Eks Sekretaris MA Nurhadi Didakwa Terima Suap Rp 45,7 Miliar

22 Oktober 2020 11:55 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tersangka kasus dugaan suap gratifikasi senilai Rp46 miliar, Nurhadi memasuki mobil usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (2/6). Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
zoom-in-whitePerbesar
Tersangka kasus dugaan suap gratifikasi senilai Rp46 miliar, Nurhadi memasuki mobil usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (2/6). Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kasus mafia peradilan yang menjerat mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA), Nurhadi Abdurrachman, akhirnya disidang di Pengadilan Tipikor Jakarta. Ia didakwa bersama menantunya, Rezky Herbiyono.
ADVERTISEMENT
Kedua terdakwa tidak hadir secara langsung di ruang sidang, melainkan melalui video conference dari Gedung KPK. Namun hakim, jaksa, serta sebagian pengacara tetap hadir di ruang sidang.
Jaksa penuntut umum KPK mendakwa Nurhadi telah menerima suap senilai Rp 45.726.955.000 miliar dari Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT), Hiendra Soenjoto. Suap diberikan melalui Rezky.
"Uang tersebut diberikan untuk menggerakkan para terdakwa agar mengupayakan pengurusan perkara antara PT MIT melawan PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) terkait perjanjian sewa menyewa depo container milik PT KBN seluas 57.330 m2 dan 26.800 m2 di Cilincing, Jakarta Utara, dan gugatan antara Hiendra Soenjoto melawan Azhar Umar," ujar jaksa membacakan dakwaan dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (22/10).
ADVERTISEMENT
Jaksa kemudian membeberkan dugaan suap yang diterima Nurhadi dalam 2 perkara tersebut:
Mantan Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi. Foto: mahkamahagung.go.id
Kasus bermula pada 27 Agustus 2010 saat Hiendra mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum ke PN Jakarta Utara. Gugatan didasari pada pemutusan secara sepihak atas perjanjian sewa menyewa depo container milik PT KBN di Cilincing, Jakut.
PN Jakut mengabulkan gugatan Hiendra pada 16 Maret 2011 dan menyatakan perjanjian sewa menyewa depo container pada 2003 tetap sah dan mengikat. PT KBN dihukum membayar ganti rugi materiil kepada PT MIT sebesar Rp 81,7 miliar.
PT KBN yang tak puas mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Namun putusan PT DKI sama seperti PN Jakut. Alhasil, PT KBN menempuh upaya kasasi ke MA.
ADVERTISEMENT
"Pada 29 Agustus 2013, MA menyatakan pemutusan perjanjian sewa menyewa depo container pada Juli 2010 sah dan menghukum PT MIT membayar ganti rugi Rp 6,8 miliar secara tunai dan seketika ke PT KBN," ujar jaksa.
Ilustrasi meja pengadilan. Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
PT KBN kemudian meminta PN Jakut agar melakukan eksekusi lahan dengan aanmaning/teguran terhadap PT MIT. Ketua PN Jakut kemudian meminta pihak PT MIT menghadap pada 23 Juli 2014 guna diberikan teguran serta dalam waktu 8 hari setelahnya bisa memenuhi isi putusan.
Mengetahui lahan yang disewa akan dieksekusi, Hiendra kemudian meminta bantuan Hengky Soenjoto untuk dikenalkan kepada advokat bernama Rahmat Santoso. Rahmat merupakan adik ipar Nurhadi.
Pada 20 Agustus 2014, Hiendra menunjuk Rahmat sebagai kuasa PT MIT dalam upaya Peninjauan Kembali (PK) ke MA sekaligus mengurus penangguhan eksekusi.
ADVERTISEMENT
"(Hiendra) memberikan uang kepada Rahmat Rp 300 juta dan cek OCBC NISP atas nama PT MIT sejumlah Rp 5 miliar yang bisa dicairkan setelah permohonan PK didaftarkan ke MA melalui PN Jakut," ucap jaksa.
