Cerita Azyumardi Azra soal IPK dan Jokowi yang Tak Kunjung Terbitkan Perppu KPK

11 Februari 2021 15:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Jokowi Pimpin Ratas tentang Pendisiplinan Melawan Covid-19, Istana Kepresidenan Bogor. Foto: Youtube/@Sekretariat Presiden
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Jokowi Pimpin Ratas tentang Pendisiplinan Melawan Covid-19, Istana Kepresidenan Bogor. Foto: Youtube/@Sekretariat Presiden
ADVERTISEMENT
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2020 turun 3 poin dari 40 menjadi 37. Angka ini menempatkan Indonesia berada di posisi 102 dari 180 negara di dunia dari segi IPK.
ADVERTISEMENT
Guru Besar UIN Jakarta, Prof Azyumardi Azra, menilai adanya perubahan di KPK pada 2019 lalu turut berdampak pada turunnya IPK tersebut. Perubahan itu termasuk revisi UU KPK.
Ia pun mengingat bahwa pada saat muncul rencana revisi UU KPK, banyak pihak yang protes. Saat Pemerintah dan DPR terus melakukan proses revisi, masyarakat sipil dan sejumlah elemen lain menyuarakan penolakan.
Presiden Joko Widodo (tengah) memberikan pernyataan usai pertemuan dengan sejumlah tokoh dan budayawan di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (26/9/2019). Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Bahkan, ia mengingat momen dirinya bersama 70 orang tokoh lainnya menemui Presiden Jokowi di Istana Negara untuk menyampaikan revisi UU KPK melemahkan. Saat itu, mereka mendesak dibuatnya Perppu terkait UU tersebut.
"Enggak ada yang lain, melemahkan KPK dan membuat langkah mundur dalam pemberantasan korupsi, waktu itu kita minta supaya dikeluarkan Perppu," kata Azra dalam diskusi secara daring yang digelar Visi Integritas, Kamis (11/2).
ADVERTISEMENT
Menurut dia, Jokowi pada saat itu mengaku akan mempertimbangkannya. Namun, revisi UU KPK tetap terjadi. Perppu tidak pernah diterbitkan Jokowi.
"Presiden bilang, 'ya kita pertimbangkan'. Ternyata tidak, dia jalan sendiri. Walaupun kemudian seolah memberikan gesture tidak mau UU korupsi itu diubah, dia enggak mau tanda tangani," ucapnya.
Presiden Joko Widodo (tengah) berbincang dengan sejumlah tokoh dan budayawan usai pertemuan di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (26/9/2019). Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Dongrak Indeks Persepsi Korupsi

Terkait IPK, ia menilai ada setidaknya ada 5 hal yang perlu dilakukan oleh Pemerintah untuk mendongkrak skor IPK.
Pertama, Pemerintah dinilai perlu memperteguh political will di sektor pemberantasan korupsi. Sebab, sejauh ini, Azra menilai hal itu masihlah pada tatanan lip service, belum pada tahapan eksekusi.
"Kemauan politik ya, benar-benar kemauan politik yang sungguh-sungguh. Karena saya lihat sejauh ini kemauan politik itu basa-basi, lip service dan gimmick gitu ya," papar dia.
ADVERTISEMENT
Ia mencontohkan hal tersebut dengan pertemuannya dengan Presiden Jokowi. Saat di mana Jokowi mengaku akan mempertimbangkan Perppu atas UU KPK.
Atas dasar itu, ia menilai bahwa ketegasan dan komitmen Pemerintah terkait dengan sektor pemberantasan korupsi menjadi hal yang penting untuk mendongkrak IPK Indonesia.
"Ketegasan political will yang sungguh-sungguh, bukan sekadar lip service, bukan sekadar gimmick, tidak berlindung, tidak bersikap defensif," sambungnya.
Azyumardi Azra. Foto: Yudhistira Amran Saleh/kumparan
Kedua, Azra menilai perlunya reformasi politik. Sebab, bila sudah tak ada political will, rentan terjadinya konspirasi politik yang berujung pada persekongkolan. Dalam banyak hal, kata dia, ini melahirkan oligarki.
Hasil dari persekongkolan ini, kata dia, bisa berupa pembuatan Undang-Undang yang tidak memenuhi kepentingan hajat hidup orang banyak. Misalnya, pengesahan revisi UU KPK; UU Minerba; UU Cipta Kerja, yang dinilai tak melibatkan masyarakat sipil dalam pembahasannya.
