Eijkman Bicara Siklus Mutasi dan Kapan Pandemi Corona Berakhir

4 Januari 2021 11:33 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi virus corona. Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi virus corona. Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Sebagaimana lazimnya virus lain, setiap kali virus corona tipe baru yang pertama teridentifikasi di Kota Wuhan, China, Desember 2019 itu bereplikasi, maka dia akan bermutasi.
ADVERTISEMENT
Setiap kali virus tersebut memperbanyak diri, dia akan bermutasi sambil di dalamnya terjadi proses seleksi.
"Yang perlu dipahami semua orang saat ini, tidak ada "niat" dari SARS-CoV-2 untuk menjadi lebih ganas atau kurang ganas menginfeksi manusia. Virus tersebut hanya mau bertahan hidup saja, sehingga perlu menyesuaikan diri terhadap lingkungan barunya," kata Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Prof Dr Amin Soebandrio dikutip dari Antara, Senin (4/1).
SARS-CoV-2 akan bermutasi dan ketika itu bagus untuknya, maka virus tersebut akan selamat. Tapi sebaliknya, jika mutasi yang dilakukannya ternyata tidak berjalan baik, maka akan mati atau terjadi silent mutation karena tidak terjadi perubahan apa pun dalam kromosomnya.
"Ada proses seleksi di sana. Sehingga semakin lama virus itu bermutasi dan dapat bertahan hidup, maka akan menjadi lebih fit dan cocok terhadap lingkungannya," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Kondisi lingkungan yang berbeda-beda, mulai dari yang berkaitan dengan suhu hingga sistem kekebalan tubuh manusia sangat berpengaruh terhadap kondisi virus.
Sehingga faktor genetika manusia juga mempengaruhi, yang membuat mutasi SARS-CoV-2 pada orang Indonesia bisa berbeda hasilnya jika terjadi pada orang Eropa atau Amerika Serikat.
Ilustrasi positif terkena virus corona. Foto: Shutter Stock
Virus tidak salah
Jika mengikuti bagaimana manusia, mikroba, satwa dan tumbuhan hidup di lingkungannya saat ini, dengan ilustrasi konflik manusia dengan satwa liar yang semakin sering terjadi, menjadi gambaran jelas di masa depan kemungkinan pandemi lebih besar bisa saja terjadi.
Yang sebelumnya mereka hidup tenang di dalam hutan, namun secara insting mereka mencari lahan baru yang lebih nyaman ketika kondisi “rumahnya” tersebut sudah tidak bagus lagi. Hutan dalam kondisi baik sebenarnya “membatasi” ruang geraknya mikroba.
ADVERTISEMENT
"Sama dengan manusia. Jadi mereka enggak salah," ujar Prof Amin menjelaskan alasan virus menginfeksi manusia karena ingin bertahan hidup dengan mencari “rumah” baru.
Dalam persaingan itu, terjadi interaksi antara virus dan manusia. Awalnya manusia memiliki kekebalan dan virus tidak membuat sakit, sehingga mikroba memilih hidup di mahluk hidup lain, seperti kelelawar dan satwa liar lainnya.
Namun virus melakukan penyesuaian dengan bermutasi sehingga akhirnya penularan antara manusia ke manusia dapat terjadi. Ketika penularan antarmanusia sudah dapat terjadi, penularannya akan semakin cepat terjadi.
Kepala Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman Prof Amin Soebandrio. Foto: Youtube/@DPMPTSP DKI Jakarta
"Jika semua sudah terinfeksi virus tersebut, tetapi tidak menyebabkan sakit keras, artinya sebagian besar manusia sudah punya kekebalan terhadapnya. Saat itu virus akan menyingkir, sehingga untuk sementara pandemi akan selesai," ungkap dia.
ADVERTISEMENT
Tapi, lanjut dia, virus tidak hilang, dia hanya akan keluar dari tubuh manusia untuk mencari host baru. Saat itu sebagian besar dari mereka akan mati, namun yang cocok dengan host baru akan bertahan beberapa bulan atau tahun sampai suatu ketika bisa menginfeksi manusia lagi.
Siklus wabah penyakit seperti itu memang terjadi lima hingga 10 tahunan, namun dengan kondisi seperti sekarang di mana hutan dan satwa liar semakin menyusut bisa saja menjadi lebih dekat jarak waktu peristiwanya.
Perlu dipahami, tidak hanya SARS-CoV-2 yang dapat menginfeksi manusia, karenanya kewaspadaan itu perlu terus ada dengan menjalankan hidup bersih.