DPR Harus Hati-hati Bahas Rancangan Perpres TNI dalam Penanganan Terorisme

8 Oktober 2020 11:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Koopssus TNI Latihan Penanggulangan Terorisme Bersenjata Biologis dan Virus Corona.  Foto: Dok. Puspen TNI
zoom-in-whitePerbesar
Koopssus TNI Latihan Penanggulangan Terorisme Bersenjata Biologis dan Virus Corona. Foto: Dok. Puspen TNI
ADVERTISEMENT
Sampai saat in, Rancangan Perpres tentang Pelibatan TNI dalam penanganan terorisme masih terus dibahas di Komisi I DPR. Tapi, sebagian pihak menilai, pelibatan TNI dalam penanganan terorisme dapat menggangu sistem hukum di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Hendardi, menilai, sampai saat ini belum ada definisi yang jelas soal level penanganan terorisme yang harus ditangani TNI. Bila batasannya saja belum jelas, pelaksanaannya nanti dikhawatirkan bisa tumpang tindih.
Hendardi, Anggota Dewan Pakar TGPF Novel Baswedan. Foto: Johanes Hutabarat/kumparan
"Komisi I DPR harus berhati-hati membahas R-Perpres ini, karena berpotensi merusak sistem hukum Indonesia. Jika diperlukan DPR RI dapat mengembalikan R-Perpres tersebut kepada pemerintah untuk dapat diperbaiki kembali sebelum dibahas lebih lanjut," kata Hendardi dalam keterangannya, Kamis (8/10).
Berikut pernyataan lengkap Hendardi terkait Rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam penanganan Terorisme:
Satuan Gultor TNI saat melakukan latihan penanggulangan terorisme di Hotel Mercure Ancol, Jakarta, Selasa (9/4). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
DPR Sponsori Penyimpangan UU TNI melalui Perpres Pelibatan TNI dalam Penanganan Terorisme
Pembahasan Rancangan Peraturan Presiden tentang Pelibatan TNI dalam Penanganan Aksi Terorisme dalam forum konsultasi DPR dan Pemerintah belum menunjukkan kemajuan signifikan untuk memastikan integritas criminal justice system dan penanganan tindak pidana terorisme secara adil dan akuntabel. DPR dan pemerintah masih belum mampu membuat batasan yang jelas tentang definisi terorisme, level terorisme yang membutuhkan pelibatan TNI, batasan keterlibatan TNI, sehingga berpotensi menjadikan TNI sebagai penegak hukum, yang justru bertentangan dengan sistem hukum pidana Indonesia.
ADVERTISEMENT
Isu tentang lemahnya mekanisme pengawasan dan akuntabilitas TNI, adanya sumber anggaran daerah, serta potensi benturan dengan aparat penegak hukum akibat kerancuan substansi, belum mendapatkan perhatian serius DPR.
Tugas DPR, khususnya Komisi I DPR yang merupakan mitra TNI, adalah memastikan UU 34/2004 tentang TNI dijalankan secara konsisten untuk menopang profesionalisme TNI. Melalui forum konsultasi pembentukan R-Perpres ini, Komisi I DPR justru mensponsori penyimpangan UU TNI, khususnya terkait dengan ketentuan operasi militer selain perang (OMSP). Komisi I mendorong keterlibatan TNI dalam penanganan terorisme dalam kerangka criminal justice system, yang justru merupakan pengingkaran terhadap integritas sistem hukum nasional. TNI bukanlah penegak hukum. Karena itu pelibatannya dalam penanganan terorisme hanya terbatas pada jenis dan level terorisme yang spesifik.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, konsultasi DPR dan pemerintah harus dilakukan terbuka dan kembali menghimpun masukan publik secara serius. Komisi I DPR harus berhati-hati membahas R-Perpres ini, karena berpotensi merusak sistem hukum Indonesia. Jika diperlukan DPR RI dapat mengembalikan R-Perpres tersebut kepada pemerintah untuk dapat diperbaiki kembali sebelum dibahas lebih lanjut.