ADVERTISEMENT
"Itu karena ada persekongkolan politik, jadi elite politik, baik yang ada di legislatif, di eksekutif kemudian juga di yudikatif, maupun yang tidak terlibat di dalam itu, tapi menjadi elite politik," kata dia.
"Menjadi mungkin elite politik partai dan lain sebagainya yang kemudian mengendalikan itu, baik eksekutif maupun legislatif, dikendalikan sama dia," sambungnya.
Ia kemudian menyinggung soal survei mengenai indeks demokrasi yang juga melorot. Salah satunya dipengaruhi oleh budaya demokrasi yang bermasalah, salah satunya oligarki.
Budaya politik macam ini yang disebut oleh Azra menimbulkan money politics. Hal ini dinilai merajalela saat pemilu, baik Pilkada hingga Pilpres. Ia menyebut banyak studi yang dilakukan terkait ini, di mana isunya adalah jabatan di daerah 'diperdagangkan'.
ADVERTISEMENT
"Sekarang kan dengan KPK yang sudah lemah tidak ada lagi penertiban atau penangkapan orang-orang memperjualbelikan jabatan itu. Jadi reformasi politik termasuk terutama di dalamnya," ucapnya.
"Saya kira akarnya reformasi kelembagaan politiknya, kelembagaan politik itu parpol, kemudian proses UU pemilu, UU pilkadanya, yang menurut saya menimbulkan situasi yang tidak sehat, tidak kondusif buat Pemberantasan Korupsi, malah bikin merajalela," sambungnya.
Warga memotret tulisan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tertutup kain hitam di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (9/9/2019). Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Ketiga, Azra menyebut pemulihan KPK bisa meningkatkan IPK Indonesia. Diikuti juga dengan pemulihan lembaga penegak hukum lain mulai dari kepolisian, kejaksaan, hingga lembaga peradilan.
Salah satu yang disinggung oleh Azra terkait lembaga peradilan adalah potret pengurangan hukuman koruptor melalui Peninjauan Kembali (PK). Hal ini, ia nilai juga turut berpengaruh pada jebloknya IPK.
ADVERTISEMENT
"Berapa banyak ya mereka yang PK itu kemudian didiskon hukumannya, mungkin dari 4 tahun menjadi 2 tahun, atau dari 8 tahun menjadi 4 tahun," ucapnya.
Selain itu, terkait perbaikan terhadap KPK, ini dinilai karena kondisi lembaga antirasuah sekarang lemah. Bukan hanya dari revisi UU KPK, tetapi proses pemilihan komisioner yang ia nilai tak kredibel. Belum lagi kehadiran Dewan Pengawas yang ia nilai membatasi gerak kinerja KPK.
"Jadi oleh karena itu ini harus dipulihkan kredibilitasnya termasuk kepolisian, yang juga ikut di dalam pemberantasan korupsi ya walaupun saya tidak tahu yang dilakukan sekarang ini di kepolisian," ucapnya.
Keempat, perbaikan IPK bisa dilakukan dengan memulihkan kembali regulasi UU terkait antikorupsi. Kembali lagi, ia menilai sangat perlu bagi Presiden Jokowi untuk keluarkan Perppu atas revisi UU KPK.
ADVERTISEMENT
"Jadi presiden harus mengeluarkan Perppu dan kemudian Perppu itu mungkin adalah Undang-Undang korupsi anti korupsi yang lama itu yang dijadikan Perppu untuk kemudian diadopsi lagi menjadi Undang-Undang," ucapnya.
"Kalau presiden serius ya di dalam pemberantasan korupsi maka kemudian ya regulasinya harus dipulihkan kembali kalau enggak begitu, enggak bisa," lanjutnya.
Terkahir, ia menilai dalam jangka panjang, bisa juga dilakukan pembangunan budaya antikorupsi di lingkungan Pemerintah. Semisal, diawali dari sektor birokrasi yang ruwet.
"Misalnya membangun budaya budaya anti korupsi itu dengan misalnya membuat transaksi ataupun hubungan-hubungan yang kemudian harus melibatkan uang itu itu tidak lagi melalui pembayaran secara cash, tapi melalui transaksi elektronik atau transaksi digital," ucapnya
"Ini sebetulnya sangat membantu karena pengalaman kalau dulu waktu lama zaman dulu ya gaji itu diberikan oleh bendahara biasanya ya pastilah sedikit banyak kita harus ngasih ya kan, walaupun walaupun kemudian ada juga yang ngomel-ngomel ya. Tapi sekarang sudah lama juga, mungkin enggak ada berapa gaji itu ditransfer, jadi enggak ada pemotongan pemotongan enggak ada," pungkasnya.
ADVERTISEMENT