Fahri Hamzah: Kader Dilantik Jadi Pejabat Sudah Milik Publik, Bukan Partai

25 Oktober 2023 15:49 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah saat diwawancarai dalam program talkshow Info A1 kumparan. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah saat diwawancarai dalam program talkshow Info A1 kumparan. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Wakil Ketua Umum Partai Gelora, Fahri Hamzah, berkomentar soal Jokowi yang kerap disebut sebagai petugas partai meski sudah menjabat sebagai presiden. Menurut Fahri, jika seseorang sudah terpilih menjadi pejabat publik, seharusnya statusnya sebagai petugas partai terhapuskan.
ADVERTISEMENT
"Tugas partai politik itu sebenarnya menjadi chef saja di dapur. Begitu ada orang-orang hebat seperti calon gubernur, calon bupati, kita serahkan ke ruang publik. Begitu dia terpilih, dia jadi milik publik, bukan lagi milik partai," kata Fahri Hamzah dalam talkshow kumparan, Info A1, yang tayang Selasa (24/10) malam.
Fahri Hamzah menyebut, kemewahan partai sebenarnya terletak pada jika gagasannya digunakan oleh pejabat publik yang terpilih. Ia lalu menyinggung soal loyalitas kepada partai yang harus berakhir saat seseorang mulai menjabat untuk negara.
"Ada adagium lama kan di Asia ini terkenal karena dipopulerkan oleh seorang negarawan di Filipina, 'When loyality to my country begins, loyality to my party ends.' Kalau loyalitas saya kepada negara dimulai, maka loyalitas pada partai berakhir," tutur Fahri Hamzah.
ADVERTISEMENT
"Berakhir maksudnya tidak ada lagi jalur struktural. Partai itu tugasnya itu memproduksi gagasan," imbuhnya.
Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah saat diwawancarai oleh Pakar komunikasi politik Irfan Wahid atau Ipang Wahid dalam program talkshow Info A1 kumparan. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Ia menilai, pola pikir bahwa presiden adalah kader partai meski sudah menjabat terbentuk karena sistem politik di Indonesia yang belum sempurna. Di Indonesia, untuk bisa menjadi presiden, seseorang harus mengantongi dukungan setidaknya dari 20% kursi parpol di parlemen.
"Kita selalu ingin membuat presiden itu jadi anak buah partai politik. Enggak bisa itu. Sistemnya enggak memungkinkan. Kita ini bukan parlementer, ini adalah presidensial," ucap Fahri Hamzah.
Dalam sistem parlementer, menurutnya, partai hanya akan dibagi menjadi dua saja: partai yang berkuasa di eksekutif dan partai yang berkuasa di legislatif. Dengan cara itulah sistem check and balances-nya bisa diterapkan.
ADVERTISEMENT
"Nah ini enggak. Partainya terlalu banyak. Sehingga begitu presiden ini berkuasa, kadang-kadang kekuatan dia di parlemen enggak banyak, terlalu sedikit, dia kumpulkan partai lain sehingga semua partai lain itu sebenarnya ikut dalam pemerintahan dia. Itu setelah menang," tutur Fahri Hamzah.
Sebelum bisa menang, calon presiden harus mendekati partai lain, bahkan yang punya tujuan serta ideologi berbeda, demi bisa mengantongi tiket untuk maju. Setelah terpilih pun, status presiden jadi tak jelas karena ia tak lagi bisa diklaim sebagai milik satu partai saja.
"Lalu orang itu siapa punya? Kan enggak bisa diklaim oleh satu partai karena partai tidak bisa mencalonkan sendiri. Nah ini adalah dilema dalam sistem, ini yang harus kita selesaikan," tutupnya.
ADVERTISEMENT
Tonton cerita lengkap Fahri Hamzah soal pemilihan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres Prabowo hingga soal sistem politik di Indonesia.