Firli Bahuri: Jadi Kepala Daerah Pakai Uang, 82,3% Dibiayai Donatur dan Sponsor

12 Juli 2022 15:42 WIB
ยท
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua KPK Firli Bahuri saat menerima kunjungan Komandan Pusat Polisi Militer Angkatan Laut (Danpuspomal) Mayjen TNI di KPK, Selasa (28/12). Foto: KPK
zoom-in-whitePerbesar
Ketua KPK Firli Bahuri saat menerima kunjungan Komandan Pusat Polisi Militer Angkatan Laut (Danpuspomal) Mayjen TNI di KPK, Selasa (28/12). Foto: KPK
ADVERTISEMENT
Ketua KPK Komjen (Purn) Firli Bahuri mengungkapkan mahalnya biaya untuk menjadi seorang kepala daerah. Bahkan, kerap calon kepala daerah harus memiliki sponsor hingga donatur untuk bisa memenuhi kebutuhan untuk bersaing di panggung pilkada.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut dinilai menjadi penyebab masih suburnya praktik politik uang dalam kontestasi pemilu. Pernyataan itu diungkapkan Firli dalam sambutan kegiatan Politik Cerdas Berkualitas (PCB) yang dihadiri Partai Berkarya di Gedung Merah Putih KPK.
"Ternyata, Pak, hasil survei kita memang untuk jadi kepala daerah pakai uang. 82,3 persen dibiayai oleh donatur dan sponsor. Itu eksekutif," kata Firli dalam sambutannya yang ditayangkan di Kanal YouTube, Selasa (12/7).
Dalam kesempatan tersebut, Firli tidak membeberkan tahun pelaksanaan survei tersebut. Begitu juga dengan besaran biaya politik yang dikeluarkan.
Namun, Firli meyakini angka dalam survei tersebut benar. Dia juga pernah mencoba menanyakan secara langsung kepada sejumlah kepala daerah yang dia temui. Apakah ada di antara mereka yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah gratis tanpa uang sepeser pun.
ADVERTISEMENT
"Silakan bapak gubernur, wali kota, bupati angkat tangan, yang jadi gubernur tanpa uang," cerita Firli.
Saat itu, kata Firli, tak ada seorang pun yang angkat tangan. "Enggak ada, Pak (yang maju pilkada gratis). Bupati angkat tangan, enggak ada. Wali kota enggak ada," sambung dia.
Ketua KPK Firli Bahuri memberikan sambutan pada Peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) 2021 di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (9/12). Foto: Muchlis Jr/Biro Pers Sekretariat Presiden
Padahal, menurut Firli, seharusnya biaya politik yang mahal ini sudah tak boleh ada lagi mengingat berpotensi berujung para praktik politik uang. Hal semacam inilah yang menjadi awal dari langgengnya tindak korupsi di lingkungan kepala daerah.
"Di eksekutif, tidak boleh terjadi dalam rangka menghasilkan calon pemimpin, partai politik harus bebas dari suap menyuap untuk mencalonkan para calon pemimpinnya," ungkap.
"Enggak boleh ada jual surat rekomendasi," lanjut dia.
ADVERTISEMENT
Tak hanya dalam ranah eksekutif, pengawasan menurut Firli juga harus dilakukan terhadap ranah legislatif atau yudikatif.
"Tidak boleh ada penyusunan regulasi dan UU terjadi suap menyuap, tidak boleh ada pemilihan para calon hakim, hakim agung, hakim MA, hakim MK, komisioner, terjadi tindak pidana korupsi," kata Firli.
"Tidak boleh lagi ada uang ketok palu dalam rangka pengesahan APBD kabupaten, kota, maupun gubernur," pungkasnya.