir di bawah UU hasil revisi.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut dijawab menggunakan sejumlah analisa. Berikut penjabarannya:

Arah Pemberantasan Korupsi

Kurnia mengatakan, arah politik hukum pemberantasan korupsi kerap kali bersinggungan dengan kepentingan pemerintah maupun DPR saat mengikuti kontestasi elektoral. Ia menyinggung bagaimana Jokowi 'jualan' pemberantasan korupsi pada Pilpres 2014 dan 2019.
"Kalau mundur ke belakang pada tahun 2014, yang dikeluarkan dalam nawacita khususnya pada poin 4. Tahun 2019, hal itu pun diulang kembali. Akan tetapi faktanya Presiden seperti yang sering kami sampaikan Presiden merupakan salah satu dari dua atau utama yang melemahkan KPK," kata Kurnia.
Presiden Joko Widodo memberikan sambutan dalam Dies Natalis ke-71 UGM. Foto: Dok. BPMI Setpres
Kurnia menilai, apa yang disampaikan oleh pemerintah bertolak belakang dengan apa yang dilakukan. Salah satunya dengan menerbitkan revisi UU KPK. Revisi ini dinilai melemahkan KPK.
ADVERTISEMENT
Kurnia menilai obat dari permasalahan tersebut adalah dengan presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang alias Perppu. Namun, hal itu tak kunjung terjadi.
"Akan tetapi itu tidak tidak dijadikan alternatif solusi bagi presiden. Sehingga memang desain pemberantasan korupsi hari ini ya memang desain yang didesain langsung presiden. Jadi kalau sekarang ya mungkin pemberantasan korupsi lemah ya itu yang mungkin diinginkan oleh Presiden Jokowi," ucapnya.
Selain itu, Kurnia juga menyinggung soal eksistensi DPR dalam revisi UU KPK. Menurutnya, DPR yang sebenarnya memiliki tugas untuk memperkuat pemberantasan korupsi dengan hasil legislasi yang baik, malah membantu melahirkan UU KPK.
Harusnya kata Kurnia, DPR melahirkan produk legislasi seperti UU Perampasan Aset yang jadi tunggakan sejak 2012; RUU Pembatasan Transaksi Tunai; hingga revisi UU Tindak Pidana Korupsi.
ADVERTISEMENT
"Harusnya regulasi ini yang disahkan tapi yang mereka kerjakan malah mempreteli melalui revisi Undang-Undang KPK. Dan hal itu mungkin tidak aneh lagi, sudah diprediksi sejak awal memang kalau berbicara legislatif jarang ada tindakan yang memperkuat KPK," ucapnya.
Ilustrasi KPK. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan

Dampak UU KPK

Kurnia mengatakan, ICW bersama TII mencoba memotret fakta yang terjadi usai UU ini disahkan. Hasilnya, mereka menilai hal tersebut telah merusak modal KPK sebagai lembaga independen.
"Soal garis besar implikasi revisi Undang-Undang KPK telah merusak modal utama lembaga pemberantasan korupsi yaitu tentang independensi," kata dia
Kurnia kemudian menyinggung bagaimana saat ini KPK ditempatkan di bawah rumpun eksekutif. Hal ini, kata dia, menjadi sangat rawan untuk dipolitisasi.
"Ini sudah mengikis independensi ketika komisioner diletakkan di bawah Presiden. Bukan tidak mungkin KPK di masa mendatang ketika Perpres tersebut disahkan akan berpotensi untuk dijadikan alat politik bagi setiap siapa saja yang menjadi penguasa. Entah saat ini, entah di masa yang akan datang," ucapnya.
Ilustrasi KPK. Foto: Helmi Afandi/kumparan
Selain itu, Kurnia juga menyinggung terkait konsep Dewan Pengawas dalam UU baru KPK.
ADVERTISEMENT
"Terlihat sekali Pak Jokowi tengah memainkan politik citra individu. Menunjuk 5 orang jadi Dewas hampir semuanya tidak punya punya catatan di masa lalu, orang yang berintegritas, dan punya rekam jejak yang cukup baik dalam isu isu penegakan hukum keberpihakan pemberantasan korupsi selama ini," ucap Kurnia.
Anggota Dewan Pengawas KPK saat acara serah terima jabatan dan pisah sambut Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (20/12). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
"Akan tetapi persoalannya (...) adalah ini teorinya yang sudah keliru. Ada dua permasalahan, yang pertama soal teorinya sudah aneh ketika pembentukan lembaga daripada membangun sistem," sambungnya.
Selain itu, Dewas juga dinilai memperlambat kinerja KPK pada proses penindakan. Kurnia mencontohkan, untuk izin melakukan tindakan pro justicia saja, penyidik KPK harus mendapatkan izin dari Dewas. Padahal penegak hukum lain bisa bekerja berdasarkan UU KUHAP.
"Mari ambil contoh pada isu penggeledahan, di implikasi UU KPK, isu penggeledahan itu, kalau mengacu KUHAP, penyidik di keadaan tertentu, mereka bisa melakukan upaya paksa penggeledahan dulu setelahnya dapat izin dari pengadilan negeri," ucapnya.
ADVERTISEMENT
"Tapi kalau UU KPK mau keadaan tertentu atau tidak keadaan tertentu harus tetap melalui izin Dewas," sambungnya.

