Epidemiolog UI: Angka Kematian Sering Terlambat tapi Jangan Hapus dari Indikator
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
“Sebetulnya enggak boleh dihapus, harus tetap ada. Tapi saya juga ngerti konsepnya Pak Luhut karena angka kematian itu sering terlambat infonya. Jumlahnya enggak bener. Tapi menurut saya jangan dihapus,” kata Iwan kepada kumparan, Selasa (10/8).
Iwan mengatakan angka kematian harusnya tetap dimasukkan ke dalam indikator, tetapi dicek ulang dan didiskusikan datanya menurut kabupaten/kota. Jika datanya tidak bisa dipercaya, maka boleh tak digunakan.
“Tetep masuk, kasus per kasus, misalnya per kabupaten. Nah, di antara yang bahas PPKM, dilihat saat ada indikator kematian bisa kita percaya atau enggak, tapi jangan semua dihapus. Saya ngerti juga karena untuk memperbaiki data perlu waktu, lho,” terang dia.
“Misalnya kita mulai [penentuan level] sekarang mungkin datanya baru bisa bagus 1-2 bulan lagi. Nah, itu, kan, enggak tepat. Tapi jangan dihapus, kita coba koreksi menurut ahli,” tandasnya.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Luhut mengatakan terdapat 26 kabupaten/kota yang berhasil turun dari PPKM Level 4 ke Level 3. Kondisi ini berarti ada perbaikan situasi pandemi virus corona usai penerapan PPKM Level sebulan terakhir.
"Dalam penerapan PPKM Level 4 dan 3 yang akan dilakukan 10-16 Agustus 2021 nanti, terdapat 26 kota atau kabupaten yang turun dari Level 4 ke level 3. Hal ini melanjutkan perbaikan kondisi di lapangan yang cukup signifikan," kata Luhut dalam konferensi pers virtual, Senin (9/8) malam, saat mengumumkan perpanjangan PPKM Level Jawa-Bali hingga 16 Agustus 2021.
Meski ada sejumlah daerah yang mengalami perbaikan situasi, dalam beberapa hari terakhir angka kematian akibat COVID-19 tercatat masih di atas 1.000 orang per hari. Padahal, angka kasus konfirmasi di Jawa dan Bali mengalami penurunan yang cukup signifikan di mayoritas provinsi, salah satunya di DKI Jakarta.
ADVERTISEMENT
Luhut mengatakan hal itu diakibatkan oleh adanya kesalahan pada saat memasukkan data kematian. Sehingga keputusan selanjutnya yakni dengan meniadakan angka kematian dari indikator penanganan COVID-19.
"Evaluasi tersebut kami lakukan dengan mengeluarkan indikator kematian dalam penilaian karena kami temukan adanya input data yang merupakan akumulasi angka kematian selama beberapa minggu ke belakang sehingga menimbulkan distorsi dalam penilaian," jelas Luhut.