Mahkamah Agung (MA) Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Kemudian pada 25 Agustus 2014, Rahmat mendaftarkan PK ke MA melalui PN Jakut. Di samping itu, Rahmat juga mengajukan permohonan penangguhan eksekusi lahan depo container kepada PN Jakut. Alasannya, sedang diajukan PK dan sedang diajukan gugatan yang kedua terhadap PT KBN.
"Beberapa hari kemudian, Hiendra menyampaikan kepada Rahmat bahwa kuasanya telah dicabut. Sehingga Hiendra melarang Rahmat mencairkan cek Rp 5 miliar sebagaimana kesepakatan dengan alasan sudah menunjuk advokat Jakarta. Namun pada kenyataannya, Hiendra meminta terdakwa II (Rezky Herbiyono) yang merupakan menantu sekaligus orang kepercayaan terdakwa I (Nurhadi) untuk mengurus perkara tersebut. Padahal terdakwa II bukan advokat," jelas jaksa.
ADVERTISEMENT
Hiendra selanjutnya mengajukan gugatan kedua terhadap PT KBN di PN Jakut pada 22 September 2014 untuk menunda eksekusi lahan depo container. Tetapi Ketua PN Jakut tetap menerbitkan penetapan eksekusi pada 9 Oktober 2014.
Tersangka kasus dugaan suap gratifikasi senilai Rp 46 miliar Rezky Herbiyono bersiap menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Kamis (17/9). Foto: Muhammad Adimaja/ANTARA FOTO
Nurhadi dan Rezky kemudian mengupayakan penundaan eksekusi tersebut berdasarkan surat permohonan penangguhan yang diajukan Rahmat. Akhirnya atas dugaan intervensi tersebut, Ketua PN Jakut menerbitkan penetapan untuk menangguhkan eksekusi pada 26 November 2014. Eksekusi ditunda sampai upaya PK Hiendra dan gugatan kedua di PN Jakut diputus.
"Sebagai realisasi pengurusan perkara PT MIT, pada awal 2015, terdakwa II melalui Calvin Pratama membuat perjanjian dengan Hiendra yang mana Hiendra akan memberikan fee pengurusan administrasi terkait penggunaan lahan depo container senilai Rp 15 miliar kepada terdakwa II melalui Calvin Pratama. Dengan jaminan cek Bank QNB Kesawan atas nama PT MIT senilai Rp 30 miliar. Namun pada kenyataannya Hiendra tidak mempunyai dana untuk pengurusan perkara dimaksud," jelas jaksa.
ADVERTISEMENT
Lalu sekitar awal 2015, Rezky memperkenalkan Hiendra Soenjoto dengan Iwan Cendekia Liman. Saat itu Rezky menyampaikan bahwa Iwan bisa membantu Hiendra mendapatkan pendanaan dari Bank Bukopin Surabaya yang akan digunakan untuk membiayai pengurusan perkara PT MIT.
"Untuk merealiasikan kesepakatan pengurusan perkara PT MIT, pada 22 Mei 2015, terdakwa II menerima uang Rp 400 juta dari Hiendra sebagai uang muka," ucap jaksa.
Selanjutnya pada Juni 2015 di Surabaya, Rezky meminjam uang kepada Iwan senilai Rp 10 miliar. Rezky mengutarakan bahwa uang tersebut akan digunakan untuk mengurus perkara PT MIT. Sebab Hiendra belum membayarkan fee pengurusan perkara sesuai perjanjian.
Tersangka kasus dugaan suap gratifikasi senilai Rp46 miliar, Nurhadi (kanan) bersiap menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Jumat (19/6). Foto: Nova Wahyudi/Antara Foto
"Saat itu terdakwa II menyampaikan ke Iwan bahwa perkara tersebut sedang di-handle oleh terdakwa I. Selain itu, terdakwa II menyampaikan bahwa uang tersebut akan dikembalikan ke Iwan dari dana yang didapatkan terdakwa II yang bersumber dari pembayaran ganti rugi PT KBN ke PT MIT senilai Rp 81,7 miliar sesuai putusan PN Jakut," kata jaksa.
ADVERTISEMENT
Lalu pada 4 Juni 2015, PN Jakut menolak gugatan kedua PT MIT melawan PT KBN sehingga Hiendra memutuskan banding. Begitu pula upaya PK yang diajukan PT MIT ditolak MA pada 18 Juni 2015.
"Meski gugatan kedua di PN Jakut dan PK ditolak, namun terdakwa I melalui terdakwa II tetap menjanjikan kepada Hiendra akan mengupayakan pengurusan perkara lahan depo container yang masih dalam proses," ucap jaksa.
Pada 19 Juni 2015, Iwan mentransfer uang Rp 10 miliar yang dipinjam Rezky untuk mengurus perkara PT MIT. Setelah menerima uang tersebut, Rezky menyerahkan 8 lembar cek Bank QNB Kesawan atas nama PT MIT senilai Rp 30 miliar dan 3 lembar cek Bank Bukopin atas nama Rezky kepada Iwan sebagai jaminan.
ADVERTISEMENT
"Pada 20 Juni 2015 di rumah para terdakwa di Jalan Hang Lekir V Jakarta, terdakwa II menyampaikan kepada Iwan bahwa perkara PT MIT sudah ditangani terdakwa I dan dipastikan aman," kata jaksa.
Tersangka penyuap eks Sekretaris MA Nurhadi, Hiendra Soenjoto. Foto: Facebook/ @Hiendra Soenjoto
Kasus ini bermula ketika Azhar Umar mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Hiendra di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Terdapat 2 gugatan yang diajukan. Gugatan pertama didaftarkan pada 5 Januari 2015 terkait akta nomor 116 tanggal 25 Juni 2014 tentang RUPSLB PT MIT.
Dalam gugatan ini, Azhar mempersoalkan tak diundang dalam RUPSLB PT MIT pada 25 Juni 2014. Padahal ia merupakan direktur dan pemegang saham. Alhasil Azhar merasa kehilangan haknya sebagai pemegang saham dan prosentase sahamnya turun yang semula kurang lebih sebesar 0.25% menjadi 0.0143% bagian. Azhar menggugat Hiendra senilai Rp 3 triliun.
ADVERTISEMENT
Sementara gugatan kedua didaftarkan pada 13 Februari 2015. Gugatan itu terkait akta nomor 31 tertanggal 4 Juni 2014 tentang perubahan komisaris PT MIT. Azhar yang tak diundang pada RUPSLB PT MIT pada 23 Mei 2014, merasa haknya sebagai direktur PT MIT dan pemegang saham hilang. Padahal RUPSLB tersebut mengubah susunan komisaris PT MIT. Sehingga Azhar menggugat Hiendra agar membayar Rp 175,7 miliar.
Tersangka kasus dugaan suap gratifikasi senilai Rp46 miliar Nurhadi (kanan) bersiap untuk menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Kamis (30/7). Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA FOTO
Mengetahui digugat dalam 2 perkara, Hiendra meminta bantuan kepada Nurhadi melalui Rezky untuk mengurus kasus tersebut.
"Atas upaya yang dilakukan terdakwa I dan terdakwa II, PN Jakpus menolak gugatan yang diajukan Azhar sehingga dilakukan upaya banding. Namun Pengadilan Tinggi DKI Jakarta juga menolak gugatan dan menguatkan putusan PN Jakpus dalam putusan tanggal 18 Januari 2016 dan 20 Maret 2017. Sehingga Azhar melakukan upaya kasasi ke MA," jelas jaksa.
ADVERTISEMENT
Hiendra kemudian meminta Hengky Soenjoto untuk bertanya dan mendesak Nurhadi mengenai pengurusan perkara di ranah kasasi tersebut. Nurhadi kemudian menyatakan 2 perkara tersebut sedang diupayakan agar dimenangkan Hiendra.
Tersangka kasus dugaan suap gratifikasi senilai Rp46 miliar Rezky Herbiyono bersiap menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Kamis (30/7). Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA FOTO
"Untuk pengurusan perkara tersebut, terdakwa I melalui terdakwa II telah menerima uang dari Hiendra sejumlah Rp 45,7 miliar," kata jaksa.
Atas perbuatan tersebut, Nurhadi dan Rezky didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.