LIPSUS MAKAR, Politikus PAN Eggi Sudjana

Eggi Sudjana dalam Jerat Tuduhan Makar

20 Mei 2019 15:04 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Politikus PAN Eggi Sudjana (tengah) bersiap menjalani pemeriksaan di Diskrimum Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (13/5/2019). Foto: ANTARA FOTO/Jaya Kusuma
zoom-in-whitePerbesar
Politikus PAN Eggi Sudjana (tengah) bersiap menjalani pemeriksaan di Diskrimum Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (13/5/2019). Foto: ANTARA FOTO/Jaya Kusuma
Firasat akan ditahan telah membayangi pikiran Eggi Sudjana ketika bertandang ke Polda Metro Jaya untuk memenuhi panggilan penyidik sebagai tersangka kasus dugaan makar. Sore itu, Senin (13/5), Eggi segera melontarkan tanya kepada polisi yang memeriksanya, “Apakah saya akan ditahan?”
Semula ia mendapat jawaban “Tidak” atas pertanyaannya itu. Namun intuisinya berkata lain, terlebih saat ia diminta melakukan rekam sidik jari oleh penyidik sebelum pemeriksaan usai.
Selang sepersekian menit setelah dicecar 50 pertanyaan selama 13 jam, firasat Eggi mewujud nyata. Surat perintah penahanan terhadapnya dibacakan di depan tim kuasa hukum dan keluarga yang mendampingi selama proses pemeriksaan.
Tak terima, Eggi pun menanyakan hal apa yang ia langgar sampai harus ditahan. “Bang Eggi keberatan dengan penangkapan. Terjadi ribut dan argumentasi yang sangat tinggi. Saya ribut, (saya bilang) ini enggak etis,” kata anggota Tim Kuasa Hukum Eggi, Elida Netti, kepada kumparan di Kantor Peradi, Slipi, Jakarta Barat, Kamis (16/5).
Mereka heran mengapa Eggi sampai harus ditahan, sebab tim kuasa hukum yakin Eggi akan kooperatif menjalani pemeriksaan. Sebaliknya, pihak kepolisian mengatakan penahanan Eggi agar Eggi tak melarikan diri.
“Subjektivitas penyidik agar TSK (tersangka) tidak menghilangkan barang bukti, tidak melakukan perbuatan yang sama, dan tidak melarikan diri,” ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono.
Menurut Argo, Eggi kurang kooperatif dalam menjalani pemeriksaan. Selain sempat mangkir pada pemeriksaan lanjutan pada Jumat (3/5), Eggi menolak memberikan ponselnya untuk diperiksa penyidik.
“Dia mau diperiksa, tapi menolak atau nanti keluar (ruangan). Kita kemudian mau sita HP-nya, tidak dikasihkan (oleh Eggi), padahal untuk barang bukti,” kata Argo di Markas Polda Metro Jaya.
Pengacara Eggi Sudjana, Pitra Romadoni di Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya. Foto: Raga Imam/kumparan
Kuasa hukum Eggi Sudjana lainnya, Pitra Romadoni, menilai banyak kejanggalan dalam penangkapan Eggi, termasuk pasal yang menjeratnya. Menurut dia, penahanan Eggi prematur sebab banyak hak-hak kliennya yang belum dipenuhi.
“Pertama, soal saksi ahli. Yang dimintai keterangan hanya ahli dari pelapor. Seharusnya ahli dari kita (tim pengacara Eggi) juga dimintai keterangan dong. Biar berimbang,” kata Pitra kepada kumparan di The H Tower, Kuningan, Jakarta Selatan, pada Rabu (15/5).
Kedua, gugatan praperadilan yang diajukan Eggi atas statusnya sebagai tersangka dugaan makar masih dalam proses. Sidang praperadilan Eggi baru akan berlangsung 29 Mei 2019.
