Draf RUU TPKS: 'Pemerkosaan' Diganti Jadi 'Pemaksaan Hubungan Seksual'

7 September 2021 15:04 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pegiat perempuan merapikan sepatu saat aksi diam 500 Langkah Awal Sahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) di depan gedung DPR, Jakarta, Rabu (25/11).  Foto: Akbar Nugroho Gumay/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Pegiat perempuan merapikan sepatu saat aksi diam 500 Langkah Awal Sahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) di depan gedung DPR, Jakarta, Rabu (25/11). Foto: Akbar Nugroho Gumay/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Panitia Kerja (Panja) DPR memutuskan mengganti nama RUU Penghapusan Kekerasan seksual (RUU PKS) menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).
ADVERTISEMENT
Dalam draf RUU TPKS terbaru, diatur sejumlah tindak pidana kekerasan seksual seperti kekerasan non-fisik hingga pelecehan seksual.
Menariknya, dalam draf RUU TPKS terbaru, diksi 'pemerkosaan' diganti menjadi 'pemaksaan hubungan seksual'. Hal ini tercantum dalam Pasal 4 di draf RUU TPKS terbaru.
Berikut bunyi Pasal 4 draf RUU PTKS itu:
Setiap orang yang melakukan perbuatan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu daya, rangkaian kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan untuk melakukan hubungan seksual, dengan memasukkan alat kelaminnya, bagian tubuhnya, atau benda ke alat kelamin, anus, mulut, atau bagian tubuh orang lain, dipidana karena pemaksaan hubungan seksual dengan pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
ADVERTISEMENT
Selain itu, dalam draf RUU PTKS di Pasal 5, mengatur tindak pidana terkait eksploitasi seksual dengan ancaman 15 tahun penjara.
Berikut bunyi Pasal 5 itu:
Setiap orang yang melakukan perbuatan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu daya, rangkaian kebohongan, nama identitas atau martabat palsu, penyalahgunaan kepercayaan, penyalahgunaan wewenang, atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan, atau ketergantungan seseorang, agar seseorang melakukan hubungan seksual dengannya atau orang lain dan/atau perbuatan yang memanfaatkan tubuh orang tersebut yang terkait keinginan seksual dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana karena eksploitasi seksual, dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Ilustrasi pelecehan seksual. Foto: Maulana Saputra/kumparan
Ketua Panja RUU TPKS, Willy Aditya, mengatakan saat ini RUU TPKS masih berupa draf awal. Sehingga masih membutuhkan masukan seluruh pihak.
ADVERTISEMENT
Selain itu Willy merasa wajar jika banyak kritikan terkait materi baru RUU PTKS.
"Kenyataan bahwa lahirnya judul dan materi baru ini mendapatkan kritik dari sejumlah kelompok, cukup disadari dan bisa dimaklumi," kata Willy, Senin (7/9).
Lebih lanjut, politikus NasDem itu berharap setiap perbedaan pendapat terkait materi dalam RUU PTKS dapat diselesaikan melalui dialog.
"Adapun terhadap perbedaan-perbedaan lainnya, yang paling dibutuhkan adalah langkah-langkah dialog dengan hati dan pikiran terbuka," ujar Willy.
Tim Ahli Baleg DPR RI, Sabari Barus, menjelaskan pergantian judul ‘Penghapusan’ di dalam draf RUU tentang PKS diganti ‘Tindak Pidana karena mengambil pendekatan hukum bahwa kekerasan seksual merupakan Tindakan Pidana Khusus.
“Dari aspek judul, sesuai dengan pendekatan, maka kekerasan seksual dikategorikan sebagai tindak pidana khusus. Sehingga judul sebaiknya menjadi RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” ungkap Barus dikutip dari website DPR, Selasa (7/9).
ADVERTISEMENT
Kata ‘ Penghapusan’ juga terkesan sangat abstrak dan mutlak. Karena penghapusan berarti hilang sama sekali. Ini sesuatu yang mustahil dicapai di dunia ini.
Lebih lanjut, Barus mengatakan bahwa penggunaan judul itu justru akan lebih memudahkan penegak hukum dalam melakukan tugasnya menentukan unsur pidana terhadap pelaku kekerasan seksual.