news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

DPR Aceh Diminta Tunda Pengesahan Qanun Hukum Keluarga

4 September 2019 17:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Aktifis Perempuan Aceh Meminta DPRA Tak Memaksa Pengesahan Qanun Hukum Keluarga. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Aktifis Perempuan Aceh Meminta DPRA Tak Memaksa Pengesahan Qanun Hukum Keluarga. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
ADVERTISEMENT
Rancangan qanun (raqan) Hukum Keluarga cukup menyita perhatian publik di Aceh. Kehadiran produk hukum tersebut kini sedang dibahas oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Ditargetkan pengesahan qanun akan selesai pada September 2019 ini.
ADVERTISEMENT
Namun, sejumlah aktivis perempuan meminta DPR Aceh menunda pengesahan qanun Hukum Keluarga tersebut. Permintaan tersebut salah satunya datang dari Balai Syura Ureung Inong Aceh (LSM untuk perempuan di Aceh).
Usai pelaksanaan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) oleh DPR Aceh pada Kamis (1/8) lalu, Balai Syura Ureung Inong Aceh menyebut, qanun tersebut belum selayaknya disahkan mengingat masih ada beberapa poin yang harus dikaji ulang.
Kehadiran raqan hukum keluarga diharapkan mampu memenuhi hak-hak perempuan dan anak. Oleh sebab itu, subtansi yang diatur dalam qanun diminta agar benar-benar menyelesaikan permasalahan yang sudah ada, bukan malah menimbulkan permasalahan baru.
Dalam diskusi publik yang digelar Balaisyura di salah satu hotel di Banda Aceh, Rabu (4/9), melihat kehadiran raqan hukum keluarga menjadi peluang bagi pemerintah Aceh dalam membangun sistem ketahanan keluarga untuk lebih melindungi dan memenuhi hak perempuan dan anak.
ADVERTISEMENT
“Ada banyak permasalahan yang dapat diselesaikan jika subtansi yang diatur dalam raqan hukum keluarga ini sungguh-sungguh menerapkan azas keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum,” Kata Ketua Presidium Balaisyura, Khairani Arifin di Banda Aceh (4/9).
Diskusi yang berlangsung tersebut turut melibatkan jaringan akademisi atau pusat studi berbasis kampus, perwakilan pemerintah Aceh, aparat penegak hukum, praktisi hukum, dan organisasi masyarakat sipil.
Khairani memaparkan berdasarkan data Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Aceh, setiap tahun terjadi peningkatan data kekerasan terhadap perempuan dan anak, 65 persen di antaranya terjadi di dalam rumah tangga.
“Di sisi lain berdasarkan data Bappeda Aceh Utara mencatat 4.250 pasangan suami-istri masih menunggu untuk isbat nikah karena menghadapi masalah administrasi perkawinan akibat konflik dan tsunami. Persoalan yang sama diperkirakan juga dihadapi di banyak kabupaten/kota lainnya di Aceh,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Atas dasar itu Balaisyura meminta pembuat kebijakan dalam hal ini komisi VII DPR Aceh agar berhati-hati mengatur kewenangan pelaksanaan qanun.
“Maka substansi yang diatur dalam raqan ini harus benar-benar menyelesaikan permasalahan yang sudah ada, bukan menimbulkan permasalahan baru,” ujarnya.
Khairani menyatakan berdasarkan kajian yang telah dilakukan, ditemukan adanya persoalan secara substansi yang dapat menempatkan perempuan pada kerentanan baru dan mengalami masalah-masalah yang mengganggu kesejahteraan perempuan. Oleh sebab itu, tindakan yang paling bijaksana saat ini adalah menunda pembahasan.
“Kami menyadari bahwa DPRA sangat ingin menyelesaikan tanggungjawab pengesahan rancangan qanun ini pada akhir masa jabatan September 2019 ini. Namun jika hal tersebut dipaksakan, maka dampak yang akan muncul sangat merugikan bagi perempuan dan anak,” tuturnya.
Aktifis Perempuan Aceh Meminta DPRA Tak Memaksa Pengesahan Qanun Hukum Keluarga. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
Khairani mengakui raqan hukum keluarga memiliki tujuan baik dan mengutamakan kemaslahatan. Karena itu pihaknya merekomendasikan agar sebelum pengesahan terlebih dahulu melakukan konsultasi dengan Mahkamah Agung.
ADVERTISEMENT
Tidak mengulang subtansi yang sudah diatur di dalam peraturan perundang-undangan yang sudah ada. Qanun harus lebih fokus mengatur tentang solusi terhadap masalah keluarga yang sering terjadi di masyarakat. Khairani mencontohkan, seperti perebutan hak asuh anak, perkara jinayat yang timbul dari perkawinan, perwalian dan penyalahgunaan kewenangan wali.
“Raqan hukum keluarga harus mampu menjamin kehidupan keluarga yang berkeadilan dan sakinah untuk seluruh anggota keluarga dan berkontribusi pada penguatan ketahanan keluarga. Kemudian pelibatan anak dan mempertimbangkan kepentingan anak untuk menjamin pemenuhan kebutuhan terbaik anak,” ujar dia.
Sementara dalam kesempatan yang sama, Wakil ketua Mahkamah Syariah Aceh, Rasyidah menyarankan dalam qanun hukum keluarga ikut mengatur tentang penyelesaian satu pintu terhadap persoalan keluarga seperti KDRT dan juga perceraian.
ADVERTISEMENT
“Harus adanya penyelesaian satu pintu untuk menyelesaikan persoalan-persoalan keluarga. Contohnya kekerasan dalam rumah tangga serta perceraian,” ungkapnya.
Rasyidah melihat qanun hukum keluarga harusnya mengatur tentang pengadilan keluarga sehingga persoalan dalam keluarga bisa diselesaikan secara komprehensif dan melindungi perempuan dan anak.
Sementara itu, koordinator Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam UIN Ar-Raniry, mengatakan raqan hukum keluarga sepatutnya mengatur mengenai konsep nafkah yang lebih tegas karena kekerasan dalam rumah tangga yang paling tinggi adalah penelantaran ekonomi.
“Qanun harusnya menetapkan juga aturan nusyuz bagi suami yang menelantarkan keluarganya. Rancangan Qanun ini juga menafikan golongan masyarakat non-Muslim yang sesungguhnya juga merupakan masyarakat di Aceh,” ujarnya.