Di Sidang MK, Jokowi Tegaskan Dewan Pers Tak Halangi Fungsi Organisasi Pers

12 Oktober 2021 0:38 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Dewan Pers. Foto: antara
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Dewan Pers. Foto: antara
ADVERTISEMENT
Presiden Jokowi memberikan keterangan tertulis secara daring pada sidang Uji Materi pasal 15 Ayat (2) huruf f dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers di Gedung Mahkamah Konstitusi, Senin (11/10) siang.
ADVERTISEMENT
Pernyataan Jokowi itu menanggapi gugatan Judicial Review (JR) yang diajukan tiga orang wartawan yakni Heintje Grontson Mandagie, Hans M Kawengian, dan Soegiharto Santoso. Ketiganya mempermasalahkan soal fungsi Dewan Pers dalam menyusun peraturan di bidang pers sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (2) huruf f dan Pasal 15 ayat (5) UU Pers.
Keterangan tertulis Jokowi disampaikan melalui kuasa hukumnya Menteri Hukum dan Ham RI Yasonna Laoly dan Menteri Kominfo Johny Plate, yang dibacakan langsung oleh Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Kominfo, Usman Kansong.
Ada beberapa poin yang disampaikan oleh Presiden Jokowi yang disampaikan oleh Usman Kansong dalam persidangan tersebut, menjawab sejumlah petitum dalam permohonan para pemohon. Pertama, Usman memberikan penjelasan terkait ketentuan Pasal 15 ayat 2 huruf f yang menjadi poin gugatan pemohon.
ADVERTISEMENT
Usman menegaskan, bahwa pasal tersebut bukanlah suatu hal yang sumir dan multitafsir. Usman menjelaskan, posisi Dewan Pers sudah jelas diatur dalam UU pers yakni sebagai fasilitator dalam perumusan aturan-aturan di bidang pers.
"Memperhatikan definisi kata memfasilitasi tersebut maka maknanya, Dewan Pers tidak bertindak sebagai lembaga pembentuk atau regulator karena berdasarkan ketentuan a quo UU pers, penyusunan peraturan-peraturan di bidang pers dilakukan oleh organisasi-organisasi pers," kata Jokowi.
Terkait itu, Usman membeberkan bahwa peran Dewan Pers terkait memfasilitasi penyusunan peraturan di bidang pers untuk memberikan kemudahan bagi seluruh organisasi pers dengan berbagai masukan untuk menyalurkan aspirasi.
Hal tersebut, kata Usman, senada dengan ketentuan dalam UU Pers di mana penyusunan peraturan di bidang pers dilakukan oleh organisasi pers, sehingga Dewan Pers tidak bertindak sebagai regulator melainkan fasilitator.
ADVERTISEMENT
"Sehingga rumusan tersebut tidak dapat ditafsirkan menghalangi hak organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers. Namun justru Dewan Pers yang memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan pers,” sambung Usman.
Berikut bunyi Pasal 15 ayat 2 huruf f tersebut: "Memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan.”
"Ketentuan a quo tidak menghambat organisasi pers yang dalam hal ini organisasi pers juga termasuk individu-individu atau perorangan di dalamnya untuk keluarkan pikirannya secara lisan maupun tidak lisan, sehingga tak bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak menghambat hak individu memajukan diri secara kolektif memajukan bangsa dan negaranya sehingga tidak bertentangan dengan pasal 28 C ayat 2 UUD 1945," ucap Usman.
Presiden Joko Widodo memberikan pengarahan kepada Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) se-Provinsi Bali di Kantor Gubernur Bali, Kota Denpasar, pada Jumat siang, Jumat (8/10). Foto: Laily Rachev/Biro Pers Sekretariat Presiden
Penyusunan Aturan oleh Organisasi Pers
ADVERTISEMENT
Dalam permohonannya, terkait dengan pasal 15 ayat 2 huruf f, para pemohon juga meminta ada pemaknaan terkait pasal tersebut yang intinya meminta penyusun aturan di bidang pers oleh organisasi pers. Hal ini dinilai oleh pemerintah tidak diperlukan, sebab, memang sudah demikian adanya.
