Efektivitas Lockdown Tergantung Isi PP Karantina Wilayah

28 Maret 2020 7:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM, Zainal Arifin Mochtar. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM, Zainal Arifin Mochtar. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
ADVERTISEMENT
Desakan agar pemerintah segera melakukan lockdown semakin gencar. Pasalnya, imbauan physical distancing hingga kampanye #dirumahaja tidak mampu menekan angka penyebaran COVID-19 di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Hingga Jumat (27/3), jumlah kasus positif virus corona sudah lewat dari seribu. Padahal, belum ada satu bulan sejak kasus pertama ditemukan.
Namun, apakah kebijakan lockdown juga akan efektif mengenyahkan virus corona dari Indonesia?
Menurut Pakar Hukum Tata Negara Zainal Arifin Mochtar, seberapa efektifnya lockdown akan sangat bergantung pada PP tentang Karantina Wilayah yang tengah digodok pemerintah. Menurutnya, karantina lokal bisa diimplementasikan dalam berbagai hal.
Seorang warga melintas di samping pembatas jalan di kawasan perempatan Alun-alun Kota Tegal, Jawa Tengah Foto: ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah
"Misalnya kalau karantina lokal berarti ditutup juga semua sumber sumber pendapatan harian misal kaya pedagang kelontong, sopir online, kalau ditutup juga itu semua, maka negara harus menyediakan jaring pengaman kan," ucap Zainal kepada kumparan, Sabtu (28/3).
Menurutnya, setiap daerah memiliki kemampuan berbeda dalam memenuhi kebutuhan masyarakatnya jika karantina wilayah diterapkan. Bagi wilayah seperti DKI, kata Zainal, mungkin karantina wilayah tidak terlalu menjadi masalah. Namun berbeda dengan daerah lain yang memiliki banyak kantung kemiskinan.
ADVERTISEMENT
"Jadi karantina wilayah sangat dimungkinkan, tapi tergantung pada PP-nya, menyikapi konsep karantina lokal itu (seperti apa), ya kan?" tegas Zainal.
Pasar Ijabag di Kota Samarinda sepi pasca penetapan local lockdown oleh Gubernur Kaltim. Foto: kumparan
"Kalau PP-nya hanya memberi garis umum, sedangkan tata pelaksanaannya, decision making-nya diberikan ke daerah, berarti kan tetap saja daerah yang menentukan akan menutup atau enggak. Makanya saya bilang tadi, tergantung isi PP-nya," imbuhnya.
Masalah lainnya yang harus diselesaikan dari PP tersebut adalah penyeragaman pemahaman antar-wilayah. Dengan wilayah yang begitu luas, pemahaman antara satu kabupaten kota dengan yang lainnya dalam menyikapi karantina wilayah akan sangat beragam.
"Kalau diseragamkan, kan bahaya juga. Karena daerah yang merasa, 'wah saya enggak terlalu terdampak sebenarnya' atau kalau diseragamkan nanti ada daerah yang bilang tidak mau tutup. Tapi ada daerah yang harus ditutup," ucapnya.
ADVERTISEMENT
Ia memberikan contoh, misalnya di Tegal yang saat ini sudah ditetapkan sebagai zona merah di Jawa Tengah. Jika aturan ini diberlakukan dan Tegal ditutup, menurut Zainal, hal ini akan kurang efektif karena daerah tersebut akan dilewati dan dipadati pemudik saat Idul Fitri bulan depan.
"Itu kan tinggi mobilitasnya jelang Ramadhan. Orang yang enggak kerja, anak-anak sudah libur, orang mau mudik. Ancaman mudik itu tinggi. Kalau pemerintah seragamkan konsep lockdown, yang di dalam enggak boleh keluar dan di luar enggak boleh masuk, itu tidak akan sederhana," tuturnya.
Belum lagi, pemerintah juga harus menghitung pemberian bantuan kepada masyarakat yang tidak bisa bekerja atau mencari makan selama lockdown. Pemerintah, kata Zainal, juga harus memikirkan bagaimana cara menyalurkan bantuan ini agar merata di daerah-daerah terdampak.
ADVERTISEMENT
Namun, Zainal menilai, ada beberapa daerah yang memang harus diberlakukan lockdown total karena kasus positif virus corona nya sudah tinggi, misalnya Jakarta. Apalagi, potensi mudik dari Jakarta ke daerah lain cukup tinggi dan bisa membuat penyebaran virus ini semakin meluas.
"Dengan 10 atau 11 juta penduduk, kalau enggak lockdown itu yang 8 juta akan pulang kampung dan akan menyebarkan virus ini kemana-mana. Mumpung godaan mudik belum tinggi, logikanya ya harus lockdown," kata Zainal.
"Dengan potensi 10 sampai 11 juta penduduk (yang harus ditanggung hidupnya), negara harus siap banget," tegasnya.
Ia menyayangkan, sikap pemerintah yang terkesan belum tegas dan masih memikirkan konsekuensi yang harus ditanggung. Menurut Zainal, baik lockdown total maupun lockdown parsial yang masih membolehkan beberapa sektor beroperasi, dua-duanya memiliki konsekuensi yang harus ditanggung.
ADVERTISEMENT
"Pertanyaannya, dari sekian skenario, yang paling negara siap yang mana? Itu yang diambil negara," pungkasnya.