SQR - Cover Story - Ilustrasi Corona

Cerita Dokter RSCM Perangi Corona: Cobaan Terberat Selama 30 Tahun Mengabdi

20 Maret 2020 16:33 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Virus corona. Ilustrator: Maulana Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Virus corona. Ilustrator: Maulana Saputra/kumparan
Sebuah broadcast tentang kekhawatiran seorang dokter soal wabah virus corona di Indonesia, menyeruak di grup-grup WhatsApp. Tulisan berjudul “Pengalaman terberat setelah 30 tahun sebagai dokter” itu menyebar sejak Kamis (19/3).
Cerita itu ditulis oleh Ari Fahrial Syam, dokter di RSCM Kencana dan RS Islam Jakarta Cempaka Putih. Ketika dihubungi kumparan, ia membenarkan tulisan yang viral di berbagai grup WhatsApp itu merupakan tulisannya.
“Ya betul, ini tulisan saya,” ujar Ari, Jumat (20/3).
Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam. Foto: Dok. Istimewa
Dalam ceritanya, Ari mengatakan bahwa penanganan kasus corona merupakan pengalaman terberatnya selama 30 tahun menjadi dokter.
“Pandemi global COVID-19 ini memang luar biasa, dan saya sebut hari-hari tersulit saya sebagai dokter,” tulis Ari di situ.
Pria yang juga Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu juga mengkhawatirkan keselamatan keluarganya.
“Kebetulan anak pertama dan kedua saya dokter, dan istri saya dokter gigi. Jadi mereka sama seperti saya, juga berisiko dengan pasien COVID-19 yang bisa saja datang tanpa gejala,” ujarnya.
Seorang dokter memeriksa suhu badan penumpang dalam sosialisasi pencegahan corona di Stasiun Depok, Jawa Barat. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Ari meminta masyarakat untuk mematuhi imbauan Presiden Jokowi soal social distancing, juga untuk belajar, bekerja dan beribadah dari rumah.
Ia juga meminta rekan dan juniornya di dunia medis untuk bertahan dan membantu masyarakat melawan virus corona.
Berikut cerita lengkap Dokter Ari Fahrial Syam:
Pengalaman terberat 30 tahun sebagai dokter
Saya sudah 30 tahun menjadi dokter. Berbagai pengalaman hidup telah saya lalui dalam perjalanan panjang sebagai dokter. Tetapi pengalaman saya menjadi dokter saat pandemi global COVID-19 merupakan pengalaman hidup terberat saya sebagai dokter.
Kita ketahui bahwa infeksi COVID-19 ini menular secara cepat dari satu orang ke orang lain. Saya bukan tidak mengantisipasi hal ini. Berbagai tulisan saya buat, berbagai acara simposium kami lakukan, dan berbagai edukasi kami kerjakan untuk bencana yang ada di depan mata. Berbagai rencana penelitian telah kami susun untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dan upaya-upaya apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi kondisi ini.
Tetapi memang kita harus menyadari sebagian dari kita mempunyai sense of crisis yang rendah di awal sehingga kita abai dalam mengantisipasi pandemi global ini.
Petugas medis. Ilustrator: Maulana Saputra/kumparan
Saat ini seluruh dunia menghadapi pandemi global. Semua akan mempunyai kebutuhan yang sama. Semua membutuhkan masker, semua membutuhkan alat pelindung diri, semua membutuhkan dokter dan perawat, semua sedang mencari obat dan vaksin.
Dalam kondisi saat ini ketika semua negara mempunyai permasalahan yang sama, maka kalau pun obat dan vaksin ditemukan pada satu negara, pemenuhan utama akan diprioritaskan untuk negara dan bangsanya sendiri.
Menjadi motivasi buat kita semua bahwa kemandirian bangsa bukan hanya jargon yang diucapkan, tapi harus dilakukan dan diwujudkan dikemudian hari.
Pandemi global COVID-19 ini memang luar biasa dan saya sebut hari-hari tersulit saya sebagai dokter. Kondisi di mana kita tidak bisa bergerak dengan leluasa, kita tidak berinteraksi langsung ,dan melakukan pertemuan atau rapat dalam satu ruang tertutup untuk koordinasi mengatasi masalah ini, karena kita harus menerapkan social distancing sesama kita, kondisi di mana kita sebagai petugas kesehatan dapat tertular langsung dari pasien yang sedang kita layani, baik di poliklinik maupun di rawat inap.
Terus terang ini juga sudah saya prediksi, bahwa model penyebaran kontak langsung seperti saat ini membuat petugas kesehatan bisa menjadi korban. Kebetulan anak pertama dan kedua saya dokter, dan istri saya dokter gigi. Jadi mereka, sama seperti saya, juga berisiko dengan pasien-pasien COVID-19 yang bisa saja datang tanpa gejala.
