Dosen FH UII Yogya Gugat UU Baru MK yang Istimewakan Hakim, Minta Dibatalkan

14 Oktober 2020 13:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana jalannya sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di ruang sidang pleno Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (10/8). Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Suasana jalannya sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di ruang sidang pleno Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (10/8). Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
UU Mahkamah Konstitusi (MK) yang baru, UU Nomor 7 Tahun 2020, akhirnya digugat ke MK sejak disahkan pada 1 September.
ADVERTISEMENT
UU tersebut digugat seorang dosen Fakultas Hukum (FH) sekaligus Kepala Pusat Studi Hukum Konstitusi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Allan Fatchan Gani Wardhana.
Allan mendaftarkan gugatan itu pada 13 Oktober dengan tanda terima dari panitera MK bernomor 2037/PAN.MK/X/2020.
Ia menggugat UU baru MK yang dinilai mengistimewakan hakim konstitusi tersebut secara formil dan materiil.
"Bahwa menurut pemohon proses pembentukan UU MK secara formil telah melanggar dan bertentangan dengan ketentuan terkait tata cara pembentukan undang-undang," ujar Allan dalam gugatannya.
"Bahwa selain telah melanggar ketentuan formil undang-undang, pemohon juga berpendapat bahwa UU MK telah melanggar ketentuan materiil," lanjutnya.
Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan

Uji Formil

Allan menyatakan terdapat beberapa alasan yang menilai UU MK yang baru cacat formil. Di antaranya, kata Allan, UU 7/2020 dibentuk tanpa partisipasi publik karena proses pembahasannya dilakukan secara tertutup dengan waktu yang sangat terbatas.
ADVERTISEMENT
"Naskah akademik perubahan UU MK dibentuk tanpa alasan akademik yang fundamental. Hal tersebut tergambar dari adanya kesalahan metodologi penelitian, tidak ditopang data yang akurat, serta beberapa kajian naskah akademik yang disyaratkan oleh UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan," ucap Allan.
Atas dasar tersebut, Allan meminta MK menyatakan UU 7/2020 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat alias dibatalkan.
Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan

Uji Materiil

Dalam uji materiil, Allan mempersoalkan berlakunya Pasal I angka 3 UU MK yang mengubah Pasal 15 ayat (2) huruf d; Pasal I angka 6 UU MK yang menghapus Pasal 22; Pasal I angka 8 yang mengubah Pasal 23 ayat (1) huruf d; Pasal I angka 9 UU MK yang menghapus Pasal 26 ayat (1) huruf b; dan Pasal I angka 15 yang mengubah Pasal 87.
ADVERTISEMENT
Seperti dalam gugatan terhadap Pasal I angka 3 UU MK yang mengubah Pasal 15 ayat (2) huruf d. Allan mempersoalkan diubahnya syarat usia minimal hakim MK dari 47 tahun menjadi 55 tahun.
Menurut Allan, berubahnya syarat usia minimal bertentangan dengan putusan MK nomor 7/PUU-XI/2013. Berdasarkan tafsir di putusan tersebut, kata Allan, MK menyatakan usia paling rendah 47 tahun untuk menjadi hakim MK merupakan usia yang konstitusional.
"Bahwa perubahan kriteria usia dengan menambah dari usia 47 tahun menjadi usia 55 tahun tidak memiliki urgensi yang nyata bahkan alasan menaikkan syarat usia hakim konstitusi tersebut tidak dapat ditemukan dalam Naskah Akademik UU MK, terlebih justru telah nyata-nyata bertentangan dengan Putusan MK Nomor 7/PUU-XI/2013," jelasnya.
Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (tengah) bersama majelis hakim lainnya memimpin sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 di Gedung MK. Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Selain itu, menaikkan syarat usia minimal hakim MK menjadi 55 tahun justru menimbulkan dampak pada ketersediaan calon Hakim Konstitusi menjadi lebih sedikit. Terlebih di negara lain seperti Korsel dan Jerman, syarat usia minimal hakim MK ialah 40 tahun.
ADVERTISEMENT
"Bahwa usia 55 tahun, meskipun menurut ilmu kesehatan dan psikologi masih ke dalam kategori produktif bekerja, tetapi potensi atas penurunan kinerja hakim yang berusia 55 tahun lebih besar jika dibandingkan dengan hakim yang memiliki usia 47 tahun," kata Allan.
Begitu pula dihapusnya periode masa jabatan hakim MK selama maksimal 10 tahun berdasarkan Pasal I angka 6 UU MK yang menghapus Pasal 22.
Allan menganggap masa jabatan hakim MK yang maksimal 15 tahun atau sampai usia 70 tahun telah menghilangkan ruang evaluasi.
"Kondisi ini berimplikasi pada potensi penyalahgunaan kekuasaan dan tindakan tidak profesional karena posisi aman para Hakim Konstitusi yang lepas dari evaluasi di tiap periode habis masa jabatannya," ucap Allan.
Suasana sidang pembacaan amar putusan nomor perkara 56/PUU-XVII/2019 dan 58/PUU-XVII/2019 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (11/12). Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Allan berpandangan periodisasi masa jabatan yang maksimal 10 tahun merupakan sarana untuk mengawasi kinerja hakim MK. Namun karena telah dihapus, kini tak ada lagi sarana pengawasan tersebut.
ADVERTISEMENT
"Bahwa konstruksi hukum dalam melakukan pengawasan terhadap Hakim Konstitusi saat ini belum memadai. Hakim Konstitusi tidak memiliki pengawasan yang bersifat eksternal sehingga kehadiran masa jabatan Hakim Konstitusi yang memberi jeda kepada Hakim Konstitusi untuk di uji kembali juga dapat dimaknai sebagai upaya melakukan pengawasan terhadap Hakim Konstitusi," jelasnya.
Atas dasar itu, Allan meminta MK agar mengembalikan syarat usia minimal hakim MK menjadi 47 tahun serta periodisasi masa jabatan yakni selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 kali masa jabatan.