Cegah Karhutla, KLHK Optimalkan Modifikasi Cuaca Hingga Awal Tahun 2021

26 Agustus 2020 16:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar Foto: Kementerian LHK
zoom-in-whitePerbesar
Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar Foto: Kementerian LHK
ADVERTISEMENT
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLKH) memastikan akan menerapkan teknologi modifikasi cuaca (TMC) hingga awal tahun 2021. Sebab, meski ada musim hujan, namun kemungkinan cuaca panas akan berlangsung hingga Januari-Februari 2021.
ADVERTISEMENT
"Kalau begitu, kita tidak bisa menyebut TMC hingga bulan Oktober 2020. TMC perlu kita teruskan sambil melihat kondisi sampai tidak perlu dilakukan," kata Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar saat memimpin rapat evaluasi pelaksanaan operasi TMC secara virtual, Selasa (25/8).
Ia meminta, teknologi yang mampu membaca tanda-tanda alam harus dioptimalkan. Selain itu, kata Siti, KLHK bersama BMKG, BPPT, BNPB, dan TNI AU, serta pakar iklim IPB akan terus mengikuti perkembangan teori dan teknologi pencegahan karhutla.
Ilustrasi karhutla. Foto: Costas Baltas/REUTERS
Sementara itu, Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) KLHK Ruandha Agung Sugardiman menjelaskan, operasi TMC telah berhasil menurunkan jumlah titik panas beberapa bulan ini.
"Pemantauan selama hampir satu bulan penuh ini, di Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan tidak muncul titik panas. Sementara di Kalimantan Barat, sempat muncul beberapa titik panas pada 13 Agustus 2020, yang segera diatasi dengan operasi TMC untuk mencegah potensi asap lintas batas," jelas Ruandha.
ADVERTISEMENT
Mendukung hal tersebut, Deputi Bidang Teknologi Sumber Daya Alam Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Yudi Anantasena mengatakan, agar efektivitasnya optimal, TMC perlu dilakukan dari sebelum memasuki musim kemarau.
Deputi Bidang Penanganan Darurat BNPB Dody Ruswandi Foto: Kementerian LHK
"Tingkat efektivitas TMC pada periode Juli-Agustus tidak sebesar pada bulan Mei dan sebelumnya, mungkin karena kondisinya sekarang sudah mulai kering. Menyemai awan sebelum musim kemarau datang itu lebih banyak menghasilkan curah hujan," ungkap Rudi.
Upaya pencegahan karhutla melalui operasi TMC juga dinilai lebih efisien dari sisi pengeluaran anggaran. Hal tersebut disampaikan Deputi Bidang Penanganan Darurat BNPB Dody Ruswandi.
"Kami sangat mendukung operasi TMC ini yang memang diharapkan bisa mengurangi intensitas operasi pemadaman udara, sehingga spending anggaran karhutla bisa lebih efektif," katanya.
KLHK Optimalkan TMC Hingga Awal Tahun Foto: Kementerian LHK
Sementara itu, Deputi Bidang Klimatologi BMKG Herizal menyampaikan, sampai Agustus 2020, sebanyak 85 persen daerah zona musim yang telah memasuki musim kemarau dan telah mengalami Hari Tanpa Hujan (HTH) berturut-turut. HTH di setiap tempat tersebut bervariasi antara 21-30 hari, 31-60 hari, dan di atas 60 hari.
ADVERTISEMENT
"Sebagian daerah yang telah masuk musim kemarau tahun 2020 telah mengalami HTH di atas 21 hari, sehingga perlu mewaspadai potensi kekeringan meteorologi," papar Herizal.
Berdasarkan panjang HTH dan potensi hujan rendah (kurang dari 20 mm/dasarian) sampai akhir pertengahan September 2020, sejumlah wilayah memerlukan perhatian peringatan dini kekeringan pada level Waspada, Siaga, dan Awas. Beberapa wilayah tersebut yaitu di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku, dan Papua.
"Berdasarkan prediksi curah hujan dasarian dan harian, serta potensi karhutla berdasarkan tingkat kemudahan terbakar lapisan di atas permukaan (FFMC), untuk tiga harian ke depan (25-27 Agustus 2020), dengan peluang yang tinggi di sebagian Jambi, Sumatera Selatan, sebagian Lampung, sebagian besar Jawa, Bali, Nusa Tenggara, bagian Selatan Sulawesi Selatan, dan Papua bagian Selatan," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Terkait hal tersebut, Pakar Iklim, Kelautan, dan Variabilitas Iklim IPB Rahmat Hidayat menyampaikan, ada sejumlah aspek lain yang perlu menjadi perhatian dalam pencegahan karhutla. Misalnya data historis dari tahun 2017 sampai 2019, variasi hotspot tertinggi terjadi pada bulan Agustus hingga September. Kondisi iklim yang terjadi di sekitar wilayah Indonesia, seperti suhu di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia juga berpengaruh.
"Dengan mengetahui kondisi-kondisi tersebut, kita bisa melakukan prediksi ke depan. Data seperti ini juga bisa menjadi bahan pertimbangan untuk menentukan langkah yang tepat dalam pencegahan karhutla," tutup Rahmat.
****
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona