Erdogan Telepon Trump, Bahas Gencatan Senjata di Libya dan Suriah

28 Januari 2020 11:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Amerika Serikat Donald Trump bejabat tangan dengan Presiden Turki Tayyip Erdogan saat pertemuan di Gedung Putih, Washington, Amerika Serikat. Foto: REUTERS / Joshua Roberts
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Amerika Serikat Donald Trump bejabat tangan dengan Presiden Turki Tayyip Erdogan saat pertemuan di Gedung Putih, Washington, Amerika Serikat. Foto: REUTERS / Joshua Roberts
ADVERTISEMENT
Presiden Amerika Serikat Donald Trump berbincang dengan Presiden Turki Tayyip Erdogan lewat sambungan telepon pada Senin (27/1) waktu setempat. Keduanya membahas perkembangan terkini di Suriah dan Libya.
ADVERTISEMENT
Dilansir Reuters, juru bicara Gedung Putih Judd Deere mengungkapkan Trump dan Erdogan sepakat kekerasan di Libya dan Suriah harus dihentikan.
"Kedua pemimpin membahas perlunya menghilangkan campur tangan asing dan mempertahankan gencatan senjata di Libya," kata Deere, Selasa (28/1).
"Para pemimpin juga sepakat kekerasan yang dilakukan di Idlib, Suriah, harus dihentikan," lanjutnya.
Konflik di Suriah terjadi karena Presiden Suriah Bashar al-Assad mendorong untuk merebut kembali Provinsi Idlib yang dikuasai pemberontak. Perebutan ini memicu eksodus baru ribuan warga sipil ke perbatasan Turki pada Senin kemarin.
Sementara di Libya, komandan militer Khalifa Haftar memindahkan pasukannya ke Kota Misrata pada Minggu (26/1), yang bersekutu dengan pemerintah negara yang diakui secara internasional.
Donald Trump berjabat tangan dengan Erdogan Foto: REUTERS/Joshua Roberts
Peningkatan pertempuran yang terjadi seminggu terakhir terjadi setelah Turki setuju dengan kekuatan negara Barat pada KTT Libya di Berlin sepekan lalu. Berlin dialog yang diselenggarakan pada Minggu (20/1) bertujuan untuk membahas gencatan senjata abadi untuk menyelesaikan perang saudara di Libya.
ADVERTISEMENT
Libya jatuh ke dalam lembah konflik usai pemerintah pimpinan Perdana Menteri Fayez al-Sarraj kembali berseteru dengan pemerintahan saingan yang dipimpin Jenderal Khalifa Haftar dan Tentara Nasional Libya.