Derita Pencari Suaka di Medan

23 Agustus 2019 19:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Para pengunjuk rasa saat menyampaikan tuntutan di kantor UNHCR di Medan. Foto: Rahmat Utomo/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Para pengunjuk rasa saat menyampaikan tuntutan di kantor UNHCR di Medan. Foto: Rahmat Utomo/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
"Seven years long time, kami manusia, tolong kami, tujuh tahun menunggu," begitu teriakan serempak sekelompok imigran dari berbagai negara di Gedung United Nations High Commisioner For Refugees (UNHCR) di Jalan Imam Bonjol, Kota Medan, Jumat (23/8).
ADVERTISEMENT
Sejak Kamis (22/8), mereka menggelar aksi di depan kantor UNHCR. Menuntut segera mendapat kepastian dipindahkan ke negara-negara seperti Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, dan Kanada.
Sayang, harapan tak kunjung datang. Dua hari berunjuk rasa, perwakilan UNHCR tak kunjung menemui mereka. Mereka harus kembali ke penampungan dengan rasa kecewa.
Para pengunjuk rasa saat menyampaikan tuntutan di kantor UNHCR di Medan. Foto: Rahmat Utomo/kumparan
Roda Daud Ali (40) wanita asal Somalia, begitu berharap bisa segera dipindahkan. Selama ini, hampir seluruh hidupnya, dilewati dengan penderitaan.
Roda memilih pindah dari Somalia karena negaranya itu mengalami perang saudara berkecamuk hingga puluhan tahun lamanya. Banyak yang terbunuh sia-sia di tempat itu. Dia tak tahan dengan penyiksaan di Somalia.
Roda bersama anaknya Ahmad, yang kala itu belum genap setahun, nekat meninggalkan Somalia pada 2013. Dia menumpang kapal nelayan untuk dapat berlayar ke negara penerima suaka kala itu.
ADVERTISEMENT
"Tujuannya waktu itu negara Australia, namun kapal kami terdampar di perairan Indonesia dan kami dibawa ke Medan dan tinggal di pusat detensi imigrasi," ujar Roda.
Hidup di Indonesia sebenarnya lebih aman dibanding Somalia. Namun, Roda ingin hidup manusia normal. Misalnya, memiliki pekerjaan dan bisa menyekolahkan anaknya ke pendidikan formal.
"Tinggal di sini kami tidak bisa berbuat apa-apa," ujar Roda.
Para pengunjuk rasa saat menyampaikan tuntutan di kantor UNHCR di Medan. Foto: Rahmat Utomo/kumparan
Selama ini, Roda mengaku hanya hidup dari bantuan organisasi dunia seperti IOM (Internasional Organization for Migration) dan UNHCR. Per bulannya, hanya memperoleh bantuan senilai Rp 1,5 juta. Bukannya tak bersyukur, namun Roda ingin hidup mandiri untuk masa depan Ahmad.
Roda ingin segera dipindahkan ke negara lain agar dia bisa hidup mandiri. Dia tidak ingin hidupnya selalu berharap bantuan orang ataupun lembaga internasional.
ADVERTISEMENT
“Paling penting bagi kami adalah masa depan. Masa depan anak kami yang lebih baik dan hidup yang layak,” kata dia.
Sejauh ini, kata Roda, Ahmad yang sudah berusia 6 tahun harusnya sudah bisa mengenyam pendidikan formal. Sayangnya, anaknya itu hanya bisa belajar otodidak karena aturan yang berlaku di Indonesia tidak mengizinkannya sekolah formal.
“Dia (hanya) belajar seadanya di rumah,” katanya.
Derita yang dialami Roda juga dirasakan oleh Suni (45). Pencari suaka asal Sri Lanka itu berada di Indonesia sejak tahun 2012. Dia tinggal di rumah detensi imigrasi Medan bersama istri dan tiga anaknya.
Suni meninggalkan Sri Lanka karena perang saudara di negaranya. Selama ini, dia dan keluarga hidup mengandalkan duit dari para donatur IOM. Dia berharap segera dipindahkan.
ADVERTISEMENT
"Negara manapun saya mau, asalkan tidak kembali ke Sri Lanka. Saya kerja apapun siap yang terpenting anak saya bisa mengenyam pendidikan," harap Suni.