Draf RUU Publisher Rights Harus Segera Disusun, Ini Alasannya

8 Februari 2022 19:18 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi senjakala media cetak. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi senjakala media cetak. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Ketua Dewan Penasihat Forum Pemimpin Redaksi (Pemred), Kemal Gani, menegaskan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang publisher rights harus segera diwujudkan.
ADVERTISEMENT
Hal itu diutarakan Kemal mengingat makin meresahkannya dominasi platform global terhadap media konvensional yang ada di Indonesia. Di sisi lain, kondisi itu juga turut memunculkan banyaknya media digital yang dianggap tak mengedepankan jurnalisme berkualitas.
"Jadi yang pertama, ya, draf RUU yang mengatur jurnalisme berkualitas dan tanggung jawab platform global. Kita harus, ini sudah mendesak dan sangat darurat," ujar Kemal saat menghadiri acara Editor's Talk yang digelar Forum Pemred secara daring, Selasa (8/2), sebagai rangkaian dari Hari Pers Nasional (HPN) 2022.
Kemal mengatakan, desakan berawal dari data yang menyebutkan platform global menguasai hampir keseluruhan pendapatan yang berasal dari kontribusi iklan. Jumlah tersebut menurutnya tak sebanding dengan apa yang didapat media-media konvensional lain.
ADVERTISEMENT
"Jadi iklan pencarian itu kontribusinya 38% hampir setengah miliar dolar, iklan media sosial 30%, iklan banner 18%, iklan video 11%, iklan baris 3%. Nah, jadi 3 kategori iklan tadi iklan pencarian, iklan medsos, dan iklan video ini secara akumulatif menguasai 79% dari belanja iklan tahun 2020," rinci Kemal.
Kemal Gani di kantor kumparan. Foto: Prima Gerhard/kumparan
"Khusus untuk yang medsos saja itu Facebook (Meta) menguasai Facebook plus Instagram ya 80%, nah Youtube ini grup Google juga ini dia sendirilah yang ambil semuanya 80% itu, dialah yang ambil," lanjut dia.
Meski ada lahan iklan bagi media konvensional, tingginya cost atau biaya pembuatan iklan berbasis programatic atau teknologi, kadang kala membuat penerimaan dari iklan yang cenderung tak sebanding dengan ongkos pembuatan.
ADVERTISEMENT
"Cost-nya sekitar 61 sampai 74%. Nah, jadi dari iklan programatic yang diberikan ke kita pun, ke media-media, juga hanya sekitar 26-39%. Jadi betapa kecilnya, kan, sebetulnya 'kue-kue' iklan itu yang digital yang sebetulnya tersisa untuk kita, lainnya, ya, sudah diboyong mereka semuanya," imbuhnya.
Ilustrasi sosial media. Foto: Shutterstock

Platform Tadex

Untuk mengakali itu, Kemal menyebut task force media sustainability bersama dengan grup Telkom berhasil menciptakan platform iklan digital yang diberi nama Tadex. Platform tersebut disiapkan bagi para pengiklan yang ingin mengiklankan produknya di media konvensional.
Nantinya platform ini hanya ditujukan bagi media yang yang sudah tersertifikasi oleh Dewan Pers sehingga dapat menghadirkan kepastian bagi pengiklan.
"Platform iklan digital nasional ini sebenarnya pola kerjanya sama dengan platform iklan digital yang dibuat oleh platform global, tapi di sini yang masuk dalam inventory adalah khusus media-media yang kredibel, media-media yang sudah terverifikasi Dewan Pers. Nah, jadi kalau orang pasang iklan, ya, dia enggak akan salah alamat iklannya masuknya ke ke media-media yang memang sudah terverifikasi yang kredibel," jelasnya.
ADVERTISEMENT
"Beda dengan platform global tadi, orang pasang iklan nanti larinya bisa ke media-media yang tidak jelas juntrungan-nya gitu loh dan itu sebetulnya sudah banyak sejumlah brand besar yang protes. Makanya kemudian, kan, ada sejumlah gerakan juga di beberapa negara kalau mereka enggak mau pasang iklan di Youtube misalnya karena salah alamat juga," ujarnya.
Ilustrasi membaca berita di media online. Foto: aditia noviansyah/kumparan
Meski begitu, desakan tersebut diutarakan Kemal bukan hanya karena permasalahan uang atau revenue yang kini banyak dikuasai platform global.
"Ini bukan masalah uang saja sebetulnya, tapi masalahnya tadi, loh, dengan model bisnis seperti itu akhirnya orang berlomba-lomba membuat konten membuat berita yang cenderung mengejar klik atau viewer atau page view," ucap Kemal.
ADVERTISEMENT
"Dan itu, ya, akibatnya masyarakat itu dibanjiri konten-konten yang tidak bertanggung jawab, bayangkan saja, kok, media-media yang kredibel itu jumlahnya hanya mungkin dari 2.000 yang diverifikasi, ya, mohon maaf katakanlah hanya berapa ratus yang betul-betul menerapkan prinsip kode etik jurnalistik itulah," sambungnya.
Ilustrasi jurnalis game. Foto: Shutterstock

Publisher Rights untuk Lindungi Hak Masyarakat Terima Informasi

Jika makin banyak media mengesampingkan kode etik jurnalistik akibat mengejar page view, Kemal khawatir masyarakat nantinya dibanjiri dengan asupan berita atau informasi yang belum tentu jelas kebenaran informasinya.
Dewan Pers bersama Task Force Media Sustainability telah menyerahkan draf usulan regulasi publisher rights kepada Menkominfo Johnny G Plate pada Oktober 2021.
Menkominfo Johnny G Plate bersama perwakilan Dewan Pers dan Forum Pemred saat penyerahan draf usulan regulasi Publisher Rights. Foto: Kominfo
Draf itu berjudul “Usulan Jurnalisme Berkualitas dan Tanggung Jawab Platform Digital”, yang disusun perwakilan asosiasi dan perusahaan media serta wartawan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Menkominfo Johnny G Plate mendukung adanya usulan itu. Ia pemerintah akan segera membicarakan lebih lanjut terkait payung hukum terciptanya jurnalisme berkualitas.
Menurut Plate, Menkopolhukam Mahfud MD telah mengundangnya bersama kementerian/lembaga terkait untuk membicarakan permasalahan tersebut.
"Usulan draf tersebut saya sudah berbicara dan menyampaikan pada Menkopolhukam dan tadi pagi-pagi, mungkin secara kebetulan saya juga mendapat ya text message dari Menkopolhukam untuk melakukan rapat koordinasi (rakor) bersama menteri sektor lainnya untuk menindaklanjuti apa legislasi primer yang seperti apa yang perlu disiapkan," ucap Plate dalam kesempatan yang sama.