news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Epidemiolog Sebut PPKM Level Harusnya Bukan Jurus Utama: Cari Kasus yang Banyak

22 Juli 2021 15:02 WIB
ยท
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas medis melakukan swab antigen secara acak pada penumpang KRL di stasiun Bekasi, Bekasi Kota, Jawa Barat, Senin (21/6).  Foto: Paramayuda/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Petugas medis melakukan swab antigen secara acak pada penumpang KRL di stasiun Bekasi, Bekasi Kota, Jawa Barat, Senin (21/6). Foto: Paramayuda/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Pemerintah memutuskan memperpanjang pelaksanaan PPKM hingga 25 Juli 2021 imbas masih tingginya kasus COVID-19. Meski begitu, pemerintah juga membuka opsi pelonggaran aturan pengetatan pada 26 Juli apabila kasus corona di daerah-daerah mulai menurun.
ADVERTISEMENT
Namun, kebijakan pengetatan ini tidak sedikit mendapat kritikan. Salah satunya dari Epidemiolog Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman. Dicky justru melihat upaya penanganan pandemi yang paling utama bukanlah sekadar pembatasan lewat PPKM, tetapi testing secara masif.
"Pembatasan itu berat untuk Indonesia dan pembatasan itu strategi penguat tambahan, bukan strategi utama. Strategi utama itu menemukan kasus sebanyak-banyaknya," kata Dicky kepada kumparan, Kamis (22/7).
Menurut Dicky, testing harus dilakukan sebanyak-banyaknya dan tak bisa hanya mengandalkan standar minimal yang telah ditetapkan. Apalagi, positivity rate kasus COVID-19 di Indonesia masih jauh dari standar WHO, yang menetapkan minimal 5 persen.
"Ibarat ada musuh cari musuhnya dengan cari apa? Dengan testing sebanyak mungkin sesuai dengan skala penduduknya, yang disebut satu tes per 1.000 orang per minggu," tuturnya.
ADVERTISEMENT
"Itu minimal dan itu harus meningkat sesuai dengan eskalasi pandeminya yang harus mengarah 5 persen, itu tes positivity rate-nya. Kalau belum 5 persen, ya terus ditingkatkan," tambah Dicky.
Menurutnya, pelaksanaan PPKM Level 1-4 yang mengacu pada indikator positivity rate, keterisian rumah sakit, hingga angka kematian maka akan dapat bermanfaat.
"Nah, sekarang PPKM Level ini tentu selama yang menjadi rujukannya kembali ke indikator tes positivity rate-nya. Kemudian juga tentu kalau bicara indikator pelacak kita punya rumah sakit, dan kematian. Itu tentu akan sangat bermanfaat dan berguna dan ini yang dari awal harus dilakukan," jelas dia.
Seorang pekerja menutup restoran saat pemberlakuan PPKM di kawasan Blok M Jakarta, Rabu (21/7/2021). Foto: Wahyu Putro A/ANTARA FOTO
Terakhir, Dicky berharap penetapan aturan PPKM dengan indikator yang terukur bisa lebih efektif ke depannya.
"Setidaknya walau ini terkesan terlambat, tapi setidaknya ini akan membawa harapan pada perbaikan dan strategi yang lebih efektif," pungkasnya.
ADVERTISEMENT
Saat pelaksanaan PPKM Darurat lalu, kasus harian COVID-19 di Indonesia beberapa kali menembus lebih dari 50 ribu orang. Namun, dalam beberapa hari terakhir, penambahan kasus mulai cenderung menurun.
Namun, penurunan jumlah kasus ini juga diakibatkan berkurangnya jumlah testing yang dilakukan setiap harinya.