Cover Lipsus Angin Segar MK untuk Pilpres 2029

Di Balik Gebrakan MK Hapus Ambang Batas Pencalonan Presiden

6 Januari 2025 19:21 WIB
·
waktu baca 14 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Putusan MK hapus ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden disambut dengan euforia dan disebut sebagai kado indah bagi demokrasi. Selanjutnya, rakyat harus mengawal supaya putusan itu tak seperti putusan ambang batas pilkada yang hampir dianulir DPR.
***
Awal tahun ini menjadi momen penuh syukur bagi Titi Anggraini. Ia lega bukan kepalang. Permohonan penghapusan ambang batas minimal 20% bagi parpol/koalisi parpol untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold), dikabulkan hakim Mahkamah Konstitusi (MK).
Sore itu, Kamis 2 Januari 2025, MK menyatakan aturan soal PT dalam Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu adalah inkonstitusional. Pengaturan ambang batas dinilai tak punya kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan UUD 1945.
“Putusan Mahkamah Konstitusi ini secara faktual memberikan tonggak sejarah dan arah baru bagi demokrasi Indonesia,” kata Titi sehari usai penetapan putusan itu, Jumat (3/1), kepada kumparan.
Titi yang merupakan aktivis Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan pakar hukum pemilu Universitas Indonesia bukan kali ini saja menggugat Pasal 222 tersebut. Gugatan serupa pernah diajukan Titi ke MK pada 2017 dan 2019.
Aturan tersebut dinilai menghambat demokrasi dan membatasi pilihan politik karena mempersempit peluang munculnya wajah-wajah baru sebagai calon pemimpin. Sebab dalam ketentuan itu yang bisa mengusung kandidat capres-cawapres hanya partai besar atau koalisi partai yang punya minimal 20% kursi di DPR.
Bertahun-tahun perjuangan Titi tak kunjung berhasil, hakim MK awal 2025 ini akhirnya mengabulkan gugatan tersebut lewat putusan putusan perkara No. 62/PUU-XXII/2024 MK.
Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo (kanan) didampingi Wakil Ketua MK Saldi Isra (kiri) bersiap memimpin sidang putusan uji materi undang-undang di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (2/1/2025). Foto: Fauzan/ANTARA FOTO
Perkara No. 62 itu pada dasarnya adalah nomor gugatan yang diajukan 4 mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yakni Rizki Maulana Syafei, Enika Maya Oktavia, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna. Putusannya digabungkan hakim dalam satu risalah karena objek gugatannya sama, yakni Pasal 222.
Titik dkk menjadi bagian dari empat pemohon mahasiswa itu. Gugatan mereka dikabulkan hakim MK dan Pasal 222 dinyatakan inkonstitusional. Artinya, tidak ada lagi ambang batas minimal bagi partai politik peserta pemilu untuk mengusung capres-cawapres.
Titi menyebut penghapusan presidential threshold sebagai kemenangan kolektif rakyat; buah perjuangan dari 30-an gugatan serupa yang sebelumnya ditolak hakim MK.
Presidential threshold memang pasal yang paling banyak digugat di MK. Sebelum gugatan dikabulkan, Pasal 222 itu setidaknya sudah digugat 30 kali, dengan rincian: 24 permohonan dinyatakan tidak dapat diterima, 6 ditolak, dan 2 permohonan dicabut.
Tiga puluh lebih gugatan tersebut datang dari berbagai kalangan, mulai politisi, LSM, akademisi, sampai individu, misalnya Habiburokhman (politisi Gerindra) yang juga pernah mengajukan permohonan serupa. Gugatan Habiburokhman agar ambang batas pencalonan presiden dihapus tercatat dalam berkas perkara No. 44/PUU-XV/2017.
Ketua Komisi III DPR Habiburokhman memasukkan kertas suara saat voting pemilihan dan penetapan calon pimpinan (Capim) KPK di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (21/11/2024). Foto: Dhemas Reviyanto/ANTARA FOTO
Selain Habiburokhman, Effendi Gazali, Rizal Ramli, dan Denny Indrayana juga pernah mengajukan gugatan serupa. Namun, sebelumnya, semua permohonan itu mental.
Baru kali ini, pada 2025, hakim MK berubah pendirian, tepatnya pada gugatan ke-33. Tak ayal, menurut Titi “Putusan 62 adalah puncak dari perjuangan kolektif banyak orang.”

