Feri Amsari: Kewenangan Mendagri Tunjuk 271 Pj di 2022-2023 Rawan Penyimpangan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Sebab dalam UU Pilkada 10/2016, mengharuskan adanya Penjabat (Pj) untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah yang masa jabatannya habis sebelum 2024. Yaitu kepala daerah yang habis di 2022 dan 2023.
Hal ini diatur dalam UU Pilkada Pasal 201 ayat 9. Berikut bunyinya:
(9) Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali kota dan Wakil Wali kota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023, diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Wali kota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali kota dan Wakil Wali kota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024.
ADVERTISEMENT
Feri yang merupakan Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, mengatakan penunjukan Pj dalam jumlah besar tidak diharapkan terjadi. Sebab rawan memicu penyimpangan kekuasaan.
"Kalau dalam jumlah besar tidak diharapkan terjadi. Makanya kalau rencana Mendagri menempatkan banyak figur yang merupakan bawahannya, tentu ada rotasi kekuasaan di mana peran pemerintah pusat mengendalikan daerah-daerah menjadi sangat besar apalagi jangka waktunya cukup panjang," kata Feri saat dihubungi, Rabu (10/2).
"Bukan tidak mungkin itu akan menimbulkan penyimpangan kekuasaan baik berupaya mengendalikan atau meredam hal-hal yag sebenarnya menjadi hak konstitusional di daerah atau kepala daerah tertentu untuk kemudian menjadi kebijakannya," tambah dia.
Meski begitu, Feri mengatakan penunjukan Pj memang diatur dalam UU. Maka dari itu konteks dan penunjukan Pj ini harus dilihat secara cermat.
ADVERTISEMENT
"Penentuan Pj, Plt, Plh itu kan situasional yang harus dikatakan disebabkan beberapa kondisi. Pertama kalau kemudian ada pejabat yang tetap/definitif, mangkat, sakit, mengundurkan diri, diberhentikan dan sebagainya. Dalam artian situasi itu tentu tidak berlaku untuk banyak tempat sehingga kemudian bisa dikatakan itu situasi yang berkaitan dengan keadaan yang tidak diharapkan oleh pembuat UU. Nah kalau kemudian dalam jumlah yang masif, tentu ada penyebab yang memaksa terjadinya hal tersebut," ucap Feri.
Maka dari itu, Feri mengatakan penunjukan Pj nantinya perlu dipertimbangkan dengan matang. Jangan sampai penunjukan Pj secara masif ini untuk kepentingan politik atau kepentingan tertentu.
"Yang tidak boleh adalah Mendagri mendesain demi kepentingannya untuk melakukan itu, baru dia akan menjadi abuse of power, pelanggaran demokrasi, mencoba merusak tatanan nilai konstitusional yang ada," tutur Feri.
ADVERTISEMENT
"Nah itu yang bisa diduga mengarah kepada Mendagri kalau kemudian ada upaya mencoba mengangkat Pj sebanyak-banyaknya dalam kurun waktu yang panjang," ujar Feri.
Feri Amsari Dorong RUU Pemilu
Feri Amsari menyatakan UU Pemilu sebaiknya direvisi atau dikaji ulang. Menurutnya, pelaksaan Pilkada Serentak 2024 terkesan dipaksakan.
"Jangan melihat kepentingan politik saat ini partai mayoritas diuntungkan tapi bicaralah kepentingan lebih besar, kepentingan konstitusi kepentingan publik, kepentingan jauh di masa depan agar demokrasi fair maka dibuat secara sefairnes mungkin," kata Feri.
"Jangan ini walaupun bermasalah, ya sudah kita diuntungkan termasuk penempatan Pj tadi, ini bermasalah tapi kita diuntungkan ya sudah. Ini yang menurut saya tidak sehat," tutur dia.
Akan tetapi pembahasan RUU di DPR RI saat ini terancam batal. Sebab beberapa partai politik koalisi Jokowi yang sempat mengusulkan revisi kini balik badan, yaitu NasDem, Golkar dan PKB. Mereka ingin Pilkada tetap diserentakkan di 34 provinsi pada 2024.
ADVERTISEMENT
Kini hanya PKS dan Demokrat yang ingin RUU Pemilu direvisi. Mereka mendorong agar Pilkada dinormalisasi yakni tetap digelar pada 2022 dan 2023.