Denny Indrayana Bicara soal Cawe-cawe Jokowi di Pemilu 2024 hingga Dirty Vote

13 Februari 2024 11:13 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Denny Indrayana dampingi perwakilan masyarakat Kalsel temui PBNU. Foto: Aprilandika Pratama/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Denny Indrayana dampingi perwakilan masyarakat Kalsel temui PBNU. Foto: Aprilandika Pratama/kumparan
ADVERTISEMENT
Ahli tata negara Prof Denny Indrayana turut mengomentari soal film Dirty Vote yang disutradarai Dhandy Laksono dan diperankan oleh tiga ahli hukum tata negara, Bivitri Susanti, Feri Amsari, dan Zainal Arifin Mochtar. Menurut Denny, film tersebut mengulas skema kecurangan pemilu 2024.
ADVERTISEMENT
Denny menilai, kehadiran film Dirty Vote terlalu penting untuk dilewatkan, dan layak disambut dengan apresiasi dan proteksi, walau agak terlambat. Karena ditelurkan pada 11 Februari 2024. Meski menurutnya, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Komentar Denny ini diawali soal cawe-cawe Presiden Jokowi. Menurutnya, apa yang dilakukan oleh sang kepala negara dan kepala pemerintahan ini kejahatan konstitusional.
"Ya! Cawe-cawe Presiden Jokowi itulah, yang merupakan kejahatan konstitusional yang merusak pondasi utama pelaksanaan Pilpres 2024, menyimpang jauh dari amanat jujur dan adil," kata Denny dalam keterangannya, dikutip Selasa (13/2).
Denny menilai, sebagai outgoing president, peran penting Jokowi seharusnya adalah memastikan penggantinya. Sebagaimana aturan UUD 1945: dipilih langsung oleh rakyat.
Dia menyebut, melakukan berbagai upaya terstruktur, sistematis dan masif (TSM)—bahkan brutal, yang diduga dan terbaca berupaya memenangkan Paslon 02, bukan hanya dilarang, tetapi juga membuat esensi kompetisi dalam Pilpres 2024 menjadi kehilangan makna.
ADVERTISEMENT
"Peran utama outgoing president dalam Pilpres 2024 adalah menjadi wasit yang memberi jalan dan peluang setara kepada semua kandidat presiden. Sesuatu yang dengan telanjang tidak dilakukan Presiden Jokowi," ucapnya.
"Terlalu jelas bagaimana Presiden Jokowi mempunyai preferensi kepada Paslon 02, dengan anaknya Gibran Jokowi, sekaligus resistensi kepada paslon yang lain, khususnya 01," sambungnya.
Presiden Joko Widodo (kanan) menyapa warga saat berjalan kaki di Lapangan Gasibu, Bandung, Jawa Barat, Minggu (4/2/2024). Foto: Hafidz Mubarak A/Antara Foto
Dalam pemaparannya, Denny menyinggung soal pernyataan Profesor Jimly Asshiddiqie, Ketua MKMK. Dalam salah satu podcast, Jimly mengatakan tidak ada bukti keterlibatan Presiden Jokowi dalam skandal Anwar Usman saat menjadi Ketua MK untuk meloloskan kandidasi Gibran Rakabuming.
"Sambil mengatakan semua informasi intervensi dan pemberitaan aliran dana adalah hoaks. Izinkan saya, sebagai murid Beliau, menyampaikan pandangan berbeda, tentu sebagai bentuk sayang dan penghormatan," kata dia.
ADVERTISEMENT
Denny menyebut, Jimly mungkin lupa bahwa putusan MKMK menyimpulkan: Anwar Usman “… terbukti dengan sengaja membuka ruang intervensi pihak luar dalam proses pengambilan Putusan Nomor 90”.
Dia menyebut, tidak dijelaskan siapa pihak luar dalam penjelasan itu. Dalam podcast lain, Jimly enggan mengatakan siapa pihak yang cawe-cawe tersebut. Yang pasti, ucapnya, dalam pertimbangan MKMK, salah satu bukti yang dijadikan landasan adalah investigasi jurnalistik media Tempo.
"Jadi, mengatakan semua pemberitaan hoaks, justru bertentangan dengan putusan MKMK itu sendiri," ucapnya.
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie berjalan meninggalkan ruangan usai memimpin jalannya sidang di Gedung II Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (31/10/2023). Foto: M Risyal Hidayat/Antara Foto
Sehingga menurut Denny, yang tepat adalah bukan tidak terbukti, tetapi tidak dapat dibuktikan, atau lebih tepat lagi, belum dapat dibuktikan, semata-mata karena keterbatasan waktu kerja dan wewenang dari MKMK.
