Eks Sekretaris MA Nurhadi Bersaksi di Sidang Suap Eddy Sindoro

21 Januari 2019 13:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Eks sekretaris MA (batik cokelat) Nurhadi memenuhi panggilan dalam proses penyidikan terhadap tersangka Eddy Sindoro di KPK, Selasa (6/11/2018). (Foto: Aprilandika Pratama/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Eks sekretaris MA (batik cokelat) Nurhadi memenuhi panggilan dalam proses penyidikan terhadap tersangka Eddy Sindoro di KPK, Selasa (6/11/2018). (Foto: Aprilandika Pratama/kumparan)
ADVERTISEMENT
Mantan Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi, menjadi salah satu saksi dalam sidang kasus dugaan suap yang diduga dilakukan bekas Presiden Komisaris Lippo Group, Eddy Sindoro. Nurhadi akan memberikan keterangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (21/1).
ADVERTISEMENT
"Kami panggil delapan orang saksi tapi yang konfirmasi hadir ada empat orang, yaitu Pak Nurhadi, Agus Riyadi, Sirilus Irianto dan Khuzaini," ujar jaksa penuntut umum KPK Abdul Basir dalam persidangan.
Saksi lainnya, yakni Agus Riyadi, merupakan seorang pengacara. Sirilus adalah seorang karyawan swasta di PT Lumbung Sejahtera, sedangkan Khuzaini berprofesi sebagai tukang ojek. Keempatnya sudah berada dalam persidangan dan bersumpah sebelum bersaksi.
Di kasusnya, Eddy Sindoro didakwa menerima suap dari eks Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution. Motif pemeberian suap salah satunya agar Edy Nasutiton bisa menerima pendaftaran Peninjauan Kembali (PK) perkara niaga yang diajukan PT Across Asia Limited (AAL) --anak usaha Lippo Group-- pada 15 Februari 2016. Padahal, batas waktu pengajuan PK sesuai Pasal 295 ayat (2) UU Kepailitan sudah kedaluwarsa yakni selama 180 hari sejak putusan kasasi diterima PT AAL pada 7 Agustus 2015.
ADVERTISEMENT
Dalam pengurusan perkara ini, nama Nurhadi turut disebut di dakwaan. "Di mana sebelum berkas perkara dikirimkan, Edy Nasution dihubungi oleh Nurhadi selaku Sekretaris Mahkamah Agung yang meminta agar berkas niaga PT AAL segera dikirimkan ke Mahkamah Agung," kata jaksa KPK saat membacakaan surat dakwaan Eddy Sindoro di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (27/12).
Sidang Eddy Sindoro dengan agenda mendengarkan keterangan saksi di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sidang Eddy Sindoro dengan agenda mendengarkan keterangan saksi di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
Proses pengajuan PK PT AAL itu berawal saat perusahaan tersebut dinyatakan pailit berdasarkan putusan kasasi MA yang disampaikan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 7 Agustus 2015. Atas putusan itu, PT AAL tidak mengajukan PK ke MA sampai dengan batas waktu 180 hari, sebagaimana diatur dalam Pasal 295 ayat (2) Undang-Undang nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan.
ADVERTISEMENT
Namun untuk menjaga kredibilitas PT AAL yang sedang berperkara di Hongkong, Eddy Sindoro memerintahkan pegawai PT Artha Pratama Anugerah, Wresti Kristian Hesti Susetyowati, untuk mengajukan PK dan melakukan pengecekan ke PN Jakpus.
Pada 16 Februari 2016, Wresti menemui Edy Nasution di PN Jakpus. Wresti meminta Edy Nasution untuk menerima pendaftaran PK PT AAL meski sudah lewat batas waktu pendaftaran.
Edy Nasution awalnya menolak karena waktu pendaftaran PK telah lewat. Akan tetapi, setelah ada perjanjian kesepakatan imbalan uang Rp 500 juta, Edy Nasution menyanggupi permintaan Wresty.
Untuk pengajuan PK, PT AAL membutuhkan salinan putusan kasasi. Melalui kuasa hukum, di antaranya Agustriyadhy dan Dian Anugrah, PT AAL meminta salinan putusan kasasi itu kepada Edy Nasution.
ADVERTISEMENT
Pada 25 Februari 2016, Edy Nasution kemudian memberikan putusan kasasi tersebut setelah Agustriyadhy memberikan uang kepada Edy Nasution sebesar USD 50 ribu. Pemberian uang itu atas sepengetahuan Eddy Sindoro.
Selanjutnya Edy Nasution memerintahkan anak buahnya, Sarwo Edy, agar PT ALL mengajukan PK diproses seperti biasa. Edy Nasution lalu memberikan imbalan USD 4.000 kepada Sarwo.
Pada 2 Maret 2016, PK diajukan oleh PT AAL dan diterima Edy Nasution yang sekaligus memberi pemberitahuan kepada pihak termohon. Pada 30 Maret 2016, berkas PK dikirim ke MA.
Menurut jaksa, sebelum berkas perkara dikirim, Edy Nasution dihubungi Nurhadi untuk segera mengirimkan berkas perkara niaga PT ALL ke MA. Setelah pendaftaran PK, Presiden Direktur PT Paramount Enterprise, Ervan Adi Nugroho, menyiapkan uang Rp 50 juta untuk Edy.
Sekretaris MA Nurhadi (tengah) di sebuah acara. (Foto: Dok. Makamah Agung)
zoom-in-whitePerbesar
Sekretaris MA Nurhadi (tengah) di sebuah acara. (Foto: Dok. Makamah Agung)
Kemudian uang pemberian Ervan itu diberikan kepada Edy Nasution melalui Doddy sebesar Rp 50 juta dalam paper bag bermotif batik pada 20 April 2016 di Hotel Acacia, Jakarta Pusat. Tak lama setelah penyerahan uang itu, Doddy dan Edy Nasution ditangkap KPK beserta barang bukti.
ADVERTISEMENT
Secara terpisah, dalam proses penyidikan terhadap Eddy Sindoro, Nurhadi sudah beberapa kali diperiksa sebagai saksi untuk Eddy Sindoro, bahkan kediaman Nurhadi sempat digeledah KPK.
Dari penggeledahan tersebut, penyidik menyita uang senilai Rp 1,7 miliar yang diduga masih berkaitan dengan kasus tersebut. Bahkan, KPK menduga ada upaya menghilangkan dokumen terkait perkara. Diduga, dokumen tersebut sempat disobek dan dibuang ke kloset toilet.
KPK juga sempat mencegah Nurhadi untuk bepergian keluar negeri. Namun hingga saat ini, status Nurhadi masih sebagai saksi. Nurhadi sudah menampik keterlibatannya dalam kasus tersebut. Uang yang disita KPK diklaimnya sebagai uang pribadi, tak terkait kasus yang menimpa Eddy Sindoro.
Tak hanya agar PN Jakpus menerima pendaftaran PK PT AAL, suap itu juga dilakukan agar Edy Nasution menunda proses aanmaning perkara niaga PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) melawan PT Kwang Yang Motor (PT Kymco).
ADVERTISEMENT
Eddy Sindoro didakwa bersama-sama melakukan suap itu bersama anak buahnya, yakni pegawai PT PT Artha Pratama Anugerah, Wresti, Presiden Direktur PT Paramount Enterprise Ervan Adi Nugroho, Hery Soegiarto dan Doddy Aryanto Supeno.