Turunnya Angka Penindakan KPK

Setahun pimpinan KPK juga dinilai oleh Kurnia memiliki catatan juga pada sektor penindakan. Menurutnya, penyidikan, penuntutan, serta eksekusi putusan di era kepemimpinan Firli Bahuri menurun tajam.
Pimpinan KPK saat acara serah terima jabatan dan pisah sambut Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (20/12). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Kurnia membeberkan angka penyidikan di tahun 2020 hanya sebanyak 91 kali. Angka ini menurun dibandingkan tahun sebelumnya sebanyak 145 penyidikan.
Lalu untuk penuntutan di tahun 2020, hanya ada 75 kali. Sementara di tahun 2019, ada sebanyak 153 penuntutan. Kurnia menyoroti penurunan tajam di poin ini.
Ilustrasi tahanan KPK Foto: Humas KPK
Hal yang sama terjadi pada poin eksekusi putusan. Di tahun 2019, ada 136 eksekusi putusan yang dilakukan oleh KPK. Sementara di tahun 2020, hanya ada 108 eksekusi.
ADVERTISEMENT
Selain itu, jumlah operasi tangkap tangan (OTT) pun menurun di satu tahun Firli Bahuri cs dibandingkan 4 tahun terakhir. Pada 2016, KPK melakukan tangkap tangan sebanyak 17 kali; 2017 sebanyak 19 kali; 2018 sebanyak 30 kali; 2019 sebanyak 21 kali; sementara 2020 hanya 7 kali.

Pekerjaan Rumah Perkara Besar

Kurnia juga menyinggung mengenai pekerjaan rumah KPK terkait sejumlah perkara besar. Ada empat perkara yang setidaknya masih menjadi catatan untuk diselesaikan di era Firli Bahuri ini.
Pertama adalah perkara e-KTP dengan kerugian negara Rp 2,3 triliun. Dalam kasus tersebut, ia menyebut ada dugaan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh mantan Ketua DPR RI Setya Novanto tapi belum terungkap.
ADVERTISEMENT
Kedua, perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), kerugian negaranya Rp 4,58 triliun. KPK sebelumnya menjerat Syafruddin Arsyad Temenggung selaku Kepala BPPN dalam kasus ini. Namun, hakim melepaskan Syafruddin karena perbuatannya dinilai bukan pidana.
Ilustrasi Sjamsul Nursalim. Foto: Indra Fauzi/kumparan
Saat ini, KPK menjerat tersangka pemilik BDNI Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim, yang masih tahap penyidikan. Namun, keduanya berada di luar negeri dan sudah beberapa kali mangkir dari panggilan.
"Ini pun tindak lanjutnya kita tidak tahu seperti apa. Pasca-vonis lepas dari Syafruddin Arsyad Temenggung apakah perkara ini akan di-SP3 oleh KPK terhadap Sjamsul dan Itjih Nursalim? Itu kan menjadi tanda tanya besar, enak betul berarti Sjamsul dan Itjih Nursalim," kata Kurnia.
Ketiga, dugaan korupsi proyek Hambalang dengan kerugian negaranya Rp 463 miliar. Kurnia menyebut, diduga masih ada politisi-politisi lain yang menerima aliran dana ini tapi belum diproses oleh KPK. Keempat, kasus Bank Century yang dinilai masih harus jadi perhatian KPK ke depan.
ADVERTISEMENT

Harun Masiku dan Buronan yang Masih Gagal Ditangkap

ADVERTISEMENT
Kurnia juga menyoroti terkait dengan sejumlah buronan yang masih belum berhasil ditangkap. Total ada lima orang buronan KPK hingga saat ini. Mereka adalah Harun Masiku; Samin Tan; Idzil Azhar; Sjamsul Nursalim; dan Itjih Nursalim.
"Sampai hari ini tidak jelas bagaimana progres pencarian, progres kinerja dari penindakan tersebut dan problemnya lagi-lagi ada di pimpinan KPK," ucapnya.
Tersangka korupsi eks caleg PDIP Harun Masiku. Foto: Twitter/@efdesaja
Khusus untuk Harun Masiku, eks caleg PDIP itu sudah hampir 11 bulan buron. Ia gagal ditangkap sejak peristiwa OTT eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan pada Januari 2020 lalu.

Supervisi Kasus

Kurnia juga menyinggung terkait dengan supervisi kasus pemberantasan korupsi. Ia menilai ada sejumlah perkara besar yang seharusnya masuk dalam supervisi KPK seperti kasus Jiwasraya hingga ASABRI yang ditangani oleh Kejaksaan Agung.
ADVERTISEMENT
"Itu harusnya KPK bisa in charge di sana," kata Kurnia.
Sementara dalam konteks pengambilalihan perkara, Kurnia menyinggung soal konteks kasus Djoko Tjandra di Kejaksaan Agung dan Bareskrim yang dinilai seharusnya ditangani KPK.
"Dalam konteks Djoko Tjandra, poin kami bukan pada supervisi tapi KPK harus mengambil alih perkara tersebut karena perkaranya perkara yang besar, yang kedua melibatkan aparat penegak hukum," ucapnya.

Nihil Jerat Penegak Hukum

Dalam penelusuran ICW, Kurnia menyatakan bahwa sejak 2010 sampai dengan 2019, KPK selalu memproses penegak hukum yang melakukan rasuah. Mulai dari hakim, jaksa, polisi, hingga advokat. Namun hal itu tak terjadi di 2020.
"[Tahun] 2020, praktis tidak ada satu pun penegak hukum yang diproses oleh KPK. Tentu pertanyaannya menjadi bercabang, apakah memang penegak hukum kita hari ini sudah oke, sudah baik, tidak ada yang terlibat praktik korupsi atau memang KPK-nya yang tidak menyasar sektor penegak hukum," pungkasnya.
ADVERTISEMENT