Ketiga, Eggi menolak ditahan dengan alasan profesinya sebagai pengacara. “Beliau ini kan seorang advokat. Advokat itu sesuai dengan Pasal 16 UU Nomor 18 Tahun 2003 (tentang Advokat) tidak bisa dipidanakan. Dia sudah jelas masuk tim advokasi Badan Pemenangan Nasional (Prabowo-Sandi). Nah, dia sebagai tim advokasi ini dilindungi oleh UU Advokat,” ujar Pitra.
Keempat, lanjut Pitra, pasal yang menjerat Eggi berbeda dengan pasal yang digunakan pelapor dalam melaporkan Eggi. “Yang disangkakan Pasal 107, 110, 87 KUHP (tentang makar) dan termasuk tentang penyebaran berita bohong. Padahal laporan ke polisi itu Pasal 160 (tentang penghasutan).”
Atas berbagai protes dari tim pengacara Eggi itu, Argo menjawab, “Pelaporannya tidak hanya satu. Ada keterangan saksi, keterangan ahli, capture video. Mau di warung kopi juga bisa ditangkap, di ruangan juga bisa, di parkiran juga bisa. Misalnya ada keberatan, silakan (ajukan) praperadilan.”
Jerat pasal makar maupun seruan people power bukan kali ini saja dialami dan dilakukan Eggi. Ketika Prabowo-Hatta kalah di Mahkamah Konstitusi pada Pemilu Presiden 2014, Eggi juga pernah menyeru people power. Saat itu ia dipolisikan dengan tuduhan makar, namun kasusnya tak berlanjut.
Eggi kembali terkait kasus dugaan makar saat unjuk rasa Aksi 212 pada 2016. Dalam sebuah poster, nama Eggi disebut masuk daftar donatur gerakan makar. Lagi-lagi, kasus itu menguap begitu saja.
Eggi juga pernah disebut sebagai Dewan Penasihat Saracen—sindikat penyedia jasa konten kebencian berdasar SARA. Meski membantah, Eggi sempat diperiksa polisi pada September 2017.
Dari People Power ke Tuduhan Makar Foto: Basith Subastian/kumparan
Kali ini, jelang pengumuman hasil penghitungan suara Pilpres 2019 oleh KPU, Eggi dilaporkan ke polisi oleh dua orang dengan dua tuduhan berbeda. Pertama, pada 19 April ia dilaporkan oleh Supriyanto, relawan Jokowi-Ma’ruf Center, dengan tuduhan penghasutan. Kedua, lima hari kemudian giliran caleg PDIP Dewi Ambarawati yang melaporkan Eggi dengan tudingan rencana makar.
Kedua laporan itu berpangkal pada orasi Eggi dalam deklarasi kemenangan Prabowo yang pertama di kediaman Prabowo, Jalan Kertanegara Nomor 4 Jakarta Selatan, pada 17 April, sore hari usai pencoblosan.
Saat itu Eggi menyeru, “Kekuatan people power harus dilakukan, setuju? Berani?” Massa yang berkumpul pun menjawab, “Berani!”
Eggi lantas melanjutkan pidatonya dengan berkata, “Kalau people power itu terjadi, kita tidak perlu lagi mengikuti konteks tahapan-tahapan (pemilu), karena ini sudah kedaulatan rakyat. Bahkan mungkin ini cara dari Allah untuk mempercepat Prabowo dilantik. Tidak harus menunggu 20 Oktober.”
Ucapan Eggi tak berhenti di mulut. Ia melanjutkan niatnya itu dengan mengikuti rapat di sebuah rumah yang disebut Rumah Rakyat di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Minggu (5/5). Pertemuan itu dihadiri pemilik rumah, Habib Umar Moh. Alhamid. Tampak pula antara lain Letjen TNI (Purn) Syarwan Hamid dan politikus senior Gerindra Permadi.
Hasil diskusi di rumah itu memutuskan untuk tidak mempercayai segala keputusan yang bakal dikeluarkan oleh KPU pada 22 Mei melalui gerakan “We Don’t Trust”. Habib Umar kemudian menjadi ketua gerakan itu, sedangkan seorang bernama Aminuddin yang juga ikut pertemuan tersebut menjadi sekjen.
