FH Universitas Brawijaya: Cabut Penonaktifan 75 Pegawai, Cabut UU Baru KPK

24 Mei 2021 20:14 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Aan Eko Widiarto di FGD Kemah Konstitusi di Hotel Ashley, Jakarta, Rabu (13/2). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Aan Eko Widiarto di FGD Kemah Konstitusi di Hotel Ashley, Jakarta, Rabu (13/2). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Kampus kembali bergerak mengkaji isu antikorupsi usai polemik penonaktifan 75 pegawai KPK yang tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) mencuat. Salah satunya adalah Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Brawijaya bersama dengan Constitutional and Administrative Law Society (CALS).
ADVERTISEMENT
Mereka menggelar Seminar Nasional bertajuk solusi alih status pegawai KPK. Ada sejumlah hal yang dibahas dalam seminar tersebut, oleh sejumlah narasumber. Mulai dari profesor hukum pidana, administrasi negara, psikologi, hingga unsur pegawai KPK.
Diketahui, polemik penonaktifan 75 pegawai KPK tidak lulus TWK ini masih berlangsung. Padahal Jokowi telah menyatakan pandangannya bahwa TWK tak bisa jadi dasar pemberhentian pegawai KPK.
Dekan FH Universitas Brawijaya Aan Eko Widiarto mengatakan, ada sejumlah pokok pikiran yang didapatkan dari hasil seminar nasional tersebut.
Perwakilan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos TWK berfoto bersama usai audiensi dengan Komisioner Komnas HAM di Jakarta, Senin (24/5). Foto: M Risyal Hidayat/Antara Foto
Pertama, TWK dalam sudut pandang konstitusi, substansi dan pelaksanaannya dinilai melanggar prinsip HAM sebagaimana diatur dalam pasal 28J dan 28I Undang-Undang Dasar, karena mengakibat terampasnya hak atas pekerjaan, hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif, dan pelanggaran hak atas keyakinan karena menyinggung kebebasan beragama seseorang.
ADVERTISEMENT
Kedua, TWK dalam sudut pandang Psikometri dinilai tidak kredibel secara ilmiah. Ada beberapa hal yang mendasari itu, yakni kurang transparansi dan akuntabilitas ilmiah, validitasnya belum jelas, sejumlah pertanyaan berpotensi mengandung bias SARA dan gender hingga stigmatisasi atau pelabelan terhadap orang yang di tes kemudian tidak memenuhi syarat maka bisa dikategorikan individu radikal.
Ketiga, TWK dalam sudut pandang Hukum Tata Negara merupakan kelanjutan dari revisi UU KPK yang dinilai bermasalah. Diketahui UU 19 Tahun 2019 menempatkan KPK sebagai lembaga di bawah rumpun eksekutif.
Ilustrasi KPK. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Aan mengatakan, dengan menempatkan KPK sebagai bagian dari rumpun eksekutif, lembaga antirasuah itu dinilai tidak lagi independen. Meski demikian, UU 19 Tahun 2019 tidak memerintahkan adanya TWK. Bahkan TWK juga tidak ada di dalam PP 41 Tahun 2020. TWK hanya ada di dalam Perkom 1 Tahun 2021.
ADVERTISEMENT
"TWK melanggar prinsip transparansi dan azas-azas umum pemerintahan yang baik," kata Aan, dalam keterangannya, Senin (24/5).
Keempat, TWK dari sudut pandang Hukum Administrasi Negara, disebutkan bahwa tidak ada norma yang menjadi dasar hukum untuk penonaktifan pegawai KPK dalam hal hasil tes tidak memenuhi syarat.
Selain itu, tidak pula ditemukan norma yang menjadi dasar pejabat yang berwenang untuk membuat keputusan penonaktifan pegawai KPK dalam hal hasil tes tidak memenuhi syarat baik dalam Perkom 1 Tahun 2021 maupun dalam aturan yang lainnya.
"Berdasarkan Pasal 18 ayat (3) UU 30 Tahun 2014, Badan dan atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan bertindak sewenang-wenang apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan tanpa dasar Kewenangan," ucap Aan.
Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan hadir saat audiensi dengan Komisioner Komnas HAM di Jakarta, Senin (24/5/2021). Foto: M Risyal Hidayat/Antara Foto
Kelima, TWK dari sudut pandang Hukum Pidana dinilai melanggar Guidelines on the Role of Prosecutors dalam UNCAC dan Jakarta Principle. Padahal, Dalam prinsip ini, trennya aturan kepegawaian lembaga penegak hukum justru hendak dikeluarkan dari rezim PNS, seperti Polisi, Jaksa, Hakim.
ADVERTISEMENT
"KPK yang desainnya sudah bagus malah dikembalikan kepada ASN," pungkas Aan.
Muasal Presiden Jokowi pidato menyebut Bipang Ambawang sebagai kuliner Lebaran. Foto: Youtube/Kementerian Perdagangan
Atas dasar tersebut, ada sejumlah rekomendasi yang dihasilkan. Berikut poin-poinnya:
1. Pemimpin KPK harus mengikuti arahan Presiden sebagai solusi yang masuk akal dengan cara mencabut SK penonaktifan pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat;
2. Pimpinan KPK harus merehabilitasi nama pegawai-pegawai yang tidak lolos atau dinyatakan tidak memenuhi syarat TWK;
3. Pegawai KPK harus dialihkan menjadi ASN tanpa melalui syarat test karena sifatnya adalah pengalihan bukan rekrutmen sepanjang ketentuan Undang-Undang 19 Tahun 2019 masih belum diubah;
4. Pimpinan KPK harus melantik semua pegawai tanpa terkecuali dalam proses pelantikan;
5. Pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat maka dapat melakukan upaya hukum apabila pimpinan KPK masih berkukuh tidak menjalankan saran untuk mencabut keputusan penonaktifan; dan
ADVERTISEMENT
6. Idealnya melakukan revisi Undang-undang 19 Tahun 2019 atau lebih singkatnya adalah dilakukan pencabutan Undang-Undang 19 Tahun 2019.