Di MK, Titi Anggraini dan Zainal Mochtar Jelaskan Tolak Sistem Pemilu Tertutup

15 Mei 2023 20:17 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (keempat kiri) didampingi anggota Majelis Hakim MK memimpin sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (9/5/2023). Foto: ANTARA FOTO/Fauzan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (keempat kiri) didampingi anggota Majelis Hakim MK memimpin sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (9/5/2023). Foto: ANTARA FOTO/Fauzan
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi menggelar sidang lanjutan gugatan UU Pemilu terkait sistem pemilu proporsional terbuka dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022 di Gedung MK, Jakarta, pada Senin (15/5).
ADVERTISEMENT
Agenda sidang hari ini adalah mendengarkan keterangan ahli pihak terkait Derek Loupatty. Ada tiga ahli dihadirkan yakni Khairul Fahmi, Titi Anggraeni, dan Zaenal Arifin Mochtar.
Dalam paparannya, Titi Anggraeni menyinggung soal perubahan sistem Pemilu setelah 1999. Titi menyebut, pembentuk undang-undang memutuskan mengubah sistem pemilu proporsional daftar tertutup (closed list) untuk memilih anggota DPR dan DPRD sehingga pemilih bisa langsung mencoblos caleg pilihannya di surat suara.
"Surat suara bukan hanya akan memuat nomor urut dan tanda gambar partai, tapi juga memuat nomor urut dan nama caleg yang diusung partai," kata Titi.
"Namun, pada Pemilu 2004 melalui UU Nomor 12 Tahun 2003, hal itu masih dilakukan melalui penerapan sistem proporsional terbuka yang relatif tertutup (relatively closed open list system). Di mana caleg akan menduduki kursi yang diperoleh partai apabila mendapat suara sejumlah kuota harga satu kursi yang disebut bilangan pembagi pemilih (BPP)," tambah dia.
Suasana sidang putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pemilu Legislatif 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Selasa (6/8). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Titi yang hadir secara luring menyebut, pilihan proporsional terbuka secara gradual tersebut dibatalkan MK melalui Putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008. MK menyebut, setiap caleg mestinya dapat menjadi anggota legislatif pada semua tingkatan sesuai dengan perjuangan dan perolehan dukungan suara masing-masing.
ADVERTISEMENT
“Sehingga persyaratan 30% BPP yang harus dipenuhi caleg untuk mendapat kursi dan kalau tidak maka akan kembali berdasar nomor urut, dipandang MK sebagai sesuatu yang menusuk rasa keadilan dan melanggar kedaulatan rakyat dalam artinya yang substantif,” kata Titi.
Titi berharap, di masa depan sangat mungkin ada evaluasi atau pun modifikasi atas pilihan sistem pemilu. Jika MK mengunci pada satu pilihan sistem saja, hal itu akan berdampak pada kesulitan untuk melakukan penyesuaian dan perbaikan pada pemilu-pemilu yang akan datang.
Oleh karena itu, menurut Titi, bila menilik beberapa Putusan MK termutakhir, maka sudah sewajarnya MK menempatkan pengaturan soal sistem pemilu ini sebagai ranah pembentuk undang-undang untuk mengaturnya.
Akan tetapi, MK perlu memberikan rambu-rambu pada pembentuk undang-undang terkait asas dan prinsip dalam memilih sistem pemilu, sebagaimana yang dilakukan MK dalam Putusan No. 55/PUU-XVII/2019 menyangkut pilihan model keserentakan pemilu.
ADVERTISEMENT
"MK juga penting menegaskan dalam putusannya terkait konsistensi pilihan sistem pemilu terhadap berbagai variabel teknis yang menyertainya sehingga tidak menimbulkan ambiguitas dalam implementasinya. Misalnya saja, tidak relevannya penggunaan nomor urut dan opsi mencoblos partai pada sistem proporsional terbuka dengan popular vote (suara terbanyak murni)," jelas Titi.