Gen Z Pendobrak Sejarah Pemilu

Siapa sangka tonggak penentu itu ialah empat mahasiswa Fakultas Hukum dan Syariah UIN Sunan Kalijaga. Salah satu dari mereka, Enika, bercerita bahwa permohonan mereka ke MK berawal dari sebuah kajian dan bahan untuk kompetisi debat yang diadakan Bawaslu RI tahun 2023. Mereka masuk babak final dan mendapat tema presidential threshold.
Dari debat itu, mereka berpikir untuk mengajukan uji yudisial (judicial review) ke MK. Namun, waktu itu ada ganjalan soal kedudukan hukum, sebab mereka bukan anggota partai atau kelompok yang dirugikan dan berkaitan langsung dengan aturan ambang batas.
Asa mereka kembali hidup setelah MK mengabulkan perkara No. 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan Almas Tsaqibbirru (putusan menggemparkan yang mengantarkan anak Jokowi, Gibran Rakabuming, menjadi wakil presiden).
Gugatan Almas itu dijadikan patokan karena ternyata pemilih memiliki legal standing sebagai pihak terdampak untuk mengajukan gugatan atas UU Pemilu, persisnya dalam posisi sebagai pemilih yang dirugikan.
“Akhirnya kami mulai mengedraf, kemudian menulis terkait permohonan gugatan permohonan [No. 62] ini pada pertengahan Februari 2024,” kata Enika bersama ketiga rekannya di kampus UIN Sunan Kalijaga.
Argumentasi Enika dkk yang merujuk ke Putusan 90 disebutkan pula dalam permohonan. Mereka beranggapan, karena MK bisa mengabulkan pengubahan batas usia capres-cawapres dalam UU Pemilu, maka seharusnya MK juga tak lagi menggunakan argumentasi open legal policy atas Pasal 222 soal presidential threshold.
Argumen itu penting karena sebelum-sebelumnya, saat hakim menolak gugatan yang mempersoalkan Pasal 222, mereka kerap menggunakan dalil open legal policy. Dalil di mana pengubahan ambang batas pencalonan presiden hanya bisa dilakukan oleh pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dan DPR, sementara MK tak punya kewenangan.
Namun pada Putusan 90—yang juga mengubah pasal dalam UU Pemilu, MK memiliki pandangan berbeda dan mengubah batas usia capres dari hanya minimal 40 tahun menjadi 40 tahun atau sedang/pernah menjabat sebagai kepala daerah. Jadilah Gibran bisa mencalonkan diri sebagai wapres meski usianya belum 40 tahun.
Meski terpantik Putusan 90, empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga itu tak mengikuti Almas soal waktu pengajuan gugatan. Dalam permohonan perkara No. 62 tertulis, Enika dkk memilih melayangkan permohonan setelah Pilpres 2024 rampung, sebab mereka ingin meyakinkan hakim bahwa gugatan mereka tak bersifat politik praktis, melainkan murni demi perbaikan sistem demokrasi.
Empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta penggugat presidential threshold di MK (dari kiri ke kanan) Rizki Maulana Syafei, Tsalis Khoirul Fatna, Enika Maya Octavia, dan Faisal Nasirul Haq. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Enika menegaskan, gugatan No. 62/PUU-XXII/2024 merupakan permohonan personal ia dan ketiga rekannya, bukan representasi kelompok atau kampus asal mereka, meski tentu dampak putusan itu bakal dirasakan se-Indonesia.
Secara garis besar, materi pokok permohonan Enika dkk adalah meminta MK menganulir dan menghapus Pasal 222 UU No.17/2017 yang berbunyi: Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.
Pasal tersebut dianggap bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
Pasal 222 juga dianggap tak punya kepastian hukum jurdil sebagaimana diamanatkan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
Kursi DPR kosong saat Rapat Paripurna DPR RI. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Ambang batas 20%, menurut para pemohon, tak memenuhi asas “langsung” karena pilpres dan pileg kini dilakukan berbarengan, padahal threshold yang digunakan adalah perolehan suara lima tahun sebelumnya, pada pileg terdahulu.