Menurut Habib Umar, semula tak ada niat untuk melakukan aksi turun ke jalan, sebab itu tak akan mengubah hasil rekapitulasi suara KPU. Namun semua berubah ketika Mayjen TNI (Purn) Kivlan Zen datang.
Mantan Kepala Staf Kostrad ABRI itu justru mengajak seluruh elemen masyarakat yang hadir di Rumah Rakyat untuk melakukan demonstrasi.
“Dia (Kivlan) bicara ‘Ayo kita besok (ke KPU demo)’. Loh, saya kaget. (Itu) bertolak belakang. Dia membuat statement yang di luar konteks,” kata Habib Umar kepada kumparan di Rumah Rakyat, Jumat (17/5).
Saat itu, menurut Habib Umar, Kivlan berkata, “Tanggal 9 kita merdeka. Ikuti saya ke Lapangan Banteng. Tanggal 9 kita akan merdeka. Siapa pun yang menghalangi, kita lawan.”
Pidato Kivlan itu berlangsung singkat, hanya sekitar satu menit. Sampai-sampai peserta yang ingin menyanggah mengurungkan niat untuk membantah karena Kivlan menyudahi ucapannya begitu saja.
Pada akhirnya, ucapan Kivlan terlaksana. Bersama Eggi, Kivlan memimpin massa berjumlah sekitar 200 orang beraksi di depan kantor Badan Pengawas Pemilu, Kamis (9/5).
Eggi Sudjana (kiri) dan Kivlan Zen (kanan) di depan Bawaslu, Jakarta, Kamis (9/5). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Aksi massa tanggal 9 Mei yang menuntut Bawaslu mendiskualifikasi Jokowi-Ma’ruf Amin itu tak berlangsung lama. Mereka segera dibubarkan polisi sebab tidak memiliki izin untuk berdemonstrasi.
Hari itu juga Eggi ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan makar, sementara Kivlan dilaporkan ke polisi dan sempat dicegah ke luar negeri.
“Kami ke Bawaslu untuk menyampaikan pendapat. Nggak diterima Bawaslu ya sudah. Saya nggak komentar lagilah, biar nanti diurus pengacara,” ujar Kivlan kepada kumparan.
Mayor Jenderal TNI Purn Kivlan Zen (tengah) berjalan meninggalkan Bareskrim Polri usai menjalani pemeriksaan di Jakarta, Senin (13/5/2019). Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Sementara dugaan keterlibatan Eggi dibantah oleh Elida Netti, salah satu pengacaranya.
“Eggi bukan inisiator. Dia bukan siapa-siapa. Eggi Sudjana tidak punya persiapan untuk acara (demo) itu. Dia tidak pernah melakukan rapat (di Rumah Rakyat). Kalau rapat di Rumah Rakyat Tebet yang hadir waktu itu Kivlan Zen,” kata Elida.
Lagi pula, imbuh Pitra, people power yang diserukan Eggi adalah dalam konteks memprotes kecurangan pemilu. “Ini kan pendapat dia dalam konteks jikalau kecurangan tidak diusut, maka akan people power. Jadi apa yang salah? Ada unjuk rasa pun itu masalahnya di mana? Enggak ada masalah karena itu HAM untuk menyatakan pendapat di muka umum.”
Pitra menekankan, “Eggi bicara sebagai Tim Advokasi BPN Prabowo-Sandi, dalam hal ini mengadvokasi kecurangan atau pun melihat kecurangan-kecurangan yang terjadi. Yang namanya makar itu adalah menggulingkan pemerintahan yang sah.”
Namun aparat keamanan mungkin tak sependapat. Mereka tampak memperketat pengawasan menjelang tanggal krusial 22 Mei. Menkopolhukam Wiranto bahkan membentuk Tim Hukum Nasional untuk memantau tindakan dan ucapan pihak-pihak yang mengarah ke perbuatan melawan hukum.
“Makanya kalau enggak mau berurusan dengan polisi, jangan ngomong macem-macem,” kata mantan Panglima ABRI tersebut.
