Di Rapat Perdana, Komisi III DPR Cecar KPK soal Kasus Layak Di-SP3

27 November 2019 13:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Susana saat rapat dengar pendapat komisi III DPR dengan KPK untuk membahas evaluasi kerja, Rabu (27/11). Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Susana saat rapat dengar pendapat komisi III DPR dengan KPK untuk membahas evaluasi kerja, Rabu (27/11). Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
Komisi III DPR periode 2019-2024 menggelar rapat perdana dengan KPK pimpinan Agus Rahardjo. Dalam rapat tersebut, Wakil Ketua Komisi III fraksi Gerindra, Desmond Mahesa, mencecar pimpinan KPK soal sejumlah kasus yang belum selesai dan layak diterbitkan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3).
ADVERTISEMENT
"Kami, Komisi III, ingin minta masukan sebenarnya, karena dalam UU KPK yang baru ada [aturan soal penerbitan] SP3. Dari sekian kasus yang lumpuh yang tidak terselesaikan, sekian tahun, dari awal sampai sekarang, ada enggak, catatan-catatan yang layak di beri SP3?" ujar Desmond di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (27/11).
Desmond awalnya menanyakan KPK soal kasus-kasus lama yang sudah diselesaikan KPK selama Agus Rahardjo menjabat. Sebab, jika tak diselesaikan, kasus itu akan semakin menumpuk dan menjadi beban untuk kepemimpinan KPK periode yang baru. Terlebih, aturan soal SP3 sudah tercantum dalam UU KPK yang baru.
Susana saat rapat dengar pendapat komisi III DPR dengan KPK untuk membahas evaluasi kerja, Rabu (27/11). Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
"Misalnya kekurangan alat bukti, dalam pembuktian atau dalam hal apa, orang yang sudah meninggal atau macam-macam kah, agar beban komisioner baru, termasuk kami yang tadi dikritik masukan yang tidak direspons dengan baik, ada catatan baru juga, agar semuanya berkaitan dengan persoalan SP3 itu juga paham," kata Desmond.
ADVERTISEMENT
Desmond menilai KPK perlu menjabarkan kriteria kasus yang nantinya bisa masuk dalam penerbitan SP3. Desmond menilai kriteria tersebut belum dirinci dalam UU KPK.
"Kriteria baru bagi kita maupun bagi pimpinan KPK yang baru. Ini 'kan belum jelas dalam UU KPK. Kriteria SP3-nya dalam KUHAP kita paham, jangan jadi kesannya ini ATM baru nanti, kalau di lembaga baru bisa jadi ATM baru ini SP3 ini," tutur Desmond.
Menjawab pertanyaan Desmond, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata langsung membeberkan dua kasus lama di KPK yang kini masih berjalan. Yakni kasus Pelindo dan suap Garuda Indonesia.
Dalam kasus Pelindo, eks Dirut Pelindo II, Richard Joost (RJ) Lino, diduga menyalahgunakan wewenangnya untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, dan atau korporasi dengan memerintahkan penunjukan langsung perusahaan asal Tiongkok, Wuxi Huangdong Heavy Machinery, sebagai pelaksana proyek pengadaan tiga unit QCC. Pengadaan 3 unit QCC di PT Pelindo ll tahun 2010 itu ditemukan adanya potensi kerugian negara mencapai 3.625.922 dolar AS.
ADVERTISEMENT
Alex mengaku pihaknya masih menghitung total kerugian negara yang diduga dilakukan RJ Lino. Alasan itulah yang menjadikan kasus ini belum kunjung rampung ke pengadilan.
"Menyangkut Pelindo, rasa-rasanya ini hampir ultah keempat sebelum kami diangkat. Kami sekarang tinggal tiga minggu [menjabat] juga belum naik juga. Kemarin kita sudah menanyakan kepada penyidik sebetulnya untuk perkara RJ Lino sebenernya alat buktinya yang belum cukup terutama terkait penghitungan kerugian negara," kata Alex.