Dengan demikian, tak ada jaminan bahwa PT 20% tersebut merepresentasikan pemilu selanjutnya. Tak ada jaminan bagi parpol yang memperoleh 20% kursi DPR pada 5 tahun sebelumnya untuk kembali berlaga pada 5 tahun berikutnya.
Untuk membuktikan bahwa Pasal 222 inkonstitusional karena bertentangan dengan UUD 1944, Enika dkk juga berupaya meyakinkan hakim agar berubah pendirian dari yang—pada 30 lebih putusan—sebelumnya menganggap Pasal 222 open legal policy.
Enika cs memandang hakim bisa mengubah atau memaknai ulang pasal terkait presidential threshold karena telah melewati batasan open legal policy, yaitu melanggar moralitas, melanggar rasionalitas, dan memuat ketidakadilan yang tak dapat ditoleransi.
Pelanggaran moralitas yang dimaksud Enika dkk adalah moralitas substansi yakni moralitas demokrasi dan moralitas normatif berupa kepastian hukum.
Bacapres-Bacawapres dari Koalisi Indonesia Maju Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka memberikan konferensi pers usai mendaftarkan pencalonannya sebagai calon presiden dan wakil presiden di Kantor KPU Pusat, Jakarta, Rabu (25/10/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Agregasi (koalisi besar) parpol akibat presidential threshold yang terjadi saat ini mengakibatkan lumpuhnya fungsi parpol sebagai penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara.
Presidential threshold dianggap membuat partai-partai kecil menjadi sulit mewujudkan aspirasi dalam pilpres meski memiliki/hendak mengusung kader/tokoh berkualitas.
“Rezim ambang batas” dinilai menyebabkan eksklusivitas pencalonan presiden, dan menempatkan pemilih sebagai penonton. Mereka hanya bisa memilih calon yang sebelumnya telah dikonsolidasikan lewat koalisi gemuk. Artinya, secara moralitas, pemilih kehilangan hak asasi untuk dipilih dan memilih.
Sementara dari sisi rasionalitas dan berkeadilan, presidential threshold dianggap mendiskriminasi partai-partai kecil. Para pemohon menyebut, ambang batas yang tinggi digunakan sebagai alat untuk mempertahankan hegemoni kekuasaan partai besar di parlemen.
Sistem itu memungkinkan partai-partai besar untuk membentuk koalisi kuat yang akhirnya melemahkan peran partai oposisi. Ujungnya, hal ini berpotensi membunuh demokrasi, sebab demokrasi yang sehat mutlak memerlukan keberadaan oposisi yang kuat dan seimbang.
Bakal calon presiden Prabowo Subianto (kelima kiri) dan bakal calon wakil presiden Gibran Rakabuming Raka (kelima kiri) bergandengan tangan dengan sejumlah ketua umum parpol Koalisi Indonesia Maju. Foto: Galih Pradipta/Antara Foto
Argumen dan dalil pembuktian Enika dkk juga didasarkan pada Pilpres 2019 dan 2024 yang diwarnai praktik polarisasi dan borong partai. Hal itu juga jadi alasan para pemohon meminta MK menghapus PT 20%.
Enika dan Titi dkk berpendapat, ambang batas 0% akan mendorong parpol mengajukan calon-calon terbaik. Bila tidak, calon mereka akan dikalahkan oleh calon-calon alternatif yang lebih genuine dan memiliki kapasitas.
Pada gilirannya, keberagaman capres akan memberikan pilihan lebih luas kepada masyarakat sehingga mencerminkan dinamika politik yang lebih representatif. Kontestasi politik pun akan lebih terbuka dan transparan. Sehingga partisipasi politik dan kualitas demokrasi meningkat.
Pada dasarnya, pokok permohonan Enika dengan 32 pemohon sebelumnya yang telah diputus (ditolak) MK sebenarnya mirip, tapi hakim tetap mempertimbangkan permohonan itu karena alasan dan bukti yang dikemukakan kali ini dinilai berbeda. Hakim pun melanjutkan pemeriksaan yang menghasilkan putusan berbeda pula, yakni mengabulkan seluruh permohonan Enika dkk.
Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo (tengah) didampingi anggota Wakil Ketua MK Saldi Isra (kiri) dan Hakim Konstitusi Arief Hidayat (kanan) saat sidang putusan uji materi undang-undang di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (2/1/2025). Foto: Fauzan/ANTARA FOTO

Alasan MK Ubah Pendirian soal Presidential Threshold

Usai melalui proses pemeriksaan dan persidangan panjang sejak permohonan uji materi diterima 23 Februari 2024, MK akhirnya mengambil keputusan. Hakim mengabulkan permohonan para pemohon dan menyatakan Pasal 222 UU No. 7/2017 tentang Pemilu inkonstitusional.
Pandangan MK bergeser dari putusan sebelumnya. Pergeseran itu tak hanya menyangkut angka persentase ambang batas, tetapi juga yang mendasar, yakni—kata hakim dalam pertimbangannya—rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden, berapa pun besaran persentasenya, bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
Hakim sepakat, Pasal 222 menutup potensi pilihan yang lebih beragam untuk rakyat. Yang lebih fundamental lagi dalam pertimbangan hakim adalah ambang batas dianggap tak sejalan dengan sistem presidensial yang dianut Indonesia, karena presidential threshold didasarkan perolehan suara DPR. Sementara sisi lain, DPR dan presiden dipilih secara terpisah.
“Menggunakan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berdasarkan perolehan suara atau kursi DPR sejatinya memaksakan logika sistem parlementer dalam praktik sistem presidensial Indonesia,” kata hakim dalam putusannya.
Bagian tim Pemohon perkara 62/PUU-XXII/2024, Titi Anggraini dan Hadar Nafis Gumay di MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025). Foto: Luthfi Humam/kumparan
Titi Anggraini menilai pergeseran pendirian MK tak lepas dari praktik Pilpres 2019 dan 2024. MK disebut baru tergugah untuk kemudian mengubah pendirian hukumnya setelah mencermati kondisi mutakhir pemberlakuan ambang batas Pemilu terakhir, khususnya 2024.
“Jadi kondisi mutakhir sebagai pertimbangan hukum MK dalam menilai open legal policy itu yang menjadi pembeda dari putusan-putusan terdahulu,” kata Titi.
Hakim MK 2003-2008 Maruarar Siahaan juga menganalisis hal serupa, bahwa pergeseran pendirian MK karena mencermati pemilu terakhir. Pemilu yang dibangun dengan sistem koalisi ‘borong partai’ yang perlahan membunuh demokrasi. Oposisi tidak berjalan. Alhasil, sistem pemerintahan menuju ke arah otoritarianisme.
Maruarar mengatakan, praktik politik terakhir menunjukkan sistem koalisi dibangun begitu kokoh.
“Maka terjadi kenyataan di DPR itu, misalnya atau di pemerintahan itu sepertinya mereka yang memegang kendali di dalam koalisi itu, sepertinya menjadi seperti suatu partai yang sangat dominan kan,” kata Maruarar kepada kumparan, Jumat (3/1).
Ketua MK Suhartoyo (tengah) didampingi Wakil Ketua MK Saldi Isra (kedua kiri), Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih (kiri), Arief Hidayat (kedua kanan) dan Guntur Hamzah (kanan) memimpin sidang putusan uji materi undang-undang di Gedung MK (2/1/2025). Foto: Fauzan/ANTARA FOTO
Dalam pertimbangannya, hakim memang menyebutkan bahwa mereka memperhatikan dan mencermati politik terakhir, bahkan spesifik menyebut bahwa arah pergerakan politik yang cenderung selalu mengupayakan dua pasangan calon.
Padahal, lanjut hakim dalam pertimbangannya, pengalaman sejak penyelenggaraan Pilpres langsung langsung menunjukkan, dengan hanya dua pasangan membuat masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi.
“Bahkan, jika pengaturan tersebut (presidential threshold) terus dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal,” ungkap hakim dalam pertimbangannya pada poin [3.25.4], dikutip dari salinan putusan resmi yang diunggah MK, Jumat (3/1).
Hal lain yang menarik dari pertimbangan hakim, yang dinilai membuat bergesernya pendirian MK, adalah ambang batas tersebut telah digugat hingga 33 kali.
Fakta tersebut menyadarkan hakim bahwa keberadaan ambang batas menjadi isu sentral dalam penyelenggaraan pilpres yang tak pernah berhenti dipersoalkan, baik oleh partai politik, pemilih, politisi, maupun kelompok masyarakat. Sehingga hakim berkeyakinan Pasal 222 itu telah melampaui batas open legal policy, menyalahi norma moralitas, rasionalitas, dan intolerable.