ADVERTISEMENT
Sebagai lembaga etik, yang paham batasan kewenangannya, sehingga tidak mau membatalkan putusan 90, Denny yakin Profesor Jimly tentu juga mengerti, bahwa MKMK tidak dapat menyimpulkan soal ada atau tidaknya aliran dana, yang memerlukan penyelidikan pro justitia (pidana), yang tentu saja bukan kewenangan MKMK.
"Sehingga, menyatakan tidak ada keterlibatan Jokowi ataupun aliran dana, apalagi mengatakan pemberitaan hoax semua, bukan hanya pendapat yang bertentangan dengan putusan MKMK sendiri, tetapi juga kesimpulan yang prematur," ucapnya.
Dirty Vote
Menurut Denny, bahaya yang paling dirisaukan dari cawe-cawe Presiden Jokowi dalam Pilpres 2024 adalah potensi ditolaknya hasil Pilpres 2024. Saat ini, banyak pihak masih bersikap wait and see, menunggu hasil pencoblosan 14 Februari.
"Jika paslon 02 tidak menang satu putaran, suasana masih cenderung tenang, karena ada kanalisasi aspirasi, melalui putaran kedua Pilpres di Juni 2024," kata dia.
ADVERTISEMENT
Namun, dengan berbagai indikasi modus TSM dan brutal yang dirasakan dan dipersepsikan, lalu misalnya besok Paslon 02 dinyatakan menang satu putaran, Denny khawatir gelombang penolakan tidak mempunyai cukup kanal untuk dibendung dan disalurkan.
"Bapak Jusuf Kalla tentu saja tidak bisa dianggap remeh-temeh ketika berkomentar, kecurangan yang diungkap Dirty Vote hanya 25%, menyisakan 75% yang saya duga akan diungkap, jika diperlukan pada saatnya," ucapnya.
Better Late than Never
Film Dirty Vote. Foto: Dirty Vote
Denny menilai, semua pihak yang terlibat pembuatan film Dirty Vote layak mendapatkan apresiasi, karena memberikan karya yang mendidik publik, diulas dengan cara runtut dan akademik, dan pada momentum yang tepat.
Meski demikian, Denny hanya memberikan nilai sedikit di atas rata-rata film tersebut. Karena isu kecurangan—utamanya Pilpres 2024, sekarang sudah luas menjadi perbincangan publik.
ADVERTISEMENT
"Dengan intonasi dan diksi yang jauh lebih keras dan lebih pedas. Ambil saja contoh terkini, langkah koalisi LSM yang sedang melaporkan dugaan malaadministrasi pembelian pesawat bekas oleh Kementerian Pertahanan ke Ombudsman, yang hari ini diadukan resmi ke KPK. Potensi bahaya dan serangan balik fisik dan kriminalisasinya, justru lebih besar, karena coverage media dan atensi publiknya tidak sebesar Dirty Vote," ucapnya.
Denny menyebut, seandainya kesadaran dan penolakan itu bersama-sama disuarakan setahun yang lalu, mungkin saja dampaknya berbeda.
"Namun, tampaknya, beberapa kita baru siuman dari pingsan dan keimanan pada Jokowi yang terlalu meninabobokkan. Baru setelah ada Putusan 90 Paman Usman untuk Gibran, yang lebih membongkar topeng planga-plongo Jokowi, beberapa kita tersadar dan bereaksi: Jokowi adalah Bukanlah Kita," ucapnya.
ADVERTISEMENT
"Saat ini, saya berpandangan, dampak utama Dirty Vote adalah menegaskan penolakan pada Paslon 02, utamanya pada pemilih yang sedari awal memang tidak memilih Gibran Jokowi. Tetapi, untuk menjadi faktor yang mengubah preferensi pemilih—khususnya di kelas menengah ke bawah yang menjadi basis pemilih paslon gemoy, yang telah sukses disuap dengan penyimpangan anggaran bantuan sosial, sehingga berdampak elektoral, rasa-rasanya masih sulit untuk terjadi," lanjutnya.
"Tetap saja, kehadiran film Dirty Vote terlalu penting untuk dilewatkan, dan layak disambut dengan apresiasi dan proteksi, walau agak terlambat. Bukankah, lebih baik terlambat, daripada tidak sama sekali, better late than never!" pungkasnya.