Sementara Khairul Fahmi dalam persidangan menjelaskan beberapa hal mengenai sejarah singkat terbentuknya sistem proporsional terbuka. Pertama, awal mula dipilihnya sistem ini merupakan pilihan kebijakan hukum pembentuk undang-undang.
“Jatuhnya pilihan pada sistem proporsional terbuka tidak dapat dilepaskan dari pengalaman pahit penerapan sistem proporsional tertutup selama pemilu-pemilu Orde Baru," kata Fahmi.
"Sistem proporsional tertutup yang diterapkan kala itu dinilai telah menghasilkan wakil-wakil yang lebih merepresentasikan kepentingan elite parpol dibandingkan kepentingan rakyat yang diwakilinya. Pengalaman buruk tersebut membawa para pembentuk undang-undang pada tahun 2003 untuk menjatuhkan pilihan kebijakannya pada sistem proporsional terbuka,” terangnya.
ADVERTISEMENT
Kedua, sejak awal reformasi pembentuk undang-undang telah menyepakati sistem proporsional terbuka, bukan proporsional tertutup.
Perdebatan yang terjadi terkait pilihan sistem ini hanya pada varian yang hendak diterapkan, apakah dengan metode penetapan calon terpilih berdasarkan persentase angka BPP atau bukan.
Ketiga, MK lebih pada mengambil posisi untuk memperkuat dan mempertegas pilihan sistem proporsional terbuka tersebut dengan menghilangkan syarat perolehan BPP dalam penentuan calon terpilih.
Langkah tersebut diambil karena hal ini yang dinilai lebih sejalan dengan prinsip suara terbanyak sebagai salah satu prinsip prosedural demokrasi yang dianut dalam Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
Warga menggunakan hak politiknya ketika mengikuti Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilu 2019 di TPS 02, Pasar Baru, Jakarta, Sabtu (27/4). Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
Menurut Khairul, sistem proporsional terbuka telah dilegitimasi oleh MK melalui Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008. Hingga saat ini, sama sekali tidak terdapat alasan konstitusional yang kuat bagi MK untuk mengubah pendiriannya.
ADVERTISEMENT
Fahmi menjelaskan, jika MK hendak merubah pandangan dari apa yang sebelumnya telah dituangkan dalam putusan tersebut, menjadi tidak tepat jika MK mencoba membalikkan atau mengganti sistem proporsional terbuka dengan sistem proporsional tertutup.
Sebab, pilihan sistem proporsional terbuka tersebut pada awalnya merupakan pilihan kebijakan pembentuk undang-undang, di mana MK lebih pada posisi menggeser variannya ke pendulum (varian) yang dinilai lebih sesuai dengan prinsip suara terbanyak sebagai salah satu prinsip demokrasi. Artinya, MK bukan pada posisi mengganti satu sistem dengan sistem lainnya.
Wakil Ketua MK Saldi Isra bersama Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul membuka sidang perdana uji Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, di Ruang Sidang MK, Senin (3/4/2023). Foto: Dok. Mahkamah Konstitusi
Sedangkan Zainal Arifin Mochtar dalam persidangan secara daring mengatakan, pemilu dengan segala sistem dan fitur-fiturnya merupakan open legal policy para pembentuk undang-undang.
Artinya, pilihan bagi pembentuk UU untuk memilih sistem pemilihan yang lebih sesuai dan kompatibel dengan suatu negara dan tujuan yang ingin dicapai dalam sistem pemilihan.
ADVERTISEMENT
"Baik sistem proporsional terbuka suara terbanyak maupun proporsional tertutup, keduanya sangat mungkin digunakan oleh karena disesuaikan dengan keadaan dan tujuan yang ingin dicapai dari suatu aturan kepemiluan. Walau harus diakui secara praktik, sangat jarang tujuan itulah yang akan menjadi panduan utama, sebab banyak alasan dibalik pemilihan sistem pemilihan, tetapi biasanya lebih bernuansa politis," kata dia.