Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Jumat malam, 1 Juli 2022, Florensia dan beberapa kawannya yang tergabung dalam sebuah komunitas mahasiswa Nusa Tenggara Timur di Yogya tengah mempersiapkan turnamen olahraga bagi mahasiswa perantau asal Indonesia Timur. Semua sudah beres. Tinggal bertanding saja di Babarsari keesokannya.
Florensia pun pulang dengan tenang. Namun, begitu subuh menjelang, ia menerima pesan mengagetkan: batalkan turnamen olahraga, keamanan jadi taruhan.
“Kami dengar, ada rusuh yang melibatkan teman-teman dari NTT dan Maluku di tempat karaoke di Seturan,” kata Florensia kepada kumparan, Rabu (6/7), di Babarsari. Ia meminta namanya disamarkan.
Sabtu pagi itu, Florensia dibuat pusing oleh ramai informasi yang berseliweran simpang siur di grup WhatsApp komunitas mahasiswa NTT.
“Menjelang siang, kami dengar akan ada sweeping. Terus terang saya takut. Karena saya admin grup, saya putuskan untuk menghentikan semua pesan di WAG itu,” ucap Florensia yang juga pimpinan salah satu komunitas NTT di Yogya.
Ketika itu, ada beberapa informasi yang sudah ia pastikan kebenarannya: keributan pecah di Glow Karaoke, Seturan, beberapa ratus meter dari indekos Florensia; disusul oleh insiden pembacokan di Jambusari yang berada dalam radius lima kilometer dari Babarsari.
Florensia menyimpulkan: mereka yang bertikai saling menuntut balas.
“Rabu ini kali pertama saya berani keluar. Sejak hari Sabtu sampai Selasa, saya terus berada di kos. Apalagi Senin, saya begitu takut melihat rusuh di depan kos,” kata Florensia.
Apa yang disaksikan Florensia pada hari Senin, 4 Juli, merupakan rentetan kasus yang bermula pada Sabtu dini hari di Glow Karaoke, Seturan.
Polda DIY menyatakan, kericuhan terjadi saat manajemen karaoke memberi tagihan kepada kelompok L yang berasal dari NTT. Pihak manajemen lantas memanggil kelompok K—yang berasal dari Maluku—selaku jasa pengamanan tempat tersebut. Namun, keributan tak terhindarkan. Perusakan terjadi di tempat karaoke itu.
Monitor komputer dan kaca pecah berserakan. Tiga orang pengunjung yang datang bersama L terluka dan dirawat di rumah sakit. Yang jadi masalah: pertikaian tak selesai di tempat, tapi bereskalasi.
Sabtu pagi, 2 Juli, kelompok L mendatangi kawasan Jambusari. Mereka menduga K dan kelompoknya tinggal di sana. Benar saja, kedua kelompok kembali bersua. Kelompok L pun langsung membalas serangan yang mereka terima sebelumnya di Glow Karaoke.
“Di sana, kelompok L menyerang kelompok K sehingga ada tiga orang dari kelompok K yang terluka,” kata Kabid Humas Polda DIY Kombes Yuliyanto.
Persoalan lanjutan terjadi: salah satu korban di kelompok K ternyata berdarah Papua. Ia bermarga Rumbewas. Otomatis komunitas Papua di Yogya ikut bergolak.
Minggu, 3 Juli, Kepala Badan Intelijen Negara Daerah DIY Brigjen Andri Wibowo mencoba meredam konflik. Ia memanggil dua sesepuh dari NTT dan Maluku untuk duduk bersama.
“Itu langkah kedaruratan. Kita perlu langkah cepat dengan memanggil dua orang yang dituakan di masing-masing komunitas, di antaranya, John Serang Keban dari NTT dan Jacky Latuperissa, Ketua Umum Pattimura Muda dari Maluku,” kata Andry.
Pada pertemuan itu, Andry meminta kedua belah pihak untuk menahan diri. Permintaan itu disanggupi oleh kedua kelompok. Mereka menyiarkan video pernyataan bersama, Minggu malam. Dalam video itu, K—yang bertikai di Glow Karaoke—ikut tampil, menunjukkan raut sesal di wajah.
“Adik-adik [komunitas NTT dan Maluku] semua bergerak konsolidasi. Kita semua bersaudara, sadari,” ujar John Keban. Ia yakin kedua kelompok telah sadar bahwa insiden di Glow Karaoke adalah kesalahan besar.
“Penting bagi kita untuk kembali bersaudara. Anggap saja [insiden di tempat karaoke] itu kecelakaan,” imbuh John.
Meski demikian, ia menduga persoalan masih berbuntut. Sebab, ada korban dari Papua.
Senin di Babarsari
Rumbewas, mahasiswa Papua yang menjadi korban penyerangan di Jambusari, mengalami luka berat di bagian tangan. Ia bakal cacat seumur hidup. Komunitas Papua pun tak puas dengan video pernyataan dari komunitas NTT dan Maluku. Mereka ingin kejelasan dari polisi tentang nasib saudara mereka yang terluka.