Secara terpisah, Juru bicara Badan Intelijen Negara Wawan Purwanto mengatakan, BIN telah mendeteksi adanya upaya makar. “Karena ini tahun politik, memang ada yang mencoba mengarah untuk bagaimana bergerak ke arah sana (makar),” kata dia ketika dihubungi kumparan.
Menurut Wawan, ada beberapa pihak yang memaksakan kehendak tertentu dengan cara menyerukan people power hingga mendukung khilafah.
“Mereka bicara dilindungi UU, tapi tidak boleh merendahkan satu sama lain. Mereka harus paham, jangan lantas terkaget-kaget andai kata apa yang disampaikan justru membawanya ke ranah hukum,” ujar Wawan.
Jerat Pasal Makar Foto: Basith Subastian/kumparan
Penerapan pasal makar yang belakangan sering digunakan kepolisian itu menuai pro dan kontra. Terlebih mengingat ancaman delik makar tidak main-main, yakni hukuman pidana penjara sementara 20 tahun atau penjara seumur hidup.
Selain Eggi Sudjana, pasal makar juga tengah membidik sejumlah pihak lainnya seperti Kivlan Zen, Permadi, dan Amien Rais. Ketiganya hingga kini masih berstatus sebagai saksi. Sementara Lieus Sungkharisma telah ditangkap tim penyidik Ditreskrimsus Polda Metro Jaya, pada Senin (20/5), setelah dua kali mangkir dari pemeriksaan.
Yang terbaru, mantan Danjen Kopassus Mayjen (Purn) Soenarko diadukan oleh pengacara bernama Humisar Sahala karena menyerukan rencana mengepung KPU dan Istana Merdeka pada 22 Mei nanti. Ucapan Soenarko itu terekam dalam sebuah video dan disebarkan melalui YouTube.
Massa aksi di depan Gedung Bawaslu, Jakarta, pada Jumat (10/5). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Lema “makar” sebenarnya berasal dari Bahasa Arab yang bermakna “‘tipu daya”. Kata ini dipilih sebagai terjemahan dari KUHP Belanda yang menggunakan istilah aanslag, artinya serangan bersifat kekerasan.
Ketika diserap ke dalam KBBI, makar diartikan sebagai akal busuk, tipu muslihat, perbuatan dengan maksud hendak menyerang, atau perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintahan yang sah.
“Jadi kalau kita balik ke makna aslinya itu 'serangan', harus ada permulaan pelaksanaan dalam bentuk persiapan untuk melakukan serangan,” tutur Anggara, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) kepada kumparan.
Jika pasal makar digunakan dengan mudah seperti saat ini, Anggara khawatir masyarakat akan takut untuk mengemukakan pendapat di depan umum. “Kalau ditarik-tarik semudah itu ya gampang, kan. (Setiap demo bisa disebut) makar terhadap pemerintahan yang sah.”
Alhasil, demokrasi dapat terancam. “Komunikasi politik harusnya bisa berjalan. Tidak dengan penggunaan kekuasaan yang berlebihan. Menggunakan hukum pidana, apalagi dengan cara yang salah, itu menggunakan kekuasaan yang berlebihan,” kata dia.
Ketua YLBHI Asfinawati menilai ada upaya dari kepolisian untuk menerapkan pasal-pasal subversif di masa lalu yang sudah dicabut untuk menjerat orang yang diduga makar. Menurutnya, makar baru bisa dikenakan jika terdapat serangan atau percobaan serangan.
“Kalau ada orang mengucapkan pernyataan-pernyataan saja, maka itu tidak bisa dikenakan pasal makar. Misalnya kemarin ada yang mau memenggal kepala presiden, dia kena pasal pidana, tapi bukan makar. Karena tidak ada serangan, hanya ngomong,” ucap Asfinawati usai diskusi Menakar Makar di kantor LBH Jakarta.
Ia melihat penerapan pasal makar kali ini kental nuansa politis. “Pihak yang menangkap dan pihak yang ditangkap, keduanya politis.”
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten