Drone Empirit: Yang Bicara Penundaan Pemilu 2024 di Internet Hanya 68 Ribu

17 Maret 2022 18:28 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ismail Fahmi, Analis Media Sosial Drone Emprit. Foto: Fauzan Dwi Anangga/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ismail Fahmi, Analis Media Sosial Drone Emprit. Foto: Fauzan Dwi Anangga/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Klaim Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan yang menyebut ada 110 juta warga Indonesia yang setuju dengan wacana penundaan Pemilu 2024 menuai reaksi publik. Luhut mengeklaim jumlah tersebut berdasarkan big data yang pihaknya kumpulkan, namun enggan membuka data tersebut.
ADVERTISEMENT
Pendiri Drone Empirit, Ismail Fahmi, mengatakan data yang dikumpulkan pihaknya berbeda dengan klaim Luhut. Ia mengungkapkan, pihaknya hanya mengumpulkan 68 ribu yang terkait dengan pembahasan penundaan pemilu.
"Saya kumpulkan dari berita online, FB, Twitter, Instagram, ada Youtube tapi enggak relevan. Di Twitter data yang saya kumpulkan 68 ribu. Tapi itu enggak semua yang ngomong ada yang di-mention atau cuma retweet. Nah, ini kita hitung, sama dengan Lab 45 kita susah dapat di FB, jadi kita pakai pendekatan. Tapi di mark up pun susah dapat 1 juta, apalagi 110 juta," kata Ismail dalam diskusi publik bertajuk 'Meninjau Pandangan Publik dan Analisis Big Data soal Penundaan Pemilu' yang diadakan Perkumpulan Survei Opini Politik Indonesia (Persepsi), Kamis (17/3).
ADVERTISEMENT
Ismail mengungkapkan, total pengguna internet di Indonesia mencapai 204 juta, dengan pengguna media sosial sebesar 191 juta.
"Youtube 139 [juta], Instagram 199, Twitter hanya 18 juta," ungkapnya.
Untuk mendapatkan big data seperti yang diklaim Luhut, Ismail menggunakan 'Presiden', 'Jokowi', dan 'Pemilu' sebagai kata kunci. Kemudian diperluas lagi dengan kata kunci 'Perpanjangan', '2027', '3 periode', dan 'Penundaan'.
"Jadi kita pengin tahu orang yang ngomong intensinya apa. Ini datanya lebih sedikit daripada kalau kita enggak pakai," tuturnya.
Ismail kemudian menganalisis data dari 1 Januari. Berdasarkan data yang dia kumpulkan hingga 23 Februari, yang membicarakan penundaan pemilu di media sosial jumlahnya sangat kecil.
"Padahal Cak Imin bilang, udah bilang [sampai] 100 juta. Itu data dari mana? Padahal yang ngomong enggak ada, belum ramai. Jadi kita juga harus tahu periodenya," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Kemudian, Ismail menjelaskan ada Open Source Intelligent yang digunakan untuk mengumpulkan data tanpa harus log in ke media sosial. Melalui Open Source Intelligent, pihaknya bisa mengolah big data yang berasal dari kata kunci yang telah ditentukan.
"Nanti ada yang Tweet masuk, ada yang susah [seperti] Facebook, Instagram karena masalah privasi. Zaman dulu saya ingat sampai April 2014 itu bisa diambil, tapi sejak April disetop. Jadi kalau mau ambil data harus dikumpulkan. Akun-akun paling populer, tokoh-tokoh, FB group, saya harus kumpulin. Targeted. Enggak bisa dapat semua," jelasnya.
Meski demikian, menurutnya sulit mendapatkan data 110 juta seperti yang diklaim Luhut. Bahkan untuk mendapatkan 18 juta data user dari Twitter tidak mungkin.
"Nah, apa pemerintah bisa? Banyak data scientist. Kita ada asosiasi ilmuwan data dan lain-lain, banyak sekali. Karena kita gunakan metodologi, jadi cukup di-share metodenya, kita bisa replikasi. Apa di pemerintah ada? Ada di Kominfo. Sejak 2017. Itu bisa dipakai kalau mau tahu isu-isu penundaan pemilu. Sistemnya sendiri dan scientist-nya banyak," jelasnya lagi.
ADVERTISEMENT
Namun, Ismail mengatakan masih belum bisa menebak dari mana big data yang diklaim Luhut. Ia memperkirakan data tersebut di mark up, meski di saat yang bersamaan skeptis angkanya bisa mencapai ratusan juga.
"Saya enggak bisa mengira-ngira. Buat saya itu hanya mungkin di Twitter dan kalau di mark up. Secara sosial, psikologis. Ya, tapi itu bukan big data kalau begitu," pungkasnya.