Usman menyatakan, secara ketentuan UU Pers sudah sangat jelas memaknakan bahwa organisasi pers merupakan pihak yang membuat peraturan pers. Sedangkan Dewan Pers merupakan fasilitator atas pembuatan peraturan tersebut.
"Ketentuan a quo UU Pers telah amat jelas memiliki makna seperti itu tanpa perlu ada pemaknaan lain," kata Usman.
Usman menyinggung soal posita pemohon terkait 'memfasilitasi'. Pemohon menginginkan peraturan bidang pers dilakukan organisasi pers bukan dalam bentuk peraturan Dewan Pers. Usman menjelaskan akibat apabila hal tersebut diterapkan.
ADVERTISEMENT
"Maka akibatnya peraturan dalam bidang pers tidak menjadi kohesif, terpisah sendiri-sendiri, sesuai selera dan kepentingan organisasi pers dan bahkan bisa bertentangan dengan aturan satu dengan yang lain," kata dia.
Di sisi lain, Usman mengatakan, organisasi pers dalam melakukan penyusunan aturan pun tidak dihalangi oleh UU Pers karena ketentuan dalam UU tersebut tidak membuat batasan sama sekali dalam menyusun aturan di bidang pers. Namun demikian, harus bermuara pada bentuk peraturan Dewan Pers agar tidak bertentangan antara satu aturan dengan aturan lainnya.
"Organisasi pers dalam melakukan penyusunan peraturan oleh organisasi pers tidak terhalangi oleh a quo UU Pers karena ketentuan a quo tidak membuat batasan sama sekali dalam UU Pers dalam menyusun aturan di bidang pers," ucap dia.
Direktur Komunikasi Politik TKN Jokowi-Ma'ruf Amin, Usman Kansong. Foto: Rafyq Panjaitan/kumparan
Monopoli Pembentukan Aturan?
ADVERTISEMENT
Selain itu, Usman juga menyinggung soal dalil kerugian permohonan yang diajukan pemohon. Kerugian tersebut berkenaan bahwa tindakan Dewan Pers telah memonopoli pembentukan aturan di bidang pers.
Atas hal tersebut, Usman mempertanyakan, setelah 21 tahun UU Pers berlaku, mengapa gugatan baru dilakukan saat ini. Dia menyebut, gugatan baru dilakukan saat implementasi UU Pers bertentangan dan tidak menguntungkan para pemohon. Sehingga dia menilai permasalahannya tersebut bukan dari segi konstitusionalitas tetapi implementasi norma.
Terkait implementasi ini, Usman menjelaskan, bahwa pemerintah telah menemukan adanya contoh putusan perkara perdata di pengadilan tingkat pertama dan banding terkait implementasi norma kebijakan Dewan Pers. Gugatan ini juga dilayangkan oleh Heintje Grontson Mandagie selaku penggugat di JR ke MK.
ADVERTISEMENT
Gugatan tersebut, terkait dengan kebijakan standar kompetensi wartawan yang dinilai oleh Heintje melanggar hukum. Namun baik di pengadilan tingkat pertama maupun banding, gugatan itu tidak diterima.
"Hal ini menegaskan masalah tersebut implementasi norma dan ada keputusan pengadilan terhadap masalah implementasi norma tersebut," ucap Usman.
Ilustrasi Dewan Pers. Foto: Dok. Dewan Pers
Pasal 15 ayat 5 UU Pers
Dalam gugatannya, para pemohon juga mendalilkan bahwa Pasal 15 ayat 5 UU Pers bertentangan dengan Pasal 28 d ayat 1 dan Pasal 28 L ayat 2 UUD 1945.
Pemohon menilai ada ketidakjelasan tafsir dalam pasal tersebut dan telah merugikan mereka. Sebab, pemohon memiliki perusahaan dan organisasi pers berbadan hukum, tetapi terhalang ketika hendak membentuk dewan pers independen.
Para pemohon bahkan sudah menyelenggarakan kongres Pers Indoensia pada 2019 dan menghasilkan terpilihnya Anggota Dewan Pers Indonesia. Namun, karena ada UU Pers yakni Pasal 15 ayat (5), hasil tersebut tidak mendapatkan respons dari Presiden.
ADVERTISEMENT
Terkait itu, Usman memberikan jawaban. Dia menegaskan, 'Dewan Pers Indonesia' di mana pemohon menjadi anggotanya berbeda dengan 'Dewan Pers' yang dimaksud dalam UU Pers. Sebab, Dewan Pers hanya ada satu di Indonesia.
Usman menjelaskan, Dewan Pers merupakan lembaga independen yang bertujuan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan mengembangkan kehidupan pers nasional. Tujuan tersebut tidak mungkin dilaksanakan oleh lebih dari 1 Dewan Pers. Mengapa?
"Apabila dimaknai demikian tujuan tersebut tak akan tercapai karena akan terbentuk variasi pemaknaan atas frasa kemerdekaan pers itu sendiri dari berbagai macam Dewan Pers dan memunculkan variasi langkah untuk mewujdukannya," kata Usman.
"Hal tersebut perlu dihindari karena terjadi potensi benturan gesekan antara 1 Dewan Pers dengan lainnya, akan sangat besar. Mengingat kemerdekaan pers suatu hal yang diinginkan suatu organisasi pers, perusahaan pers dan wartawan," sambungnya.
ADVERTISEMENT
Usman juga menjelaskan, apabila dihubungkan dnegan fungsi Dewan Pers terkait kode etik jurnalistik, akan sangat sulit menerapkannya ketika ada lebih dari satu Dewan Pers di Indonesia.
"Tidak mungkin penetapan kode etik jurnalistik ditetapkan oleh lebih dari 1 Dewan Pers, karena ada banyak sekali kode etik yang harus diikuti atau bisa juga memilik kode etik yang dirasa menguntungkan sendiri. Hal ini memunculkan pertanyaan bagaimana Dewan Pers mengawasi kdoe etik jurnalistik, sebagai contoh kasus wartawan a dengan kode etik a akan mematuhi kode etik jurnalistik a sehingga Dewan Pers b tidak bisa mengawasi dan begitu juga sebaliknya," ucap Usman.
Di sisi lain, terkait dengan Kongres yang dilakukan pemohon pada 2019, hal tersebut bukan nomenklatur dan entitas yang dimaksud dalam pasal 15 ayat 1 UU Pers. Sehingga, kata Usman, presiden tidak perlu menanggapinya dengan mengeluarkan Kepres.
ADVERTISEMENT
"Apabila pemohon mendalilkan organisasinya Dewan Pers Indonesia, maka itu bukan nomenklatur dan entitas yang dimaksud dalam pasal 15 ayat 1 UU Pers. Berdasarkan hal tersebut Dewan Pers Indonesia yang di mana pemohon menjadi anggotanya tidak memerlukan penetapan dari presiden dalam bentuk Kepres, dan tidak ditanggapinya permohonan penetapan anggota Dewan Pers Indoensia oleh Presiden bukan perlakuan diskriminatif yang melanggar pasal 28 d ayat 1 dan 28 l ayat 2 UUD NRI 1945 melainkan suatu tindakan yang sesuai hukum berlaku," pungkas Usman.
Sejumlah hakim konstitusi bersiap mengikuti sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di ruang sidang pleno Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (10/8). Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA FOTO
Petitum Pemerintah
1. Menyatakan bahwa para pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum atau legal standing.
2. Menolak permohonan pengujian pemohon untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian para pemohon tidak dapat diterima.
ADVERTISEMENT
3. Menerima keterangan presiden secara keseluruhan.
4. Menyatakan ketentuan pasal 15 ayat 2 huruf f dan pasal 15 ayat 5 UU 40/1999 tentang pers tidak bertentangan dengan pasal 28 c ayat 2, Pasal 28 d ayat 1 dan Pasal 28 l ayat 2 UUD 1945 dan tetap mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Sidang lanjutan perkara nomor 38/PUU-XIX/2021 akan dilaksanakan pada Selasa 9 November 2021 jam 11.00 WIB untuk mendengarkan keterangan pihak DPR RI dan pihak terkait Dewan Pers.