“Bagi kami, mau kau punya darah Papua atau tidak, tapi kalau kau lahir dan besar di Papua, kau adalah orang Papua. Dan itu tanggung jawab kami,” kata Marinus Mofu, Ketua Umum Ikatan Pelajar Mahasiswa Papua Yogyakarta (IPMAPA), kepada kumparan, Jumat (8/7).
Marinus pertama kali mendapat kabar soal Rumbewas dari telepon seorang senior. Ia dan beberapa kawan dari IPMAPA lantas mencoba menjenguk korban di RS Jogja International Hospital (JIH). Namun, mereka tak bisa masuk.
“Kami tidak diizinkan masuk. Maka kami di luar dan langsung ke TKP tempat dia terluka,” ujar Marinus. Ketika itu, sambungnya, pihak keluarga sudah membuat laporan polisi untuk meredam situasi.
Tapi, kata Marinus, “Karena itu tangan [Rumbewas] sudah putus, maka perlu penanganan [hukum] khusus. Minimal pelaku ditangkap.”
Martinus lantas mengedarkan surat ajakan aksi damai di depan Polda DIY. Mereka meminta kepolisian memberi perhatian khusus terhadap rekan mereka dari Papua yang menjadi korban sampai mengalami cacat permanen.
“Selama ini [kalau ada] kejadian tak pernah ditangani serius. Maka kami sepakat, Senin pagi kami datangi Polda untuk mempercepat penanganan,” ucap Marinus.
Marinus tak ingat berapa persisnya jumlah massa yang ikut aksi damai di depan Polda DIY. Ia fokus menunggu respons Polda untuk melakukan aksi cepat dan menangkap pelaku. Apalagi, beredar kabar pelaku sempat tertangkap oleh Polres Sleman, namun dilepas.
Dalam aksi di depan Polda itu, Marinus mengakui beberapa peserta membawa senjata tajam. Menurutnya, itu adalah tindakan spontan. Ia tak bisa menahan massa yang ingin membawa peralatan.
Setelah beberapa waktu di Polda DIY, Marinus belum mendapat jawaban memuaskan. Ia mengatakan, Reserse Kriminal Umum hanya menyebut bahwa kasus telah ditangani.
Massa jadi gerah. Mereka ingin aksi khusus. Mereka ingin pelaku segera ditangkap. Massa yang panas kemudian menutup akses jalan Ringroad Utara.
Marinus sadar, jika situasi memanas, kekacauan akan terjadi. Ia dan perwakilan kelompok Maluku, Dani, lalu menemui polisi di pos penjagaan. Ia meminta sekali lagi agar petinggi Polda DIY mau berbicara di hadapan massa.
“Kami bilang, ‘Pak, ini harus cepat dilakukan penanganan. Kalau tidak, teman-teman akan menuju Babarsari… Dirkrimum hanya bilang kasus ini sudah dinaikkan dari penyelidikan ke penyidikan, dan ini sudah prosedural,” kata Marinus.
Massa bergerak meninggalkan Polda DIY dengan jengkel. Mereka ingat beberapa kasus yang pernah dialami komunitas Papua di DIY. Semua tak pernah berakhir jelas.
“Contoh, waktu adik kami ditikam di Babarsari, kami kasih laporan ke Polres Sleman, tapi sampai hari ini tak ada kelanjutan dan kejelasan. Ada juga pelaku rasis terhadap kami di ruko yang dibakar, juga didiamkan,” ucap Marinus.
Penikaman yang dimaksud Martinus terjadi pada seorang remaja Papua pada 23 Desember 2021 di kompleks kantor Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Babarsari.
Akhirnya, harga diri berbicara. Komunitas Papua bergerak ke Babarsari. Mereka meluapkan kekesalan ke ruko-ruko yang ditengarai jadi tempat komunitas pelaku biasa nongkrong.
Marinus heran mengapa polisi tak mencegah massa yang mengamuk. Ia merasa polisi membiarkan saja mereka berbuat semaunya.
“Teman-teman pegang sajam di depan Polda, jadi [seharusnya] setidaknya ada pembatasan dari polisi, jangan sampai mereka melakukan hal-hal yang merusak,” ujar Marinus.
Selain itu, jarak Polda DIY ke ruko Babarsari sejauh 3 km ditempuh massa dengan berjalan kaki 45 menit sampai 1 jam. Artinya, ada cukup waktu bagi polisi untuk menghambat massa yang bahkan mengawali aksi di depan Polda.
Setiba di ruko Babarsari, massa mengamuk sekenanya. Mereka merusak sejumlah kendaraan yang terparkir di depan ruko milik L, pemuda NTT yang terlibat kericuhan di Glow Karaoke dan bersama kelompoknya balas menyerang komunitas Maluku ke Jambusari hingga akhirnya mahasiswa Papua turut jadi korban.
Namun, massa Papua tak menjumpai satu pun kelompok L di Babarsari meski beberapa ruko telah porak poranda.
“Fokus massa di tempat pelaku. Motor [rusak] itu juga motor pelaku, di tempat pelaku. Dia punya rental. Jadi motor-motor yang dibakar itu punya pelaku. Tapi ruko-ruko yang hancur itu karena teman-teman telanjur emosi,” kata Marinus.
Kerusuhan akhirnya berakhir setelah polisi turun tangan membubarkan massa. Sayangnya, ketika itu beberapa ruko sudah kadung rusak. Kaca-kaca berserakan, dan para pegawai yang ketakutan bersembunyi di dalam ruko.
“Kami nunggu polisi datang, baru benar-benar keluar,” ucap Ronal, supervisor Sate Taichan Senayan Babarsari.
Kedai Sate Taichan yang sederet dengan ruko milik L membuat pegawainya mengalami jam-jam mencekam. Setelahnya pun, rumah makan itu tutup satu minggu penuh.
Warjo, seorang pedagang angkringan yang menyaksikan aksi massa, bergidik. Ia merasa beruntung gerobaknya tidak ikut rusak. Beberapa pengemudi ojek online yang sering mangkal di warungnya memberitahunya agar tidak berjualan hari itu.
Alih-alih membuka tenda, Warjo ternganga melihat orang-orang berpedang turun ke jalan. Meski demikian, ujarnya, orang-orang itu sama sekali tak menyasar warga setempat.
Para mahasiswa yang bermukim di Babarsari ikut khawatir. Florensia menelepon salah satu dosennya untuk membawa kawannya yang ketakutan keluar dari Babarsari. Banyak temannya dari komunitas NTT yang menyingkir dari Babarsari karena takut kena amuk. Apalagi massa mencari L yang notabene orang NTT.
Resolusi Damai
Kabinda DIY, Brigjen Andry Wibowo, kembali mendudukkan bersama Jacky Latupeirissa dan John Serang Keban, Rabu malam (6/7), usai kerusuhan mereda.
“Kami mengumpulkan para tetua untuk mendengarkan kemajuan konflik, serta agar konflik tidak meluas,” kata Andry. Ia harus dapat mengidentifikasi masalah dalam komunitas sosial pihak-pihak yang berkonflik.
“Tidak semua dari mereka itu salah. Memang ada beberapa yang kami identifikasi seperti penyakit. Nah, mereka itulah yang harus dipantau pergerakannya,” ujar Andry.
John Keban, sesepuh NTT, mengatakan rekonsilitasi dicapai dalam pertemuan malam itu, antara lain terkait pemulihan kesehatan para korban dan pemulihan sosial ekonomi.
“Pak Sekda DIY mem-backup. Ia akan memberikan tangan palsu bagi korban (Rumbewas). Untuk recovery sosial ekonomi, semua ruko, warung, 7 motor yang dibakar, serta mobil yang rusak telah diinventarisir,” kata John.
John Keban dan Jacky Latupeirissa berkomunikasi dengan para pemuda komunitas mereka dan mengarahkan mereka untuk kembali ke aktivitas yang baik.
“Ke sini kan buat kuliah, bukan berantem… Jadi ya fokus ke bangku kuliah masing-masing dan ibadah,” kata Jacky.
Ia dan John sesungguhnya sama-sama bingung mengapa konflik sampai meletup. Sebab, sehari-hari, orang-orang Indonesia timur makan, minum, dan berkegiatan bersama-sama. Mereka kini menyerahkan kasus tersebut sepenuhnya ke Polda DIY.
Sementara itu, Marinus Mofu mengatakan tak dihubungi perihal rekonsiliasi konflik. Namun, menurutnya, hal itu justru baik karena menghindarkan komunitas Papua dari keberpihakan ke kelompok tertentu.
“Kami tidak punya pikiran untuk berpihak ke siapa pun. Ke NTT kami keluarga, ke Maluku juga sama. Kami netral,” ucap Marinus.
Namun, tegasnya, pelaku penganiayaan tetap harus dituntut sesuai hukum yang berlaku.
Polda DIY kini menetapkan 5 tersangka dari dua tempat kejadian perkara: D dan O sebagai tersangka penganiayaan di Glow Karaoke; dan L, B, dan R sebagai tersangka penganiayaan di Jambusari. Namun, R masih buron.
D diduga membawa senjata tajam berupa parang sepanjang 40 cm yang digunakan untuk membacok bahu salah satu korban di Glow Karaoke, sedangkan O diduga menusuk beberapa korban di pinggang kanan, dada kiri, dan tangan kiri.
“Mereka dikenai Pasal 170 KUHP subsider Pasal 351 KUHP tentang kekerasan secara bersama-sama di muka umum terhadap orang atau barang, dan penganiayaan terhadap orang. Ancaman hukuman di atas 5 tahun [penjara],” kata Direskrimum Polda DIY Kombes Ade Ary Syam Indradi.
Sementara L dan B diduga membawa sekitar 50 orang untuk bikin onar di Jambusari. L juga membawa senjata tajam, sedangkan B membacok salah satu korban dengan pedang. Ulah mereka mengakibatkan 3 orang terluka di Jambusari: korban pertama putus tangan kanan, korban kedua luka bacok di leher, dan korban ketiga terkena busur panah.