Epidemiolog Heran Aturan Wajib PCR Hanya untuk Naik Pesawat, Tidak Moda Lain

24 Oktober 2021 11:05 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Persiapan fasilitas di Bandara Soekarno-Hatta jelang penerapan wajib PCR untuk penerbangan mulai besok. Foto: Dok. Angkasa Pura II
zoom-in-whitePerbesar
Persiapan fasilitas di Bandara Soekarno-Hatta jelang penerapan wajib PCR untuk penerbangan mulai besok. Foto: Dok. Angkasa Pura II
ADVERTISEMENT
Kebijakan wajib tes PCR bagi penumpang pesawat tak hanya membingungkan masyarakat, tetapi juga Epidemiolog Dicky Budiman.
ADVERTISEMENT
Ahli Wabah dari Griffith University Australia ini mengungkapkan keheranannya: Mengapa aturan hanya berlaku untuk perjalanan udara, tetapi tidak pada moda transportasi lainnya seperti darat dan laut.
“Ini yang saya juga tidak mengerti dengan pasti argumentasi ilmiahnya. Karena kalau dari sisi kondisi risiko misalnya, pesawat itu paling kecil [risikonya] dibandingkan dengan moda transportasi lainnya,” ungkap Dicky saat dihubungi, Sabtu (20/10).
Menurut Dicky, pesawat masih jauh lebih aman dibandingkan dengan bus atau kereta api. Ia mengatakan, sirkulasi udara di pesawat jauh lebih baik dibandingkan kedua moda transportasi itu. Saringan udara di pesawat bisa mencapai 20 kali putaran dalam waktu 1 jam saja.
“Sekarang ini dengan PCR untuk pesawat, kalau mau bicara keamanan, ya, memang benar, [PCR] ideal. Tapi masalahnya, mampu tidak masyarakat bayarnya?” kata dia.
ADVERTISEMENT
“Sebenarnya [pesawat] sudah aman, moda transportasi paling aman. Tapi, diberikan syarat paling ketat. Jadi saya tidak begitu bisa memahami keputusan ini, karena kita jadi memilih strategi yang tidak cost-effective.”
Dicky Budiman, epidemiolog dari Griffith University Australia. Foto: Dok. Pribadi
Harga tes PCR saat ini memang cenderung jauh lebih mahal dibandingkan dengan tes rapid antigen. Meskipun pada Agustus lalu Presiden Joko Widodo meminta harga PCR diturunkan menjadi kisaran Rp 495 ribu - Rp 525 ribu, harganya masih tergolong tinggi.
Sedangkan biaya rapid tes berada dalam kisaran Rp 85 ribu hingga Rp 125 ribu, tergantung merek alat yang digunakan. Perbedaan harga ini tentu menyulitkan masyarakat, terlebih yang berangkat sekeluarga penuh.
“Kalau misal harganya hampir sama dengan tiketnya, ya, kan itu mah beda lagi. Apalagi, ini yang perginya berlima: anaknya, istrinya, bapaknya, itu beda lagi. Dari sisi strateginya, bukan hanya efektif. Ya, [tes PCR] efektif, tapi, cost-effective tidak? Kan, tidak,” paparnya.
ADVERTISEMENT
Kata dia, tak hanya masyarakat yang akan merasa terbebani dengan aturan ini. Maskapai pun ada potensi terbebani.
“Bukan hanya masyarakatnya, maskapainya juga sanggup tidak? Apakah pilot dan kru pesawat tidak dites juga? Kan logikanya begitu. Kalau misal penumpang dites, lalu kru pesawat dan pilotnya tidak, ya, buat apa? Virus tidak milih-milih. Jadi ini akan ongkos juga buat maskapainya,” jelas dia.
Persiapan fasilitas di Bandara Soekarno-Hatta jelang penerapan wajib PCR untuk penerbangan mulai besok. Foto: Dok. Angkasa Pura II
Dicky berpendapat, tes antigen sebagai alat screening penumpang sudah memadai. Menurut dia, selain cost-effective karena harga yang terjangkau, sensitivitas dan spesifisitasnya juga efektif.
“Kenapa harus memilih yang membebani dan ongkosnya besar? Dalam situasi saat ini, semuanya esensial aja: secara standar semuanya terpenuhi, aman, dan efektif. Ya, itu antigen, cukup,” tegas dia.
ADVERTISEMENT
Seperti diketahui, pemerintah lewat Surat Edaran Satgas COVID-19 No. 21 Tahun 2021 menetapkan wajib tes PCR bagi penumpang pesawat penerbangan wilayah Jawa-Bali serta wilayah PPKM Level 3 dan 4.
SE yang diterbitkan Kamis (21/10) ini mengikuti aturan di Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) No. 53 Tahun 2021.
Kebijakan ini membatalkan aturan sebelumnya, yang mengizinkan penumpang pesawat dites antigen jika sudah divaksinasi dosis penuh.