“Terlebih, terdapat pula fakta lain yang tidak kalah pentingnya, dalam beberapa pemilu presiden dan wakil presiden terdapat dominasi partai politik peserta pemilu tertentu dalam pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang berdampak pada terbatasnya hak konstitusional pemilih mendapatkan alternatif yang memadai pasangan calon presiden dan wakil presiden,” ungkap hakim.
“Saat ini merupakan waktu yang tepat bagi Mahkamah untuk bergeser dari pendirian sebelumnya,” tambahnya saat membacakan putusan.
Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: ardiwebs/Shutterstock
Di luar dari pertimbangan yang sudah dituangkan dalam salinan putusan, faktor lain yang mempengaruhi pendirian MK, kata pakar hukum tata negara Bivitri Susanti, adalah konfigurasi hakim. Latar belakang hakim secara tidak langsung mempengaruhi legal reasoning, yakni cara pikir dalam memutuskan sebuah perkara.
Bibib, panggilan Bivitri, menyinggung konfigurasi 9 hakim MK yang di antaranya bisa disebut hakim baru, yakni Arsul Sani dan Ridwan Mansyur. Bibib mengatakan, dua ini belum tentu bisa mempengaruhi tujuh hakim lain, tapi bagaimana latar belakangnya sebelum diangkat menjadi hakim MK.
“Jadi di putusan yang ini, menurut saya kenapa bisa berubah, itu pasti ada kaitannya dengan konfigurasi politiknya 9 hakim itu dan kaitannya dengan konfigurasi politik nasional,” kata Bibib.
Suara kesembilan hakim memang tak bulat mengabulkan permohonan No.62 tersebut, tujuh banding dua. Tujuh hakim menerima (Suhartoyo, Saldi Isra, M. Guntur Hamzah, Arsul Sani, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, dan Ridwan Mansyur), sedangkan dua hakim lain berpendapat berbeda alias dissenting opinion (Anwar Usman dan Daniel Yusmic P. Foekh). Dua yang terakhir menilai bahwa para pemohon, empat mahasiswa, tak punya kedudukan hukum menguji Pasal 222.
Dalam proses sidang perkara ini, hakim MK juga telah meminta keterangan sejumlah partai dan masing-masing memberikan pendapat, yang pada pokoknya: partai seperti Golkar, Gerindra, dan PKB, memohon agar hakim menolak pengujian Pasal 222 tersebut. Partai-partai besar ini tak menghendaki penghapusan presidential threshold.
Lalu partai kecil seperti Hanura, PKN, Perindo, Partai Buruh—yang juga memberikan keterangan dalam perkara 62 ini—mendukung upaya pengujian atau permohonan Enika dkk. Adapun PKS memilih posisi moderat, tak mendukung 20 persen threshold tapi juga tak ingin ambang batas dihapuskan. Ia mengambil posisi tengah.
Dari fakta persidangan tersebut jelas bahwa parpol mapan dan besar tak menginginkan penghapusan presidential threshold.
Foto multiple exposure Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia saat menyampaikan refleksi akhir tahun 2024 dan outlook 2025 Partai Golkar di DPP Partai Golkar, Jakarta, Selasa (31/12/2024). Foto: Dhemas Reviyanto/ANTARA FOTO

Kawal Putusan 62 Sampai 2029

Putusan 62 belum benar-benar aman. Secara ketetapan hukum, putusan MK berlaku untuk Pilpres 2029. Namun untuk menuju ke sana harus melalui sejumlah proses, salah satunya adalah revisi UU Pemilu hingga harmonisasi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) oleh pemerintah dan DPR.
Proses tersebut membuat publik paranoia. DPR pernah membuat publik marah dan turun ke jalan karena hendak menganulir putusan MK nomor 60/PUU-XXII/2024 mengenai threshold Pilkada dengan dalih revisi UU Pilkada.
Kejadian serupa juga bisa dilakukan terhadap putusan ambang batas presiden ini. Meskipun putusan MK bersifat final dan mengingat, tapi celah hukum, kata Bibib, bisa saja dicari-cari oleh mereka yang tak diuntungkan dengan putusan tersebut.
“Yang namanya celah-celah hukum, seperti kita sudah tahu, dari kita belajar the hard way, setelah setahun belakangan ini, pertimbangan hukum itu pasti bisa ada saja gitu, bahkan dikreasikan gitu, celah hukumnya,” kata Bibib.
Putusan 62 sebenarnya sangat menguntungkan semua parpol, bukan hanya rakyat yang akan banyak pilihan. Meski begitu, lanjut Bivitri, ada saja praktik politik culas yang bisa terjadi.
“Politikus culas itu akan berupaya untuk 'jangan sampai keuntungan yang selama ini dia sudah raih' itu hilang. Jadi mereka pasti akan berupaya sedemikian rupa. Apalagi mereka punya kewenangan,” kata Bibib.
Pakar Hukum Tata Negara Indonesia, Bivitri Susanti, yang terlibat dalam film dokumenter 'Dirty Vote'. Foto: Dok. Dokumentasi Dirty Vote untuk Pers
Titi juga menyampaikan, putusan 62 adalah keuntungan semua partai. Tidak ada yang dirugikan, terkecuali pihak yang ingin mengokohkan kekuasaannya dengan cara membajak konstitusi.
Titi mewanti-wanti, bahwa jangan sampai ada penyelewengan apalagi sampai pembangkangan terhadap putusan MK karena pasti harga yang harus dibayar akan sangat mahal sekali. Putusan ini dianggap sangat sensitif terhadap publik. Dan bila ada manuver atau upaya DPR dan pemerintah menganulir putusan MK, maka dampaknya adalah stabilitas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
RUU Pilkada cukup menjadi contoh. Melahirkan gerakan spontan dan cepat dengan tagline dan tone biru: ‘Indonesia Darurat Demokrasi’.
“Pembentuk undang-undang harusnya belajar, bahwa pemilih itu sangat sensitif ketika terjadi pembonsaian terhadap hak politik mereka, apalagi ini kan sesuatu yang disambut secara euforia oleh publik,” kata Titi Anggraini.
Tugas selanjutnya adalah mengawal putusan 62 hingga ke PKPU.
Kendati disebut selalu celah hukum untuk menghindari putusan MK, tapi menurut Bibib, hakim sangat antisipatif memasang barrier dalam pertimbangannya, yang dianggap dapat menjaga amar putusan.
Putusan tersebut memerintahkan pembentuk undang-undang melakukan rekayasa atau revisi UU Pemilu untuk membatasi calon presiden agar tak membludak. Tapi pembatasannya tak boleh menggunakan persentase jumlah kursi DPR.
Jadi, pada rekayasa UU Pemilu nanti, pemerintah dan DPR tetap boleh membuat pembatasan calon presiden dan wakil presiden, tapi bukan lewat threshold. Sebab hakim, dalam pertimbangannya, juga telah mengantisipasi bahwa calon terlalu banyak belum menjamin berdampak positif bagi perkembangan dan keberlangsungan proses dan praktik demokrasi presidensial Indonesia.
Dari itu, hakim memerintahkan pembentuk undang-undang melakukan rekayasa konstitusional melalui revisi UU 7/2017 dengan memperhatikan 5 rambu yang sudah ditetapkan MK, salah satunya: “Pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional”.
Cover Lipsus Angin Segar MK untuk Pilpres 2029. Foto: Adi Prabowo/kumparan
Catatan berikutnya yang dituangkan hakim dalam pertimbangannya adalah perintah ke DPR agar dalam merevisi UU Pemilu tetap melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan Pemilu. Termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).
Melihat pertimbangan hakim itu, Bivitri sedikit tenang. Karena perkataan hakim dalam sebuah pertandingan adalah sesuatu yang wajib dilaksanakan. Dan ia berharap, DPR dan pemerintah melaksanakan putusan 62 secara konsisten dan utuh.
“Pertimbangan hukumnya hakim itu juga judicial order, perintah dari Mahkamah Konstitusi, yang enggak boleh diabaikan,” kata Bibib.
Bibib mengajak publik mengawal putusan 62 sampai ke revisi UU Pemilu dan Pilkada di DPR.
“Kita rayakan kemenangan ini sebentar saja, setelah itu kita siap siaga untuk menjaga supaya ruang yang sudah dibuka ini enggak dibawa ke arah yang negatif,” pungkas Bibib.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten