news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Diskresi Kebijakan di Era Krisis yang Berakhir Pidana

18 Mei 2020 14:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Webinar Hukum x DNT Lawyer. Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Webinar Hukum x DNT Lawyer. Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu Nomor 1 Tahun 2020 menjadi salah satu 'senjata' pemerintah dalam menghadapi bencana virus corona. Perppu yang kini sudah disahkan DPR menjadi UU itu memberi banyak keleluasaan bagi sejumlah lembaga untuk menetapkan suatu kebijakan.
ADVERTISEMENT
Namun, ada pertanyaan yang muncul, apakah akan ada potensi kriminalisasi terkait pengambilan kebijakan saat krisis?
Sebab, Indonesia sudah pernah mengalami era krisis yang berujung pidana terhadap suatu kebijakan yang diambil. Meski, ada polemik terkait niat jahat dalam kebijakan itu.

Bank Century

Bank Century Foto: Facebook Bank Century
Kasus Bank Century sempat mendapat perhatian publik saat diusut KPK pada 2012 silam. Kasus ini terkait dua hal, yakni Pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) kepada PT. Bank Century, Tbk. dan Proses Penetapan PT. Bank Century, Tbk. sebagai Bank Gagal Berdampak Sistemik.
Pada tahun 2008, terjadi krisis keuangan secara global. Indonesia termasuk yang terdampak saat itu. Bank Century pun disebut-sebut merupakan imbas dari krisis tersebut.
Bank itu mengalami kesulitan likuiditas, lantaran nasabahnya menarik dana mereka. Salah satu nasabahnya, Budi Sampoerna, kemudian tak bisa menarik dana Rp 2 triliun lantaran kesulitan likuiditas itu.
ADVERTISEMENT
Bank Century kemudian mendapat FPJP sebesar Rp 689.394.000.000 serta gelontoran Rp 6.762.361.000.000 dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) karena sudah dinyatakan sebagai bank gagal berdampak sistemik oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
Namun kemudian, KPK mengungkap adanya dugaan penyimpangan terkait hal tersebut. Bank Century disebut sudah bermasalah sebelum terjadi krisis global pada 2008.
Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Budi Mulya Foto: Antara Foto/Wahyu Putro A
Budi Mulya selaku Deputi Gubernur Bank Indonesia Bidang 4 Pengelolaan Moneter, Devisa dan KPw dijerat KPK karena adanya dugaan penyimpangan dalam keputusan pemberian FPJP serta dalam hal penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. Sebab, kebijakan yang dilakukannya bertentangan dengan sejumlah aturan.
Ia disebut turut mendapat Rp 1 miliar dari Robert Tantular yang merupakan pemilik Bank Century. Serta menguntungkan sejumlah pihak lain atas perbuatannya itu. Uang yang digelontorkan negara untuk Bank Century pun dihitung sebagai kerugian negara.
ADVERTISEMENT
Hakim pun sepakat perbuatan Budi Mulya merupakan korupsi. Ia dihukum 15 tahun penjara.
Dalam putusannya, hakim menganggap perbuatan korupsi itu tidak dilakukan Budi Mulya seorang diri. Hakim menyatakan Budi Mulya melakukan perbuatan itu secara bersama-sama. Dalam dakwaan, dipaparkan lebih rinci soal para pihak yang disebut turut serta melakukan perbuatan itu.
Terkait pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) kepada PT Bank Century, Tbk, Budi Mulya disebut melakukan perbuatannya bersama Boediono, Miranda Swaray Goeltom, Siti Chalimah Fadrijah selaku Deputi Gubernur Bidang 6 Pengawasan Bank Umum dan Bank Syariah, S. Budi Rochadi selaku Deputi Gubernur Bidang 7 Sistem Pembayaran, Pengedaran Uang, BPR dan Perkreditan, serta bersama Robert Tantular dan Hermanus Hasan Muslim.
Sementara dalam proses penetapan PT Bank Century, Tbk. sebagai bank gagal berdampak sistemik, Budi Mulya melakukan perbuatannya bersama-sama Muliaman Dharmansyah Hadad selaku Deputi Gubenur Bidang 5 Kebijakan Perbankan/Stabilitas Sistem Keuangan dan selaku Anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Hartadi Agus Sarwono selaku Deputi Gubernur Bidang 3 Kebijakan Moneter, dan Ardhayadi Mitroatmodjo selaku Deputi Gubernur Bidang 8 Logistik, Keuangan, Penyelesaian Aset, Sekretariat dan KBI, serta Raden Pardede selaku Sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
ADVERTISEMENT
KPK masih melakukan penyelidikan terkait pengembangan kasus tersebut. Belum ada tersangka lain yang dijerat.

BLBI

Saat krisis 1998, pemerintah menggelontorkan dana talangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) hingga Rp 144,5 triliun untuk 48 bank. Namun, sebagian besar dana itu kemudian diselewengkan.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat bahwa skema bantuan dana segar itu tak tepat sasaran dan merugikan negara sebesar Rp 138 triliun. Hanya Rp 6 triliun saja dari Rp 144,53 triliun yang benar-benar digunakan sebagaimana mestinya.
Pemerintah pun meminta para pemilik bank mengembalikan dana talangan itu dalam tempo satu bulan. Namun, bank-bank itu mengaku tak mampu melunasinya dalam waktu secepat itu. Mereka meminta 5 tahun sebagai jatuh tempo pelunasan utang tersebut.
ADVERTISEMENT
Akhirnya diambil keputusan penting, yakni pengembalian BLBI ditetapkan 4 tahun. Tahun pertama 27 persen, sisanya dikembalikan dalam tiga tahun dalam jumlah yang sama.
Pada saat Megawati Soekarnoputri menjabat sebagai presiden, pengembalian BLBI dari bank-bank yang bermasalah itu belum juga tuntas. Bersamaan dengan itu, sejumlah upaya penegakan hukum terhadap penggelapan dana BLBI itu tengah berlangsung.
Tanggal 30 Desember 2002, Mega akhirnya mengambil satu langkah penting. Dia meneken Instruksi Presiden (Inpres) No 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada para pemilik bank yang berhasil melunasi utangnya. Selain itu, Inpres tersebut juga mengatur soal ancaman hukum kepada orang-orang yang melanggar.
Dengan skema tersebut, penerima BLBI dianggap sudah menyelesaikan utangnya dan mendapatkan Surat Keterangan Lunas (SKL) walau hanya membayar 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai, serta 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.
Ilustrasi Sjamsul Nursalim. Foto: Indra Fauzi/kumparan
Salah satu penerima BLBI ialah Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) milik taipan Sjamsul Nursalim. BDNI mendapat BLBI sebesar Rp 37.039.767.000.000 yang terdiri dari fasilitas surat berharga pasar uang khusus, fasilitas saldo debet dan dana talangan valas. Selain itu terdapat juga BLBI yang disalurkan kepada BDNI dalam periode sesudah tanggal 29 Januari 1999 sampai dengan 30 Juni 2001 berupa saldo debet dan bunga fasilitas saldo debet sebesar Rp 5.492.697.000.000.
ADVERTISEMENT
Namun, BDNI kemudian malah menyelewengkan dana tersebut. Alhasil Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) mewajibkan BDNI mengikuti Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan pola perjanjian Master Settlement Aqcuisition Agreement.
Berdasarkan penghitungan BPPN melalui Tim Aset Manajemen Investasi (AMI) dibantu oleh Financial Advisor (FA), Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS) yang harus dibayar BDNI ialah Rp 47,2 triliun itu dikurangi oleh jumlah aset yang dimiliki sebesar Rp 18,8 triliun. Sehingga yang harus dibayarkan BDNI adalah sejumlah Rp 28,4 triliun.
Dalam MSAA juga disepakati penyelesaian JKPS ialah dengan pembayaran secara tunai sebesar Rp 1 triliun dan penyerahan aset senilai Rp 27.495.500.000.000 kepada perusahaan yang dibentuk oleh BPPN untuk melakukan penjualan atas aset-aset tersebut.
Eks Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung, usai keluar dari rutan KPK, Selasa (9/7). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Pada 26 April 2004, Sjamsul Nursalim mendapat Surat Keterangan Lunas (SKL) kewajiban BLBI yang ditandatangani Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung. Surat tersebut menyatakan Sjamsul Nursalim telah menyelesaikan kewajiban sebesar Rp 28.408.000.000.000.
ADVERTISEMENT
Belakangan, KPK menduga ada proses yang tak sesuai dalam penerbitan SKL itu. Diduga, Sjamsul tak jujur soal aktiva/aset berupa piutang BDNI sejumlah Rp.4.800.000.000.000.
Piutang itu direpresentasikan seolah-olah sebagai piutang yang lancar. Namun setelah dilakukan audit, disimpulkan bahwa kredit petambak plasma PT DCD & PT WM tersebut digolongkan macet. Kedua perusahaan itu juga dimiliki oleh Sjamsul.
Setelah dilakukan penghitungan, didapatkan hak tagih utang dari para petambak plasma tersebut hanya sebesar Rp 220 miliar.
KPK menduga BDNI masih ada sisa utang sebesar Rp 4,58 triliun belum dibayarkan. Sementara Syafruddin, yang menjadi Kepala BPPN sudah meneken SKL untuk BDNI.
KPK menduga ada kerugian negara sebesar Rp 4,58 triliun dari perbuatan itu. Syafruddin pun dijerat KPK dan dibawa ke persidangan.
ADVERTISEMENT
Pengadilan Tipikor dan Pengadilan Tinggi DKI sepakat Syafruddin bersalah melakukan korupsi. Awalnya ia dihukum 13 tahun penjara. Hukumannya diperberat pada tahap banding jadi 15 tahun penjara.
Namun, dalam tahap kasasi, Mahkamah Agung melepaskan Syafruddin dari tuntutan hukum.
Hakim MA menyatakan Syafruddin terbukti melakukan perbuatan sebagaimana dakwaan KPK. Namun, hakim menilai perbuatannya bukan korupsi.
Dari tiga hakim dalam majelis kasasi, dua di antaranya menyatakan perbuatan itu bukan korupsi. Satu hakim menilai kasus ini merupakan ranah perdata, sementara satu hakim lainnya menilai hal ini merupakan persoalan administrasi.
Hanya satu hakim yang tetap berpendapat kasus ini korupsi. Meski demikian, putusan diambil oleh suara terbanyak. Sehingga, Syafruddin dilepaskan. Kasusnya pun sudah inkrah.
KPK mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan itu. Selain itu, KPK juga sudah menjerat Sjamsul Nursalim sebagai tersangka.
ADVERTISEMENT
Kasusnya masih dalam tahap penyidikan. KPK kesulitan menghadirkan Sjamsul Nursalim karena berada di luar negeri.

Bagaimana Kebijakan saat Wabah Corona?

Berkaca pada dua kasus tersebut, praktik penyelewengan atau korupsi saat krisis masih mungkin terjadi. KPK pun sudah berulangkali mengingatkan soal tuntutan hukuman mati yang bisa diterapkan bagi mereka yang korupsi saat bencana.
Lantas, bagaimana caranya untuk mencegah kriminalisasi kebijakan saat krisis?
Untuk itu, kumparan berkolaborasi bersama DNT Lawyer mengadakan webinar hukum dan bisnis dengan tema 'Kriminalisasi Terkait Kebijakan di Tengah Krisis, Bagaimana Mencegahnya?'. Webinar akan diadakan pada Rabu (20/5) mulai pukul 09.00 - 12.00 WIB. Peserta bisa mendaftar dengan mengklik tautan pendaftaran di bawah ini:
Sederet narasumber akan menjadi pemateri dalam webinar hukum dan bisnis kali ini. Di antaranya Hakim Agung Prof Surya Jaya, Asisten Khusus Jaksa Agung Narenda Jatna, Dosen STHI Jentera Bivitri Susanti, Founder Integrity Law Firm Prof Denny Indrayana, Mantan Direktur Utama BNI Sigit Pramono. Eks Kepala PPATK sekaligus dosen STHI Jentera, Yunus Husein akan hadir sebagai pemantik diskusi.
ADVERTISEMENT
***
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
***
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona
***