Susana saat rapat dengar pendapat komisi III DPR dengan KPK untuk membahas evaluasi kerja, Rabu (27/11). Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
"Sekarang sedang dalam proses, kami kemarin menanyakan kira-kira kapan hasil audit kerugian negara itu selesai. Dijanjikan pertengahan tahun selesai oleh BPK. Nah, kalau itu sudah selesai, itu bisa kita limpahkan karena itu yang jadi kendala," sambungnya.
Adapun untuk Garuda, Alex menegaskan berkas kasus tersebut sudah siap diserahkan ke penuntutan. Alex memastikan tahun ini sidang perdana untuk kasus suap Garuda akan berlangsung.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus ini, KPK menetapkan eks Direktur PT Garuda Indonesia, Emirsyah Satar, dan Beneficial owner PT Connaught International Pte Ltd Soetikno Soedarjo sebagai tersangka sejak 2017. Keduanya diduga terlibat dalam kasus korupsi pengadaan pesawat dan mesin pesawat pada PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk.
Soetikno diduga menyuap mantan direktur teknik PT Garuda Indonesia, Hadinoto Soedigno, dan Emirsyah sebesar USD 2,3 juta dan EUR 477 ribu yang dikirim ke rekening Hadinoto di Singapura.
"Untuk Garuda, pertengahan Desember itu kemarin tahap 1 sudah diserahkan ke penuntutan. Jadi mungkin pertengahan Desember sudah bisa disidangkan untuk Garuda itu. Sedangkan untuk perkara lain tidak ada hambatan. Ini yang kadang-kadang terutama kalau perkara itu menyangkut yuridis yang berbeda, menyangkut negara. Kendalanya itu untuk perolehan alat bukti tadi," tuturnya.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo mengikuti rapat dengan Komisi III DPR RI di kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (27/11/2019). Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
"Itu membutuhkan waktu itu sebetulnya, kalau dikaitkan dengan SP3, kalau di UU memang dua tahun dapat dihentikan. Nanti tentu kita akan mengkaji apakah dalam dua tahun belum selesai, apakah itu terkait dengan ketidakcukupan alat bukti atau semata-mata prosesnya yang lama," sambung Alex.
ADVERTISEMENT
Alex mengatakan, jika ada harapan alat bukti tambahan, tentu kasus itu akan terus berjalan. Namun, jika tidak, Alex menyebut tak menutup kemungkinan pihaknya menerbitkan SP3.
"Kalau sudah mentok tentu nanti mekanismenya yang akan kami buat untuk menerbitkan SP3, itu mungkin dengan ekspos, mungkin dengan undang ahli dari luar supaya ada pandangan objektif bahwa perkara ini tidak cukup alat bukti. Itu terkait UU baru dalam penerbitan sp3. Itu nanti SOP-nya yang akan kita buat," kata Alex.
Namun, Alex memastikan SP3 akan langsung terbit jika ada tersangka yang meninggal dunia. "Untuk yang tersangka meninggal tentu nanti kami akan kami otomatis terbitkan SP3, atau tersangka yang tak layak disidangkan, stroke misalnya, itu jadi pertimbangan kami terbitkan SP3," tutur Alex.
ADVERTISEMENT
Sebagai catatan, aturan soal SP3 tercantum dalam Pasal 40 UU KPK Nomor 19 Tahun 2019. Dalam pasal itu, disebutkan, KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun.
Di ayat 2, disebutkan penghentian penyidikan dan penuntutan tersebut harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat satu minggu, terhitung sejak dikeluarkannya SP3. Selain itu, KPK juga harus mengumumkan kepada publik bahwa kasus itu sudah dihentikan.
Meski dihentikan, pasal tersebut mencatat bahwa SP3 dapat dicabut oleh pimpinan KPK apabila ditemukan bukti baru yang dapat membatalkan alasan penghentian penyidikan dan penuntutan, atau berdasarkan putusan praperadilan.
Poin di Pasal 70C juga disebutkan bahwa saat Undang-Undang ini berlaku, semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan Tindak Pidana Korupsi yang proses hukumnya belum selesai harus dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
ADVERTISEMENT