Sel apoptosis (hijau) terinfeksi SARS-CoV-2 (ungu)—virus penyebab COVID-19. Foto: NIAID Integrated Research Facility (IRF) via REUTERS
Mungkin saat ini virus COVID-19 belum menghinggap di tubuh kita, tetapi bisa saja beberapa waktu ke depan virus ini hinggap di tubuh kita dan menyerang paru-paru kita.
Hal yang membuat hati kecil saya lebih ciut adalah ketika mendengar ada perawat yang meninggal karena COVID-19, lalu mendengar ada dokter yang meninggal, juga ada dokter gigi yang meninggal karena COVID-19. Ini tentu sebagian besar tertular dari pasien-pasien mereka.
Belum lagi setiap waktu ada saja, saya mendengar bahwa rekan sejawat saya, dokter, positif COVID-19; dan ada teman yang melakukan isolasi mandiri karena pasien yang ditangani di awal pada akhirnya diketahui menderita COVID-19.
Sekali lagi, kondisi-kondisi ini memang membuat hati saya ciut. Apalagi di tengah keterbatasan masker, alat pelindung diri, dan hand sanitizer.
Di sisi lain, dalam kondisi keterbatasan sebagai praktisi klinis, saya tetap menerima pasien, saya tetap melakukan endoskopi, saya tetap merawat pasien, dan itu hal yang tidak mungkin tidak saya dan teman-teman sejawat saya lakukan.
Sebagai dokter senior, saya harus memberikan contoh kepada teman-teman dan junior atau peserta didik saya, bahwa saya tetap berada di tengah-tengah pasien dan memberi semangat kepada teman-teman sejawat dan junior saya untuk tetap berada di tengah-tengah pasien, dan tetap tidak meninggalkan gelanggang walau nyawa taruhannya.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini, saya mengingatkan kepada kita semua untuk berperang melawan COVID-19, virus yang menyebar antarmanusia, dan virus yang dapat menyebar melalui droplet; virus yang berdasarkan data pada tanggal 18 Maret 2020 menyebabkan kematian pada 1 dari 12 pasien yang positif (corona).
Saya berharap semua pihak mengikuti ajakan Bapak Presiden untuk belajar dari rumah, bekerja di rumah, dan beribadah di rumah.
Dengan cara mengurangi pergerakan manusia dan mencegah interaksi antarmanusia secara langsung, angka penyebaran virus ini bisa kita tekan.
Selain itu, semua pihak harus menyadari bahwa penanggulangan pandemi global ini harus dilakukan secara gotong royong oleh semua pihak. Peduli sesama, kesetiaan kawan, harus dimunculkan. Karena tinggal menunggu waktu (untuk) kita menjadi pasien berikutnya dari virus ini.
Berbagai sarana dan prasarana agar dokter bisa bekerja tenang harus diadakan. Pengadaan masker, alat pelindung diri, hand sanitizer, harus diadakan dan harus segera didistribusikan kepada rumah sakit-rumah sakit di mana para dokter bekerja. Tentu bukan saja rumah sakit rujukan, tetapi juga pemenuhan pada berbagai pelayanan kesehatan tempat para dokter, perawat, dan petugas kesehatan lainnya berhadapan dengan pasien-pasien yang setiap saat bisa menularkan virusnya kepada para petugas kesehatan.
Selain itu, memang berbagai peralatan diagnostik untuk COVID-19 harus segera dihadirkan agar diagnosis yang tepat dan cepat dapat ditegakkan. Kita harus memutus mata rantai penyakit ini. Pergerakan orang harus dicegah untuk menekan penyebaran virus ini. Social distancing harus konsisten dilaksanakan pada berbagai lini sendi-sendi aktivitas masyarakat.
Sebaran virus corona di Jakarta, 20 Maret 2020. Foto: Pemprov DKI Jakarta
Dampak ekonomi yang muncul akibat masyarakat tidak bergerak, harus dikalahkan oleh dampak kesehatan masyarakat yang akan melumpuhkan semua segi ketika kita menghadapi sumber daya petugas kesehatan yang sakit atau sumber daya yang sedang melakukan isolasi diri.
Alhamdulillah di era teknologi informatika yang tinggi ini, kita bisa dengan mudah berkomunikasi secara online, belajar secara online, dan bekerja secara online. Tatap muka tanpa bertemu. Kita tetap bisa produktif walau berada di rumah.
Kasih kesempatan agar dokter dan petugas kesehatan dapat bekerja dengan tenang. Tetap semangat, kita pasti bisa mengalahkan virus ini. Kita mesti kompak dan saling mengerti sesama.
Selamat berjuang dokter dan petugas kesehatan Indonesia.
Salam sehat,
Ari Fahrial Syam Akademisi dan Praktisi Klinik
***
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk membantu pencegahan penyebaran coronavirus COVID-19. Yuk, bantu donasi sekarang!
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten